Guest book
Popular Posts
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian ANALISIS KURIKULUM 2006 DAN KURIKULUM 2013 MAPEL PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Oleh: Dewi Wulandari NI...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian PERBANDINGAN KEMAMPUAN SISTEM POLITIK DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DENGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian MODEL PEMBELAJARAN PKN Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan Pancasila dan Ke...
-
Artikel Ilmiah TAMAN BALEKAMBANG SEBAGAI PEMBENTUK ESTETIKA KOTA SOLO Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidik...
-
E PISTIMOLOGI M ULTIKULTURALISME Mahfud Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : ...
-
Resensi MULTIKULTURALISME DAN KEWARGANEGARAAN DI MALAYSIA, SINGAPURA DAN INDONESIA Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Stu...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian PERENCANAAN PEMBELAJARAN PKN Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan Pancasil...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian PENDEKATAN DALAM PENDIDIKAN ILMU SOSIAL Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian KOMUNIKASI POLITIK Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarg...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian ANALISIS SISTEM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DITINJAU DARI SISI KEDAULATAN RAKYAT & DEMOKRASI Oleh...
Blogger templates
Blogger news
Blogroll
About
Diberdayakan oleh Blogger.
Site Categories
Mengenai Saya
About
Kamis, 28 April 2016
Artikel Ilmiah Non-Penelitian
ANALISIS SISTEM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014
DITINJAU DARI SISI KEDAULATAN RAKYAT & DEMOKRASI
Oleh: Dewi Wulandari
NIM K6413020
Progam Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak
Salah satu hal
yang menyangkut perubahan pengaturan sistem Pemilu Legislatif tahun 2014 adalah
penetapan ambang batas yang naik 1% dari tahun 2009 yang menjadi 3,5% di tahun
2014 berdampak pada perolehan suara partai politik yang mengikuti pemilu. Akibatnya
bagi partai yang mendapatkan suara dibawah 3,5% berarti ditetapkan partai politik
tersebut tidak bisa dilibatkan dalam perhitungan kursi yaitu PBB dan PKPI. Selain
itu, partai yang tidak lolos ambang batas tersebut juga dipastikan tidak bisa
mengikuti lagi pemilu berikutnya. Karena kebijakan yang dianggap bertentangan
dengan kedaulatan rakyat dan hak politik maka banyak yang mengajukan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi terhadap pasal yang mematikan mereka (partai perolehan
suara kurang dari 3,5%) yang secara
tidak langsung mematikan keinginan mereka untuk bisa “menduduki” kursi di DPR
RI. Pemilu 2014 juga masih memisahkan antara pemilu legislatif dan pemilu
presiden. Artinya pemisahan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu
presiden adalah inskonstitusional, padahal pemilu presiden dan wakil presiden
harus dilakukan secara serentak dengan pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD.
Meskipun demikian, pemisahan penyelenggaraan pemilu di tahun 2014 dengan segala
akibat hukumnya pada batas-batas tertentu yang tetap dinyatakan sah dan
konstitusional.
A.
PENDAHULUAN
Pemilu 9 April 2014 yang lalu dengan
diikuti oleh 12 Partai Nasional dan 3 Partai Lokal di Aceh. Jumlah Daftar
Pemilih Tetap 185.826.024 orang dengan tingkat partisipasi 75,11 %, yaitu
124.972.491 yang menggunakan hak pilihnya. Hal ini berarti ada 24,89 %.
Sedangkan apabila suara tidak sah karena kesengajaan atau kesalahan mencoblos
dimasukkan dalam kelompok Golput, maka akan mencapai 31,89 %. Tabel 1. Hasil Legislative
DPR Pusat
No
|
PARTAI
|
Suara
|
% Suara
|
Kursi
|
% Kursi
|
1.
|
Nasdem
|
8.402.812
|
6,72 %
|
35
|
6,25 %
|
2.
|
PKB
|
11.298.957
|
9,04 %
|
47
|
8,39 %
|
3.
|
PKS
|
8.480.204
|
6,79 %
|
40
|
7,14 %
|
4.
|
PDIP
|
23.681.471
|
18,95 %
|
109
|
19,46 %
|
5.
|
Golkar
|
18.432.312
|
14,75 %
|
91
|
16,25 %
|
6.
|
Gerindra
|
14.760.371
|
11,81 %
|
73
|
13,03 %
|
7.
|
Demokrat
|
12.728.913
|
10,19 %
|
61
|
10.89 %
|
8.
|
PAN
|
9.481.621
|
7,59 %
|
49
|
8,75 %
|
9.
|
PPP
|
8.157.488
|
6,53 %
|
39
|
6,96 %
|
10.
|
Hanura
|
6.579.498
|
5,26 %
|
16
|
2,86 %
|
11.
|
Partai Damai
Aceh*
|
0
|
0 %
|
0
|
0 %
|
12.
|
Partai
Nasional Aceh*
|
0
|
0 %
|
0
|
0 %
|
13.
|
Partai Aceh*
|
0
|
0 %
|
0
|
0 %
|
14.
|
Partai Bulan
Bintang**
|
1.825.750
|
1,46 %
|
0
|
0 %
|
15.
|
PKPI**
|
1.143.094
|
0,91 %%
|
0
|
0 %
|
JUMLAH
|
124.972.491
|
100 %
|
560
|
100 %
|
Keterangan
: *) Partai Lokal Aceh; **) Tidak lolos ke DPR karena perolehan kurang 3,5 %
Berdasarkan hasil pemilu tersebut
maka terdapat 2 partai yang tidak lolos ambang batas parlemen atau untuk
mendapatkan kursi DPR sebesar 3,5 %, yaitu PBB dan PKPI. Hasil konversi suara
menjadi kursi membuat terjadinya perubahan
jumlah prosentase kursi yang diperoleh. Terdapat beberapa partai yang
diuntungkan, yaitu prosentasenya menjadi naik (PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat,
PAN, PPP) dan beberapa partai lain yang dirugikan karena prosentasenya menurun
(Nasdem, PKB, dan Hanura).
B.
POKOK
MASALAH
1. Apabila
dilihat dari perspektif demokrasi, dimana letak kedaulatan rakyatnya atau
demokratisnya, apabila terjadi perubahan prosentase tersebut. Artinya antara
perolehan suara dan perolehan kursi menjadi tidak sebanding. Mengapa hal
tersebut bisa terjadi.
2. Bagaimana
ulasan perspektif demokratis Pemilu 2014 antara pemilu legislative dan pemilu
presiden masih dipisahkan, sehingga pada masa kampanye hanya sedikit Partai
Politik peserta pemilu yang mengangkat Isu Calon Presiden dari Partai.,
Sedangkan untuk Pemilu 2019 yang akan datang, antara pemilu legislative dan
pemilu presiden akan serentak, sehingga kotak hasil pemilu menjadi 5, yaitu
untuk DPR, DPD, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Presiden
C.
PEMBAHASAN
1. Penetapan Ambang Batas Sebesar
3,5% Yang Mengundang Gejolak Politik
Perubahan sistem pengaturan Pemilu
selalu dilakukan menjelang pemilu dilaksanakan. Apakah DPR tidak mampu membuat
sistem pengaturan pemilu maupun Undang-undang yang berkualitas dan berspektif
ke depan? Undang-undang ini berhubungan langsung dengan kepentingan partai
politik dalam meraih kekuasaan. Inilah salah satu faktor, mengapa undang-undang
pemilu gampang diubah-ubah. Namun ada faktor lain yang lebih menentukan: bangsa
Indonesia memang belum menemukan sistem dan format pemilu yang pas bagi
pembangunan politik demokratis ke depan, sehingga upaya pencarian terus
dilakukan oleh segenap komponen bangsa.
Hasil pemilu 2014, hanya 10 partai
yang lolos ambang batas yaitu PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP,
Nasdem, PKB, dan Hanura. Partai-partai yang lolos tersebut ditetapkan berhasil
masuk dalam perhitungan konversi kursi. Peta politikpun mengalami perubahan, hasil
konversi suara menjadi kursi membuat terjadinya perubahan jumlah prosentase kursi yang diperoleh.
Terdapat beberapa partai yang diuntungkan, yaitu prosentasenya menjadi naik
(PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP) dan beberapa partai lain yang
dirugikan karena prosesntasenya menurun (Nasdem, PKB, dan Hanura).
Mengapa
hal tersebut bisa terjadi? Karena perhitungan kursi di DPR RI tahun 2014 berbeda
dengan tahun 2009. Penghitungan pada Pemilu 2014 mengacu pada Pemilu 2004
daripada 2009. Sekarang sudah disederhanakan kembali ke metode tahun 2004,
tidak ada pembagian kursi tahap ketiga di mana sisa-sisa suara itu dinaikkan ke
tingkat Provinsi. Padahal sebetulnya satuan kompetisi Pemilu adalah di
dapil-dapil. Untuk menentukan kursi melalui penghitungan ketiga lalu dicari
lagi BPP di tingkat provinsi, sistem tersebut sangat rumit, dan pengaturan
tidak cukup jelas. Sekarang sistemnya sudah kembali tidak ada pembagian kursi
di tingkat Provinsi. Selesai dibagi di setiap dapil. Pada 2009, sisa suara
dikumpulkan dari seluruh provinsi. Artinya, sisa suara dari dapil lain
digabungkan. Misalnya, ada 3 dapil, sisa partai di setiap dapil itu digabungkan
menjadi satu.
Dalam sistem pemilu proporsional, besaran daerah pemilihan dan
formula alokasi kursi punya kaitan erat dengan tingkat kompetisi partai politik
dalam memperebutkan kursi di daerah pemilihan yang bersangkutan. Rumus umum
menyatakan, bahwa semakin kecil besaran
daerah pemilihan, semakin tinggi tingkat persaingan; demikian juga sebaliknya,
semakin besar besaran daerah pemilhan maka semakin rendah tingkat persaingan.
Pada titik inilah dikenal istilah threshold
atau angka ambang batas mendapatkan kursi, yaitu jumlah suara minimal yang
harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan kursi yang ada di daerah
pemilihan tersebut.
Anggota KPU Hadar Nafis Gumay, mengemukakan
penghitungan perolehan kursi DPR RI dimulai dari penghitungan perolehan suara
partai-partai politik peserta Pemilu secara nasional. Setelah diketahui
hasilnya, KPU akan menentukan siapa saja yang lolos dengan berpatok pada ambang
batas parlemen sebesar 3,5 persen.
Mekanisme perhitungan perolehan
kursi DPR RI tersebut yakni,
1. Dimulai
dengan perhitungan perolehan suara sah nasional partai politik dikalikan dengan
besaran ambang batas (3.5%).
Perhitungan:
Jumlah
suara sah adalah 124.972.491 suara dikalikan dengan ambang batas 3,5% hasilnya 3.749.175. Angka tersebut merupakan angka ambang batas.
Berarti jika, partai
politik peserta pemilu memperoleh angka 3.749.175
atau lebih maka ditetapkan memenuhi syarat, sehingga partai politik tersebut
dilibatkan dalam perhitungan kursi.
Jadi dapat dengan mudah diketahui PBB
yang hanya memperoleh suara 1.825.750 dan PKPI memperoleh suara 1.143.094 ditetapkan TIDAK MEMENUHI SYARAT sehingga PBB dan PKPI tidak dilibatkan
dalam perhitungan kursi.
2. Menentukan BPP (Bilangan Pembagian Pemilihan)
yang disebut dengan angka pembagi/ harga kursi di suatu dapil.
Merupakan
pembagian jumlah suara sah parpol yang lulus ambang batas dibagi dengan jumlah
kursi didapil yang bersangkutan.
3. Setelah
KPU melakukan perhitungan BPP tahap pertama maka akan diketahui partai-partai
mana saja yang mendapat kursi. (Tahap I)
4. Kemudian
sisa suara yang dihasilkan dari perhitungan kursi diatas, digunkan untuk perhitungan
Tahap II dengan berbasis pada ranking partai berdasar sisa suara.
Dapat
diambil kesimpulan, penerapan ambang batas menyebabkan meningkatnya jumlah
suara yang tidak terkonversi menjadi kursi, atau suara hilang atau suara
terbuang atau wasted votes. Itu artinya, penerapan
ketentuan ambang batas jika tidak hati-hati akan melanggar prinsip sistem pemilu proporsional: membagi suara-kursi
secara proprosional. Padahal UUD 1945 menegaskan, bahwa pemilu untuk memilih
anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota menggunakan sistem pemilu
proporsional.
Disi lain ada manfaat dari Penerapan
ambang batas perwakilan dalam satu pemilu. Tujuannya
adalah untuk membatasi partai-partai politik yang tidak mendapat dukungan
signifikan masuk parlemen. Selain itu, banyaknya partai politik di parlemen
dipercaya mempengaruhi efektivitas pengambilan keputusan di parlemen, yang
kemudian berdampak pada kinerja pemerintahan. Artinya, semakin banyak partai
politik di parlemen, maka semakin rendah efektivitas pengambilan keputusan
sehingga semakin buruk kinerja pemerintahannya. Meskipun logika tersebut tidak
sesuai dengan kenyataan, namun para politisi (khususnya yang partainya
menguasai parlemen) bersikeras dengan dalih tersebut. Padahal efektivitas
pengambilan keputusan parlemen, tidak ditentukan oleh berapa jumlah partai
politik di parlemen, tetapi lebih oleh berapa jumlah partai politik dominan di
parlemen. Sebab, tidak semua partai di parlemen mempunyai kekuatan sama,
melainkan bergantung pada jumlah kursi yang dimilikinya.
Letak Kedaulatan Rakyat &
Demokrasi
Konstitusi
kita dengan sangat jelas mengatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah suatu negara yang menganut teori kedaulatan rakyat. Di pasal 1 UUD 1945
ayat (2), ditegaskan lagi bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut undang-undag dasar.” Maka dengan mudah dapat
disimpulkan secara de jure, negara
kita Indonesia adalah negara berkedaulatan rakyat. Kelebihan teori
kedaulatan rakyat adalah adanya jiwa demokratis dalam pelaksanaanya. Masyarakat mengharapkan adanya peningkatan
demokrasi di Indonesia. Masyarakat juga mengharapkan pemerintahan yang
dihasilkan melalui prosedur demokrasi mampu menangkap dan mengartikulasi
kepentingan publik jauh lebih baik dibanding masa sebelumnya serta menjauhkan
dari kepentingan-kepentingan sempit kelompok atau golongan tertentu. Namun
demikian, dalam realitas harapan-harapan tersebut belum terwujud secara
optimal. Muncul keluhan bahwa sistem demokrasi yang sekarang berjalan belum
banyak menghasilkan kesejahteraan ekonomi dan sosial. Demokrasi dapat menjadi
bumerang bagi suatu negara, karena demokrasi dapat menyebabkan ketidakstabilan
kondisi pemerintahan dan sosial. Ketidakstabilan kondisi sosial ini disebabkan
oleh salah satunya kebebasan berpendapat dan berkespresi.
Evaluasi pelaksanaan demokrasi di
Indonesia yang berkaitan dengan pemilihan umum tahun 2014 yaitu menuai fakta
yang mengejutkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan pengaturan sistem
pemilu 2014 dinilai sangat merugikan partai-partai yang tidak lolos ambang
batas. Besaran angka ambang batas 3,5% dirasakan sangat berat dan cepat atau
lambat partai-partai tersebut akan mati suri ditelan bumi. Untuk mengatasi hal
tersebut maka partai-partai tersebut segera melakukan pendekatan fusi atau
membentuk aliansi dengan partai lain. Selain itu, banyak juga yang mengajukan
gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap pasal-pasal yang mematikan secara tidak
langsung keinginan mereka untuk bisa “menduduki” kursi di DPR RI. Anggota DPRD
dari partai yang memperoleh sedikit suara akan pindah atau lari ke partai lain,
seharusnya kader partai yang lari ke partai lain tersebut tidak layak diajukan
lagi karena sudah dapat diketahui bahwa tujuan berpartai hanya sekedar untuk
“mencari makan” bukan untuk tujuan ideologis. Hakim
Konstitusi Ahmad Fadlil dalam sidang Putusan Mahkamah Konstitusi juga menilai
ambang batas 3,5% bertentangan dengan
kedaulatan rakyat, hak politik & rasionalitas sehingga bertentangan pula
dengan tujaun pemilu yakni memilih wakil rakyat dari tingkat pusat hingga
daerah.
Karena banyak suara yang hilang
maka terhambat juga saluran aspirasi dari kelompok minoritas dalam sistem
bangunan kenegaraan Indonesia yang demokratis dan dijamin oleh UUD 1945. Meskipun
demikian, kita tidak boleh menutup mata dengan kemanfaatan yang dihasilkan dari
penerapan ambang batas tersebut guna untuk sistem demokrasi yang lebih baik.
Tujuan penerapan ambang batas pada tingkat wilayah pemilihan adalah: pertama,
mengurangi jumlah partai politik yang masuk parlemen; kedua, menyaring partai
politik peserta pemilu berikutnya. Penerapan ambang batas ini memang
mempersempit peluang partai-partai kecil atau partai-partai baru untuk meraih
kursi parlemen. Namun fungsinya dibutuhkan guna menyingkirkan partai-partai
yang gagal mendapatkan dukungan pemilih. Sebab, banyaknya partai politik
peserta pemilu, tidak hanya membingungkan pemilih dalam memberikan suara,
tetapi juga menelan banyak dana. Sementara itu, berkurangnya jumlah partai
politik di parlemen diharapkan dapat mengurangi fragmentasi politik sehingga berdampak
positif terhadap pengambilan keputusan di parlemen.
Saran ke Arah Demokrasi Politik
Pertama,
penerapan ambang batas perwakilan pada pemilu DPR, pemilu DPRD provinsi dan
pemilu DPRD kabupaten/ kota diperlukan guna mengurangi jumlah partai politik di
DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Pengurangan jumlah partai politik
di parlemen melalui ambang batas memang tidak selalu diikuti oleh
penyederhanaan sistem kepartaian di parlemen. Berapapun besarannya, penerapan
ambang batas perwakilan efektif mengurangi jumlah partai secara riil di DPR.
Namun, jumlah riil partai politik di DPR
tidak mencerminkan sistem kepartaian yang terbentuk. Padahal justru pada sistem
kepartaian inilah efektivitas kerja parlemen lebih banyak ditentukan. Sistem
kepartaian bukan ditentukan oleh berapa jumlah partai riil di parlemen,
melainkan oleh berapa jumlah partai efektif atau partai relevan.
Kedua,
besaran
ambang batas pemilu DPR yang tepat adalah 2,5% suara nasional. Angka tersebut
merupakan titik optimal yang dapat mengurangi jumlah partai politik masuk DPR,
sekaligus dapat menahan laju indeks disproporsional akibat suara terbuang.
Sementara besaran ambang batas pemilu DPRD provinsi dan pemilu DPRD
kabupaten/kota masing-masing 3% suara wilayah pemilihan. Angka ini dapat
mengurangi jumlah partai politik di parlemen sekaligus menyederhanakan sistem
kepartaian, meskipun hal itu juga menyebabkan indeks disproporsional yang sudah
tinggi menjadi semakin tinggi sebagai akibat bertambahnya suara terbuang.
Ketiga,
penerapan
ambang batas perwakilan pemilu DPR, pemilu DPRD provinsi dan pemilu DPRD
kabupaten/ kota harus diikuti oleh sosialisasi kepada pemilih agar mereka
menyadari sepenuhnya bahwa ketentuan tersebut bisa berdampak pada terbuangnya
suara mereka secara sia-sia. Sosialisasi ini sekaligus menjadi tantangan bagi
partai-partai politik baru dan partai-partai politik kecil untuk bekerja keras
menyakinkan pemilih bahwa dirinya layak dipercaya untuk menjadi wakil di
parlemen.
2. Pemisahan Pemilu Legislatif dan
Pemilu Presiden
Persoalan
konstitusionalitas pemilu 2014 muncul akibat putusan MK Nomor 14/PUU-IX/2013
yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi (judicial review) terhadap UU
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang
diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu (Effendi Ghazali). Amar
putusannya mengatakan pasal 3 ayat (5), pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) , pasal
14 ayat (2) dan pasal 112 UU Nomor 42 tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat (inskonstitusional) sehingga pemilihan umum presiden dan wakil
presiden harus dilakukan secara serentak dengan pemilihan umum anggota DPR,DPD,
dan DPRD. Meskipun demikian, Keabsahan pemilu 2014 baik legislatif maupun
presiden dan wakil presiden hanyalah didasarkan pada pertimbangan hukum putusan
MK yang menegaskan bahwa “penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres)dan
Pemilu Legislatif tahun 2009 dan tahun
2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya
harus tetap dinyatakan sah dan Konstitusional”. [1]
Kelebihan Pemilu Serentak
Hanya
pada pemilu serentak yang melaksanakan bersamaan Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota Legislatif (Pusat dan Daerah) juga
Perwakilan Dewan Daerah (serta selanjutnya Pemilihan Umum Kepala Daerah, warga
negara dapat membuat sistem checks and balances menurut keyakinannya sendiri.
Selain
itu juga bisa menghemat dana yang dikeluarkan untuk kampanye, biaya resmi
penyelenggaraan pemilu diyakini dapat menyusut drastis karena akan mengurangi
honor penyelenggaraan pemilu. Apabila dilakukan dengan serentak, maka terjadi
efisiensi dan efektivitas setidaknya dalam tujuh hal, yakni pemutakhiran data
pemilih, sosialisasi, perlengkapan TPS, distribusi logistik, perjalanan dinas,
honorarium dan uang lembur. Atau dengan kata lain tidak perlu menghamburkan
biaya politik yang berlebihan.
Disisi
lain, juga meminimalisir politik uang yang pada akhirnya berlanjut dengan
strategi instan “membeli suara rakyat”. Hal ini juga berpeluangan terjadinya
kecurangan pemilu karena bisa dijadikan kesempatan bagi segelintir masyarakat
untuk melibatkan diri dalam politik uang baik untuk ikut serta dalam aneka
acara kampanye dan pencitraan maupun untuk menawarkan pilihannya dalam suatu
pemilihan umum.
Meskipun
pemilu diselenggarakan secara serentak dan partai politik peserta pemilunya
sama, namun penerapan ambang batas perwakilan tetap berlaku secara khusus pada masing-masing
pemilu. Itu artinya pemilu DPR, pemilu DPRD provinsi dan pemilu DPRD
kabupaten/kota, masing-masing memiliki ambang batas sendiri-sendiri. Gagasan
penerapan ambang batas pemilu nasional (pemilu DPR) terhadap pemilu DPRD
provinsi dan pemilu DPRD kabupaten/kota, tidak hanya mengacaukan bekerjanya
sistem pemilu, tetapi juga merusak atau menghilangkan keaslian suara pemilih
untuk dikonversi menjadi kursi. Motode penerapan ambang batas seperti itu,
tidak hanya mencederai hak-hak politik warga negara yang dijamin konstitusi,
tetapi juga mengundang gejolak politik daerah akibat ketidakpuasan pemilih.
Kekurangan Pemilu Serentak
Pemilu
Serentak atau istilah lain yang lebih spesifik “Pemilu Lima Kotak” memerlukan
lagi perencanaan dan penyusunan pengaturan sistem pemilu yang efektif lagi dan
nantinya menimbulkan gejolak politik
yang sangat kental dengan perdebatan sengit yang tidak kunjung usai.
D.
PENUTUP
Peta politik mengalami perubahan,
hasil konversi suara menjadi kursi membuat terjadinya perubahan jumlah prosentase kursi yang diperoleh.
Terdapat beberapa partai yang diuntungkan, yaitu prosentasenya menjadi naik
(PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP) dan beberapa partai lain yang
dirugikan karena prosesntasenya menurun (Nasdem, PKB, dan Hanura).
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Karena perhitungan kursi di DPR RI
tahun 2014 berbeda dengan tahun 2009. Penghitungan pada Pemilu 2014 mengacu
pada Pemilu 2004 daripada 2009. Sekarang sudah disederhanakan kembali ke metode
tahun 2004, tidak ada pembagian kursi tahap ketiga di mana sisa-sisa suara itu
dinaikkan ke tingkat Provinsi. Padahal sebetulnya satuan kompetisi Pemilu
adalah di dapil-dapil. Untuk menentukan kursi melalui penghitungan ketiga lalu
dicari lagi BPP di tingkat provinsi, sistem tersebut sangat rumit, dan
pengaturan tidak cukup jelas. Sekarang sistemnya sudah kembali tidak ada
pembagian kursi di tingkat Provinsi. Selesai dibagi di setiap dapil. Pada 2009,
sisa suara dikumpulkan dari seluruh provinsi. Artinya, sisa suara dari dapil
lain digabungkan. Misalnya, ada 3 dapil, sisa partai di setiap dapil itu
digabungkan menjadi satu.
Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil dalam
sidang Putusan Mahkamah Konstitusi juga menilai ambang batas 3,5% bertentangan
dengan kedaulatan rakyat, hak politik & rasionalitas sehingga bertentangan
pula dengan tujaun pemilu yakni memilih wakil rakyat dari tingkat pusat hingga
daerah. Karena banyak suara yang hilang
maka terhambat juga saluran aspirasi dari kelompok minoritas dalam sistem
bangunan kenegaraan Indonesia yang demokratis dan dijamin oleh UUD 1945.
Meskipun demikian, kita tidak boleh menutup mata dengan kemanfaatan yang
dihasilkan dari penerapan ambang batas tersebut guna untuk sistem demokrasi
yang lebih baik. Tujuan penerapan ambang batas pada tingkat wilayah pemilihan
adalah: pertama, mengurangi jumlah partai politik yang masuk parlemen; kedua,
menyaring partai politik peserta pemilu berikutnya.
Pemilu 2014 juga masih memisahkan
antara pemilu legislatif dan pemilu presiden. Artinya pemisahan penyelenggaraan
pemilu legislatif dan pemilu presiden adalah inskonstitusional, padahal pemilu
presiden dan wakil presiden harus dilakukan secara serentak dengan pemilu
anggota DPR,DPD dan DPRD. Meskipun demikian, pemisahan penyelenggaraan pemilu
di tahun 2014 dengan segala akibat hukumnya pada batas-batas tertentu yang
tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Padahal pemilihan umum secara serentak
merupakan pilihan yang lebih baik jika bisa dilaksanakan di tahun 2014 bukan
saja menghemat dana tetapi juga lebih efektif dan efisien waktu.
Langganan:
Postingan (Atom)