Guest book

script cbox kamu
Mau buat buku tamu ini ?
Klik di sini
Sumber : http://ramadhanlmzero.blogspot.com/2012/12/cara-membuat-buku-tamu-keren-di-blog.html#ixzz47H4OJJnc

Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Site Categories

About

Kamis, 28 April 2016


Artikel Ilmiah Non-Penelitian
ANALISIS SISTEM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014
DITINJAU DARI SISI KEDAULATAN RAKYAT & DEMOKRASI
Oleh: Dewi Wulandari
NIM K6413020
Progam Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak
Salah satu hal yang menyangkut perubahan pengaturan sistem Pemilu Legislatif tahun 2014 adalah penetapan ambang batas yang naik 1% dari tahun 2009 yang menjadi 3,5% di tahun 2014 berdampak pada perolehan suara partai politik yang mengikuti pemilu. Akibatnya bagi partai yang mendapatkan suara dibawah 3,5% berarti ditetapkan partai politik tersebut tidak bisa dilibatkan dalam perhitungan kursi yaitu PBB dan PKPI. Selain itu, partai yang tidak lolos ambang batas tersebut juga dipastikan tidak bisa mengikuti lagi pemilu berikutnya. Karena kebijakan yang dianggap bertentangan dengan kedaulatan rakyat dan hak politik maka banyak yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap pasal yang mematikan mereka (partai perolehan suara kurang dari 3,5%) yang  secara tidak langsung mematikan keinginan mereka untuk bisa “menduduki” kursi di DPR RI. Pemilu 2014 juga masih memisahkan antara pemilu legislatif dan pemilu presiden. Artinya pemisahan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden adalah inskonstitusional, padahal pemilu presiden dan wakil presiden harus dilakukan secara serentak dengan pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD. Meskipun demikian, pemisahan penyelenggaraan pemilu di tahun 2014 dengan segala akibat hukumnya pada batas-batas tertentu yang tetap dinyatakan sah dan konstitusional.
A.    PENDAHULUAN
            Pemilu 9 April 2014 yang lalu dengan diikuti oleh 12 Partai Nasional dan 3 Partai Lokal di Aceh. Jumlah Daftar Pemilih Tetap 185.826.024 orang dengan tingkat partisipasi 75,11 %, yaitu 124.972.491 yang menggunakan hak pilihnya. Hal ini berarti ada 24,89 %. Sedangkan apabila suara tidak sah karena kesengajaan atau kesalahan mencoblos dimasukkan dalam kelompok Golput, maka akan mencapai 31,89 %. Tabel 1. Hasil Legislative DPR Pusat
No
PARTAI
Suara
%  Suara
Kursi
%   Kursi
1.
Nasdem
8.402.812
6,72 %
35
6,25 %
2.
PKB
11.298.957
9,04 %
47
8,39 %
3.
PKS
8.480.204
6,79 %
40
7,14 %
4.
PDIP
23.681.471
18,95 %
109
19,46 %
5.
Golkar
18.432.312
14,75 %
91
16,25 %
6.
Gerindra
14.760.371
11,81 %
73
13,03 %
7.
Demokrat
12.728.913
10,19 %
61
10.89 %
8.
PAN
9.481.621
7,59 %
49
8,75 %
9.
PPP
8.157.488
6,53 %
39
6,96 %
10.
Hanura
6.579.498
5,26 %
16
2,86 %
11.
Partai Damai Aceh*
0
0 %
0
0 %
12.
Partai Nasional Aceh*
0
0 %
0
0 %
13.
Partai Aceh*
0
0 %
0
0 %
14.
Partai Bulan Bintang**
1.825.750
1,46 %
0
0 %
15.
PKPI**
1.143.094
0,91 %%
0
0 %

 JUMLAH
124.972.491
100 %
560
100 %
Keterangan : *) Partai Lokal Aceh; **) Tidak lolos ke DPR karena perolehan kurang 3,5 %
            Berdasarkan hasil pemilu tersebut maka terdapat 2 partai yang tidak lolos ambang batas parlemen atau untuk mendapatkan kursi DPR sebesar 3,5 %, yaitu PBB dan PKPI. Hasil konversi suara menjadi kursi membuat terjadinya perubahan  jumlah prosentase kursi yang diperoleh. Terdapat beberapa partai yang diuntungkan, yaitu prosentasenya menjadi naik (PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP) dan beberapa partai lain yang dirugikan karena prosentasenya menurun (Nasdem, PKB, dan Hanura).
B.    POKOK MASALAH
1.      Apabila dilihat dari perspektif demokrasi, dimana letak kedaulatan rakyatnya atau demokratisnya, apabila terjadi perubahan prosentase tersebut. Artinya antara perolehan suara dan perolehan kursi menjadi tidak sebanding. Mengapa hal tersebut bisa terjadi.
2.      Bagaimana ulasan perspektif demokratis Pemilu 2014 antara pemilu legislative dan pemilu presiden masih dipisahkan, sehingga pada masa kampanye hanya sedikit Partai Politik peserta pemilu yang mengangkat Isu Calon Presiden dari Partai., Sedangkan untuk Pemilu 2019 yang akan datang, antara pemilu legislative dan pemilu presiden akan serentak, sehingga kotak hasil pemilu menjadi 5, yaitu untuk DPR, DPD, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Presiden
C.    PEMBAHASAN
1. Penetapan Ambang Batas Sebesar 3,5% Yang Mengundang Gejolak Politik
              Perubahan sistem pengaturan Pemilu selalu dilakukan menjelang pemilu dilaksanakan. Apakah DPR tidak mampu membuat sistem pengaturan pemilu maupun Undang-undang yang berkualitas dan berspektif ke depan? Undang-undang ini berhubungan langsung dengan kepentingan partai politik dalam meraih kekuasaan. Inilah salah satu faktor, mengapa undang-undang pemilu gampang diubah-ubah. Namun ada faktor lain yang lebih menentukan: bangsa Indonesia memang belum menemukan sistem dan format pemilu yang pas bagi pembangunan politik demokratis ke depan, sehingga upaya pencarian terus dilakukan oleh segenap komponen bangsa.
              Hasil pemilu 2014, hanya 10 partai yang lolos ambang batas yaitu PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, Nasdem, PKB, dan Hanura. Partai-partai yang lolos tersebut ditetapkan berhasil masuk dalam perhitungan konversi kursi. Peta politikpun mengalami perubahan, hasil konversi suara menjadi kursi membuat terjadinya perubahan  jumlah prosentase kursi yang diperoleh. Terdapat beberapa partai yang diuntungkan, yaitu prosentasenya menjadi naik (PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP) dan beberapa partai lain yang dirugikan karena prosesntasenya menurun (Nasdem, PKB, dan Hanura).    
            Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Karena perhitungan kursi di DPR RI tahun 2014 berbeda dengan tahun 2009. Penghitungan pada Pemilu 2014 mengacu pada Pemilu 2004 daripada 2009. Sekarang sudah disederhanakan kembali ke metode tahun 2004, tidak ada pembagian kursi tahap ketiga di mana sisa-sisa suara itu dinaikkan ke tingkat Provinsi. Padahal sebetulnya satuan kompetisi Pemilu adalah di dapil-dapil. Untuk menentukan kursi melalui penghitungan ketiga lalu dicari lagi BPP di tingkat provinsi, sistem tersebut sangat rumit, dan pengaturan tidak cukup jelas. Sekarang sistemnya sudah kembali tidak ada pembagian kursi di tingkat Provinsi. Selesai dibagi di setiap dapil. Pada 2009, sisa suara dikumpulkan dari seluruh provinsi. Artinya, sisa suara dari dapil lain digabungkan. Misalnya, ada 3 dapil, sisa partai di setiap dapil itu digabungkan menjadi satu.
              Dalam sistem pemilu proporsional, besaran daerah pemilihan dan formula alokasi kursi punya kaitan erat dengan tingkat kompetisi partai politik dalam memperebutkan kursi di daerah pemilihan yang bersangkutan. Rumus umum menyatakan, bahwa semakin kecil besaran daerah pemilihan, semakin tinggi tingkat persaingan; demikian juga sebaliknya, semakin besar besaran daerah pemilhan maka semakin rendah tingkat persaingan. Pada titik inilah dikenal istilah threshold atau angka ambang batas mendapatkan kursi, yaitu jumlah suara minimal yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan kursi yang ada di daerah pemilihan tersebut.
            Anggota KPU Hadar Nafis Gumay, mengemukakan penghitungan perolehan kursi DPR RI dimulai dari penghitungan perolehan suara partai-partai politik peserta Pemilu secara nasional. Setelah diketahui hasilnya, KPU akan menentukan siapa saja yang lolos dengan berpatok pada ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen.
Mekanisme perhitungan perolehan kursi DPR RI tersebut yakni,
1.      Dimulai dengan perhitungan perolehan suara sah nasional partai politik dikalikan dengan besaran ambang batas (3.5%).
Perhitungan:
Jumlah suara sah adalah 124.972.491 suara dikalikan dengan ambang batas 3,5% hasilnya 3.749.175. Angka tersebut merupakan angka ambang batas.
Berarti jika, partai politik peserta pemilu memperoleh angka 3.749.175 atau lebih maka ditetapkan memenuhi syarat, sehingga partai politik tersebut dilibatkan dalam perhitungan kursi.
Jadi dapat dengan mudah diketahui PBB yang hanya memperoleh suara 1.825.750 dan PKPI memperoleh suara 1.143.094 ditetapkan TIDAK MEMENUHI SYARAT sehingga PBB dan PKPI tidak dilibatkan dalam perhitungan kursi.
2.       Menentukan BPP (Bilangan Pembagian Pemilihan) yang disebut dengan angka pembagi/ harga kursi di suatu dapil.
Merupakan pembagian jumlah suara sah parpol yang lulus ambang batas dibagi dengan jumlah kursi didapil yang bersangkutan.
3.      Setelah KPU melakukan perhitungan BPP tahap pertama maka akan diketahui partai-partai mana saja yang mendapat kursi. (Tahap I)
4.      Kemudian sisa suara yang dihasilkan dari perhitungan kursi diatas, digunkan untuk perhitungan Tahap II dengan berbasis pada ranking partai berdasar sisa suara.
Dapat diambil kesimpulan, penerapan ambang batas menyebabkan meningkatnya jumlah suara yang tidak terkonversi menjadi kursi, atau suara hilang atau suara terbuang atau wasted votes. Itu artinya, penerapan ketentuan ambang batas jika tidak hati-hati akan melanggar prinsip sistem pemilu proporsional: membagi suara-kursi secara proprosional. Padahal UUD 1945 menegaskan, bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota menggunakan sistem pemilu proporsional.
              Disi lain ada manfaat dari Penerapan ambang batas perwakilan dalam satu pemilu. Tujuannya adalah untuk membatasi partai-partai politik yang tidak mendapat dukungan signifikan masuk parlemen. Selain itu, banyaknya partai politik di parlemen dipercaya mempengaruhi efektivitas pengambilan keputusan di parlemen, yang kemudian berdampak pada kinerja pemerintahan. Artinya, semakin banyak partai politik di parlemen, maka semakin rendah efektivitas pengambilan keputusan sehingga semakin buruk kinerja pemerintahannya. Meskipun logika tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, namun para politisi (khususnya yang partainya menguasai parlemen) bersikeras dengan dalih tersebut. Padahal efektivitas pengambilan keputusan parlemen, tidak ditentukan oleh berapa jumlah partai politik di parlemen, tetapi lebih oleh berapa jumlah partai politik dominan di parlemen. Sebab, tidak semua partai di parlemen mempunyai kekuatan sama, melainkan bergantung pada jumlah kursi yang dimilikinya.
Letak Kedaulatan Rakyat & Demokrasi
              Konstitusi kita dengan sangat jelas mengatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah suatu negara yang menganut teori kedaulatan rakyat. Di pasal 1 UUD 1945 ayat (2), ditegaskan lagi bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undag dasar.” Maka dengan mudah dapat disimpulkan  secara de jure, negara kita Indonesia adalah negara berkedaulatan rakyat. Kelebihan teori kedaulatan rakyat adalah adanya jiwa demokratis dalam pelaksanaanya.  Masyarakat mengharapkan adanya peningkatan demokrasi di Indonesia. Masyarakat juga mengharapkan pemerintahan yang dihasilkan melalui prosedur demokrasi mampu menangkap dan mengartikulasi kepentingan publik jauh lebih baik dibanding masa sebelumnya serta menjauhkan dari kepentingan-kepentingan sempit kelompok atau golongan tertentu. Namun demikian, dalam realitas harapan-harapan tersebut belum terwujud secara optimal. Muncul keluhan bahwa sistem demokrasi yang sekarang berjalan belum banyak menghasilkan kesejahteraan ekonomi dan sosial. Demokrasi dapat menjadi bumerang bagi suatu negara, karena demokrasi dapat menyebabkan ketidakstabilan kondisi pemerintahan dan sosial. Ketidakstabilan kondisi sosial ini disebabkan oleh salah satunya kebebasan berpendapat dan berkespresi.
              Evaluasi pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang berkaitan dengan pemilihan umum tahun 2014 yaitu menuai fakta yang mengejutkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan pengaturan sistem pemilu 2014 dinilai sangat merugikan partai-partai yang tidak lolos ambang batas. Besaran angka ambang batas 3,5% dirasakan sangat berat dan cepat atau lambat partai-partai tersebut akan mati suri ditelan bumi. Untuk mengatasi hal tersebut maka partai-partai tersebut segera melakukan pendekatan fusi atau membentuk aliansi dengan partai lain. Selain itu, banyak juga yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap pasal-pasal yang mematikan secara tidak langsung keinginan mereka untuk bisa “menduduki” kursi di DPR RI. Anggota DPRD dari partai yang memperoleh sedikit suara akan pindah atau lari ke partai lain, seharusnya kader partai yang lari ke partai lain tersebut tidak layak diajukan lagi karena sudah dapat diketahui bahwa tujuan berpartai hanya sekedar untuk “mencari makan” bukan untuk tujuan ideologis.  Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil dalam sidang Putusan Mahkamah Konstitusi juga menilai ambang batas 3,5% bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik & rasionalitas sehingga bertentangan pula dengan tujaun pemilu yakni memilih wakil rakyat dari tingkat pusat hingga daerah.
              Karena banyak suara yang hilang maka terhambat juga saluran aspirasi dari kelompok minoritas dalam sistem bangunan kenegaraan Indonesia yang demokratis dan dijamin oleh UUD 1945. Meskipun demikian, kita tidak boleh menutup mata dengan kemanfaatan yang dihasilkan dari penerapan ambang batas tersebut guna untuk sistem demokrasi yang lebih baik. Tujuan penerapan ambang batas pada tingkat wilayah pemilihan adalah: pertama, mengurangi jumlah partai politik yang masuk parlemen; kedua, menyaring partai politik peserta pemilu berikutnya. Penerapan ambang batas ini memang mempersempit peluang partai-partai kecil atau partai-partai baru untuk meraih kursi parlemen. Namun fungsinya dibutuhkan guna menyingkirkan partai-partai yang gagal mendapatkan dukungan pemilih. Sebab, banyaknya partai politik peserta pemilu, tidak hanya membingungkan pemilih dalam memberikan suara, tetapi juga menelan banyak dana. Sementara itu, berkurangnya jumlah partai politik di parlemen diharapkan dapat mengurangi fragmentasi politik sehingga berdampak positif terhadap pengambilan keputusan di parlemen.
Saran ke Arah Demokrasi Politik
Pertama, penerapan ambang batas perwakilan pada pemilu DPR, pemilu DPRD provinsi dan pemilu DPRD kabupaten/ kota diperlukan guna mengurangi jumlah partai politik di DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Pengurangan jumlah partai politik di parlemen melalui ambang batas memang tidak selalu diikuti oleh penyederhanaan sistem kepartaian di parlemen. Berapapun besarannya, penerapan ambang batas perwakilan efektif mengurangi jumlah partai secara riil di DPR. Namun,  jumlah riil partai politik di DPR tidak mencerminkan sistem kepartaian yang terbentuk. Padahal justru pada sistem kepartaian inilah efektivitas kerja parlemen lebih banyak ditentukan. Sistem kepartaian bukan ditentukan oleh berapa jumlah partai riil di parlemen, melainkan oleh berapa jumlah partai efektif atau partai relevan.
Kedua, besaran ambang batas pemilu DPR yang tepat adalah 2,5% suara nasional. Angka tersebut merupakan titik optimal yang dapat mengurangi jumlah partai politik masuk DPR, sekaligus dapat menahan laju indeks disproporsional akibat suara terbuang. Sementara besaran ambang batas pemilu DPRD provinsi dan pemilu DPRD kabupaten/kota masing-masing 3% suara wilayah pemilihan. Angka ini dapat mengurangi jumlah partai politik di parlemen sekaligus menyederhanakan sistem kepartaian, meskipun hal itu juga menyebabkan indeks disproporsional yang sudah tinggi menjadi semakin tinggi sebagai akibat bertambahnya suara terbuang.
Ketiga, penerapan ambang batas perwakilan pemilu DPR, pemilu DPRD provinsi dan pemilu DPRD kabupaten/ kota harus diikuti oleh sosialisasi kepada pemilih agar mereka menyadari sepenuhnya bahwa ketentuan tersebut bisa berdampak pada terbuangnya suara mereka secara sia-sia. Sosialisasi ini sekaligus menjadi tantangan bagi partai-partai politik baru dan partai-partai politik kecil untuk bekerja keras menyakinkan pemilih bahwa dirinya layak dipercaya untuk menjadi wakil di parlemen.
2. Pemisahan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden
Persoalan konstitusionalitas pemilu 2014 muncul akibat putusan MK Nomor 14/PUU-IX/2013 yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi (judicial review) terhadap UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu (Effendi Ghazali). Amar putusannya mengatakan pasal 3 ayat (5), pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) , pasal 14 ayat (2) dan pasal 112 UU Nomor 42 tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inskonstitusional) sehingga pemilihan umum presiden dan wakil presiden harus dilakukan secara serentak dengan pemilihan umum anggota DPR,DPD, dan DPRD. Meskipun demikian, Keabsahan pemilu 2014 baik legislatif maupun presiden dan wakil presiden hanyalah didasarkan pada pertimbangan hukum putusan MK yang menegaskan bahwa “penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres)dan Pemilu Legislatif tahun 2009  dan tahun 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan Konstitusional”. [1]
Kelebihan Pemilu Serentak
Hanya pada pemilu serentak yang melaksanakan bersamaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota Legislatif (Pusat dan Daerah) juga Perwakilan Dewan Daerah (serta selanjutnya Pemilihan Umum Kepala Daerah, warga negara dapat membuat sistem checks and balances menurut keyakinannya sendiri.
Selain itu juga bisa menghemat dana yang dikeluarkan untuk kampanye, biaya resmi penyelenggaraan pemilu diyakini dapat menyusut drastis karena akan mengurangi honor penyelenggaraan pemilu. Apabila dilakukan dengan serentak, maka terjadi efisiensi dan efektivitas setidaknya dalam tujuh hal, yakni pemutakhiran data pemilih, sosialisasi, perlengkapan TPS, distribusi logistik, perjalanan dinas, honorarium dan uang lembur. Atau dengan kata lain tidak perlu menghamburkan biaya politik yang berlebihan.
Disisi lain, juga meminimalisir politik uang yang pada akhirnya berlanjut dengan strategi instan “membeli suara rakyat”. Hal ini juga berpeluangan terjadinya kecurangan pemilu karena bisa dijadikan kesempatan bagi segelintir masyarakat untuk melibatkan diri dalam politik uang baik untuk ikut serta dalam aneka acara kampanye dan pencitraan maupun untuk menawarkan pilihannya dalam suatu pemilihan umum.
Meskipun pemilu diselenggarakan secara serentak dan partai politik peserta pemilunya sama, namun penerapan ambang batas perwakilan tetap berlaku secara khusus pada masing-masing pemilu. Itu artinya pemilu DPR, pemilu DPRD provinsi dan pemilu DPRD kabupaten/kota, masing-masing memiliki ambang batas sendiri-sendiri. Gagasan penerapan ambang batas pemilu nasional (pemilu DPR) terhadap pemilu DPRD provinsi dan pemilu DPRD kabupaten/kota, tidak hanya mengacaukan bekerjanya sistem pemilu, tetapi juga merusak atau menghilangkan keaslian suara pemilih untuk dikonversi menjadi kursi. Motode penerapan ambang batas seperti itu, tidak hanya mencederai hak-hak politik warga negara yang dijamin konstitusi, tetapi juga mengundang gejolak politik daerah akibat ketidakpuasan pemilih.
Kekurangan Pemilu Serentak
Pemilu Serentak atau istilah lain yang lebih spesifik “Pemilu Lima Kotak” memerlukan lagi perencanaan dan penyusunan pengaturan sistem pemilu yang efektif lagi dan nantinya  menimbulkan gejolak politik yang sangat kental dengan perdebatan sengit yang tidak kunjung usai.



D.    PENUTUP
              Peta politik mengalami perubahan, hasil konversi suara menjadi kursi membuat terjadinya perubahan  jumlah prosentase kursi yang diperoleh. Terdapat beberapa partai yang diuntungkan, yaitu prosentasenya menjadi naik (PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP) dan beberapa partai lain yang dirugikan karena prosesntasenya menurun (Nasdem, PKB, dan Hanura).        
            Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Karena perhitungan kursi di DPR RI tahun 2014 berbeda dengan tahun 2009. Penghitungan pada Pemilu 2014 mengacu pada Pemilu 2004 daripada 2009. Sekarang sudah disederhanakan kembali ke metode tahun 2004, tidak ada pembagian kursi tahap ketiga di mana sisa-sisa suara itu dinaikkan ke tingkat Provinsi. Padahal sebetulnya satuan kompetisi Pemilu adalah di dapil-dapil. Untuk menentukan kursi melalui penghitungan ketiga lalu dicari lagi BPP di tingkat provinsi, sistem tersebut sangat rumit, dan pengaturan tidak cukup jelas. Sekarang sistemnya sudah kembali tidak ada pembagian kursi di tingkat Provinsi. Selesai dibagi di setiap dapil. Pada 2009, sisa suara dikumpulkan dari seluruh provinsi. Artinya, sisa suara dari dapil lain digabungkan. Misalnya, ada 3 dapil, sisa partai di setiap dapil itu digabungkan menjadi satu.
            Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil dalam sidang Putusan Mahkamah Konstitusi juga menilai ambang batas 3,5% bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik & rasionalitas sehingga bertentangan pula dengan tujaun pemilu yakni memilih wakil rakyat dari tingkat pusat hingga daerah.  Karena banyak suara yang hilang maka terhambat juga saluran aspirasi dari kelompok minoritas dalam sistem bangunan kenegaraan Indonesia yang demokratis dan dijamin oleh UUD 1945. Meskipun demikian, kita tidak boleh menutup mata dengan kemanfaatan yang dihasilkan dari penerapan ambang batas tersebut guna untuk sistem demokrasi yang lebih baik. Tujuan penerapan ambang batas pada tingkat wilayah pemilihan adalah: pertama, mengurangi jumlah partai politik yang masuk parlemen; kedua, menyaring partai politik peserta pemilu berikutnya.
            Pemilu 2014 juga masih memisahkan antara pemilu legislatif dan pemilu presiden. Artinya pemisahan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden adalah inskonstitusional, padahal pemilu presiden dan wakil presiden harus dilakukan secara serentak dengan pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD. Meskipun demikian, pemisahan penyelenggaraan pemilu di tahun 2014 dengan segala akibat hukumnya pada batas-batas tertentu yang tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Padahal pemilihan umum secara serentak merupakan pilihan yang lebih baik jika bisa dilaksanakan di tahun 2014 bukan saja menghemat dana tetapi juga lebih efektif dan efisien waktu.
           
           


[1] Machmud Al Rasyid. Konstitusionalitas Pemilu 2014. Surakarta, 21 April 2014