Guest book

script cbox kamu
Mau buat buku tamu ini ?
Klik di sini
Sumber : http://ramadhanlmzero.blogspot.com/2012/12/cara-membuat-buku-tamu-keren-di-blog.html#ixzz47H4OJJnc

Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Site Categories

About

Rabu, 27 April 2016


Artikel Ilmiah Non-Penelitian
PERBANDINGAN KEMAMPUAN SISTEM POLITIK DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DENGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA REFORMASI
Oleh: Dewi Wulandari
NIM K6413020
Progam Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
A.    PENDAHULUAN
Sejak kemerdekaan sampai dengan sekarang, Dasar Negara kita tidak pernah berubah yaitu selalu berisi lima dasar/Pancasila, tetapi Bentuk Negara, Sistem Pemerintahan dan Penerapan Rule of Lawnya bisa berbeda-beda. Sejarah sistem politik Indonesia dapat dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup hanya sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tetapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif.  
Dalam analisis sistem politik, badan eksekutif dalam melaksanakan kekuasaannya dapat menghasilkan sejumlah keputusan-keputusan yang mengikat. Dalam sistem politik maka keputusan ini dikenal dengan output, misalnya Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen), danlain sebagainya. Dalam menegakkan keadilan, maka badan eksekutif memiliki wewenang seperti grasi, abolisi, dan amnesti. Keputusan-keputusan yang telah dibuat oleh badan eksekutif tersebut mempunyai pengaruh dan dipengaruhi pula oleh lingkungan dimana badan eksekutif itu berada.
            Dengan kata lain misalnya, cara model suatu sistem politik dapat menjelaskan realitas sistem politik rezim pemerintahan Orde Baru (ORBA) yang otoriter-birokratis yang dianggap telah gagal melakukan adaptasi atau penyesuaia terhadap tuntutan-tuntutan yang mengalir semakin deras dari berbagai elemen kelompok masyarakat yang menghendaki perubahan baik dalam bidang politik (demokratisasi dan HAM) maupun ekonomi ( menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme).
B.     POKOK MASALAH
1.      Apa yang dimaksud Pancasila sebagai Ideologi Nasional bangsa Indonesia?
2.      Jelaskan sistem pemerintahan yang pernah berlaku di Indonesia?
3.      Bagaimana sejarah Lembaga Kepresidenan di Indonesia  dan bagaimana perbandingan kemampuan sistem politik yang dimiliki pada masa Pemerintahan Soeharto (Orde Baru) dengan Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (Periode 2004-2009 & 2009-2014) ?
C.    LANDASAN TEORI
1. Supra Struktur Politik (Teori Pembagian Kekuasaan)
Struktur negara Indonesia menganut sistem demokrasi yang penyelenggaraan fungsi negaranya dilakukan dengan pemisahan atau adanya pembagian fungsi negara kepada beberapa struktur negara yang satu sama lain terpisah dan berdiri sendiri.
Secara teoritis, pembagian fungsi negara didasarkan pada asumsi bahwa adanya pemusatan kekuasaan pada satu tangan, maka dapat terjadi pengelolaan sistem pemerintahan secara absolut atau otoriter. Maka untuk menghindari masalah tersebut perlu adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan, sehingga diharapkan adanya kontrol dan kesimbangan (checks and balances) diantara lembaga pemegang kekuasaan tersebut.
Dalam konteks ini, istilah pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Adapun kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak atau lembaga.
Ide pembagian kekuasaan tersebut bersumberkan pertama,pada pendapat John Locke, dalam bukunya yang berjudul Two Treaties of Government yang terbit tahun 1960 mengusulkan agar kekuasaan didalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi berbeda-beda. Menurut ia agar pemerintahan tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan kedalam tiga macam kekuasaan, yaitu
1.      Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2.      Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3.      Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain)
Pendapat  John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan dalam satu negara.
Kedua, bersumberkan pada pendapat Montesquieu. Ia seorang pemikir berkebangsaan Prancis mengemukakan teorinya yang disebut Trias Politica. Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Lois pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara kedalam tiga organ, yaitu
1.      Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2.      Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3.      Kekuasaan Yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang)
Dalam ketatanegaraan Indonesia, UUD 1945 yang sudah diamandemen sebanyak empat kali, maka berdasar teori tersebut diatas, konstitusi kita tidak secara murni atau utuh mengikuti konsep teori “Separation of power” seperti dalam Trias Politica tetapi lebih cenderung mengikuti konsep Distribution of power”. Pembagian kekuasaan ketiga lembaga politik tersebut terdapat celah untuk bekerja sama. Seperti misalnya, kerjasama antara lembaga legislatif dan eksekutif dalam hal penetapan setiap RUU mendapat ketetapan dibahas secara bersama-sama. Contoh yang lain misalnya RUU APBN DPR memiliki kewenangan membahas dan memeberikan persetujuan sampai dengan satuan tiga usulan RUU APBN dari pemerintah.
Pada pembahasan makalah ini, penulis memfokuskan untuk membahas Badan Eksekutif yang melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh legislatif. Dalam analisis sistem politik badan eksekutif termasuk salah satu struktur politik yang memiliki fungsi-fungsi tertentu yang harus dilaksanakan guna mempertahankan kelangsungan kehidupan dari sistem politik. Keberhasilan sistem politik dalam menghadapi tantangan tersebut, tergantung pada kapabilitas (kemampuan) sistemnya. Karena itu, baik David Easton maupun Gabriel Almond (1967) menyatakan, maka dalam sistem politik menunjukkan adanya unsur fungsi integrasi dan adaptasi terhadap masyarakat ke dalam maupun keluar. Dengan demikian, dalam penyusanan makalah ini akan dijelaskan dan dipaparkan secara jelas mengenai perbandingan kemampuan sistem politik Indonesia pada saat pemerintahan Indonesia pada masa Orde Baru dan Era Reformasi- Demokrasi Pancasila.
2. Kapabilitas Sistem Politik
Teori mengenai kemampuan sistem politik, penulis meninjau dari pandangan Gabriel Almond (dalam Cantori, 1974; lihat pula Chilcote, 1981), konsep kapabilitas sistem politik merupakan “a way of characterizing the performance of the poitical system according to their performance”. Penggunaan konsep kapabilitas akan berguna jika kita hendak melihat bagaimana kinerja sebuah sistem politik, termasuk bagaimana perubahan-perubahan dalam kinerja mereka. Konsep kapabilitas juga penting ketika kita hendak membandingkan sistem politik berkenaan dengan kinerjanya.
Menurut Almond ada enam kategori kapabilitas sistem politik yang didasarkan pada klasifikasi input dan output sistem politik, yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik yaitu Kapabilitas Ekstraktif, Apabilitas Distributif, Kapabilitas Regulatif, Kapabilitas Simbolik, Kapabilitas Responsif, Kapabilitas Dalam Negeri Dan Luar  Negeri


D.    PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI INDONESIA
            Ketetapan bangsa Indonesia bahwa Pancasila adalah ideologi bagi negara Indonesia adalah sebagaimana yang tertuang dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang  Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai dasar Negara. Pada pasal 1 ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
            Adapun makna Pancasila sebagai ideologi nasional menurut ketetapan tersebut adalah nilai-nilai yang terkadung dalam ideologi Pancasila menjadi cita-cita normatif penyelenggaraan bernegara. Secara luas dapat diartikan bahwa visi atau arah dari penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia adalah terwujudnya kehidupan yang ber-Ketuhanan, yang ber-Kemanusiaan, yang ber-Persatuan, yang ber-Kerakyatan dan yang ber-Keadilan.
            Dari sudut politik, Pancasila adalah sebuah konsesus politik, suatu persetujuan politik bersama antargolongan di Indonesia. dengan diterimanya Pancasila, berbagai golongan dan aliran pemikiran bersedia bersatu dalam negara kebangsaan Indonesia. dalam istilah politiknya, Pancasila merupakan common platform, atau common denominator masyarakat Indonesia yang plural. Sudut pandang politik ini teramat penting untuk bangsa Indonesia sekarang ini. Jadi, sebenarnya perkembangan Pancasila sebagai doktrin dan pandangan dunia yang khas tidak menguntungkan kalau dinilai dari tujuan mempersatukan bangsa.
            Ada perkembangan baru yang menarik yang berhubungandengan dasar negara kita. Dengan kelima prinsipnya Pancasila memang menjadi dasar yang cukup integratif bagi kelompok-kelompok politik yang cukup heterogen dalam sejarah bangsa Indonesia modern.  (Ismaun, 1981)
            Untuk mengatasi permasalahan di bidang politik, tidak ada jawaban lain kecuali bahwa kita harus mengembangkan sistem politik yang benar-benar demokratis (Mochtar Buchori (2001) dalam Warsito, 2012. Demokratisasi merupakan upaya penting dalam mewujudkan civil society. Tanpa proses demokratisasi tidak akan tercinpta civil society. Suatu masyarakat menjadi demokratik bukan karena memiliki institusi-institusi tertentu seperti lembaga perwakilan dan pemilihan umum. Masyarakat menjadi demokratik kalau mewujudkan nilai-nilai inti demokratik. (M. Sastrapratedja, 2001)
E.     SISTEM PEMERINTAHAN  YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA
            Sistem pemerintahan bangsa kita sejak awal kemerdekaan 17 Agustus 1945 sudah mengacu pada isi daripada UUD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial. Dalam hal ini, para menteri bertugas sebagai pembantu Presiden.
Berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, Pengumuman Badan Pekerja tanggal 14 November 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, tanggung jawab politik di tangan para menteri. Saat inilah dimulainya sistem pemerintahan parlementer, kondisi pemerintahan sudah mulai tidak stabil karena berlaku multipartai. Dengan sistem multipartai mengakibatkan sering terjadi pergantian kabinet sehingga kondisi politik menjadi tidak stabil.
Puncak peralihan sistem pemerintahan Indonesia dari Parlementer menuju ke presidensial adalah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Melalui Dekrit ini, Presiden membubarkan konstituante dan membubarkan UUD 1945 yang sebelumnya berlaku UUDS 1950. Sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1945, pemerintah diambil alih oleh Presiden. Segala kebijakan bersumber pada keputusan presiden, bahkan Presiden berwenang mengangkat dan memberhentikan anggota Dewan (MPRS, DPRS, DPAS) 
Tetapi setelah diadakannya amandemen UUD 1945, pokok-pokok sistem pemerintahan di Indonesia menjadi berubah. Indonesia sekarang ini menerapkan sistem pemerintahan presidensial.
Jadi sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia sejak Proklamasi sampai dengan sekarang telah mengalami banyak perubahan dan pergantian. Hal ini berkaitan erat dengan UUD yang dipakai sebagai pedoman penyelenggaraan bernegara. Demikianlah bangsa Indonesia memasuki suatu babakan baru dalam kehidupan ketatanegaraan yang diharapkan membawa ke arah perbaikan tingkat kehidupan rakyat. UUD 1945 Hasil Amandemen 2002 dirumuskan dengan melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi rakyat dalam mengambil keputusan politik, sehingga diharapkan struktur kelembagaan negara yang lebih demokratis akan meningkatkan kesejahteraan rakyat (Achmad Zubaidi dan Kaelan, 2010)
C. DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama disebut Lembaga Kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang hampir sama tuanya dengan sejarah Indonesia. dikatakan hampir sama, sebab pada saat Proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan (UUD 1945) dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai.
Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki ciri khas pada sejarah pemimpin mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilalui lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu, ini boleh dikatakan “hanya” diatur dalam konstitusi. Peraturan dibawah konstitusi hanya mengatur sebagian kecil dan itupun letaknya tersebar dalam berbagai jenis maupun tingkatan peraturan. Ini berbeda dengan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang memiliki undang-undang mengenai susunan dan kedudukan lembaga itu sendiri. Lain daripada masalah tokoh dan periodesasi juga memerlukan pencermatan lebih lanjut.
PERIODE 5 JULI 1959-19 OKTOBER 1999 
Masa Republik keempat ialah periode berlakunya kembali konstitusi yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dengan sebutan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 5 JULI 1959-19 Oktober 1999. Dengan berlakunya kembali konstitusi ini msks semua kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan praktis sama dengan periode Republik I.
Ada beberapa hal yang menarik dari segi peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut Dekrit Presiden yang memberlakukan kembali konstitusi dari Republik I, bagian penjelasan konstitusi mendapat kekuatan hukum yang mengikat karena diterbitkan dengan Lembaran Negara.
Dengan demikian, lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi, namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan hadirnya lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan Republik IV mengundang konsekuensi.  Dengan landasan hukum tersebut lembaga kepresidenan terutama Presiden (Jendral Besar TNI Purn. H.M. Soeharto) menjadi lembaga tinggi yang “super power dibanding lembaga tinggi lain.
Ada beberapa hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut antara lain Pertama, setelah MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang menagku jabatan dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963 MPRS menetapkan ketetapan MPRS yang mengangkat Presiden “Incumbent” sebagai Presiden Seumur Hidup. Ketiga, munculnya jabatan “Pejabat Presiden” ketika Presiden dimakzulkan di tahun 1967. Keempat,  penempatan “Pejabat Presiden” menjadi Presiden di tahun 1968. Kelima, pengisian lembaga kepresidenan sesuai dengan konstitusi baru dilakukan pada tahun 1973, tiga belas tahun MPR (MPRS) terbentuk.
Periode 1966-1998 masa demokrasi Pancasila era Orde Baru yang merupakan demokrasi konstitusional  yang menonjolkan sistem presidensial. Landasan formal periode ini adalah Pancasila, UUD 1945 dan Ketetapan MPRS/MPR dalam rangka untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yang terjadi di masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Namun dalam perkembangannya peran Presiden semakin dominan terhadap lembaga-lembaga negaran yang lain. Melihat praktek demokrasi pada masa ini, nama Pancasila hanya digunakan sebagai legitimasi politis penguasa saat itu, sebab kenyataannya yang dilaksanakan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
a.      Kapabilitas Ekstraktif Sistem Politik Masa Orde Baru
Perlu diakui bahwa Pemerintahan Orde Baru memiliki kapabilitas Ekstraktif yang besar. Karena itu pada tahun 1993, Indonesia sempat mendapatkan pujian dari Bank Dunia bahwa “Indonesia sebaga East Asian Miracle” dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Memang ini sungguh merupakan miracle (keajaiban) karena telah mengalami “sustinable rapid growth with highly equal income distribution”. Karena itu Indonesia dijuluki sebagai “Macan Asia Baru”, yaitu sebagai kekuatan ekonomi baru, selain Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan Malaysia.
Kemampuan rezim Orde Baru adalah selain kemampuan mengelola sumber-sumber ekstraktif dalam negeri, diantaranya dengan membangun infrastruktur pertanian, pertambangan dll. Selain itu, juga membuka diri sebagai sumber-sumber materiil internasional, yaitu sejak tahun 1970-an melalui liberalisasi investasi dan perdagangan melalui paket-paket diregulasi membuat masuknya investasi asing dengan cepat sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi. Dengan kemampuan ekstraktifnya yang baik, maka sudah dapat dianggap sukses dari progam pembangunan Pelitanya, Progam KB, transmigrasi, pengentasan kemiskinan, dan meningkatkan pendapatan perkapita Indonesia.
Namun dalam pertengahan 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi sehingga fondasi ekonomi yang telah dibangun selama 32 tahun runtuh, hingga kini masih dirasakan dampaknya.
b.      Kapabilitas Distributif Pada Masa Orde Baru
Memang disayangkan, kemampuan ekstraktif dari rezim Orde Baru tidak diimbangi dengan kemampuan distributif. Pasalnya kesuksesan pelaksanaan pembangunan tidak semerta merta membawa kemakmuran secara merata, namun yang muncul beberapa masalah antara lain:
·         Semakin menganga jurang antara kelompok yang masyarakatnya kaya dan kelompok masyarakat yang miskin
·         Kesenjangan pendapatan antara daerah dan pusat
·         Kesenjangan regional
·         Kesenjangan investasi antara daerah, kesenjangan sosial antara satu daerah dengan daerah yang lain sangat terasa, misalnya pembangunan fisik disatu daerah terutama Jawa
c.        Kapabilitas Simbolik Pada Masa Orde Baru
Rezim Orde Baru boleh dikatakan memiliki kapabilitas simbolik relatif baik. Presiden Soeharto dan para elit politik pada saat itu telah mendesain kapabilitas simbolik ini melalui beberapa cara seremonial yang dapat memberikan dampak positif, sehingga masyarakat sadar atau tidak sadar telah terbius atas keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan selama Orde Baru berkuasa. Acara-acara seremonial tersebut antara lain;
Pertama, Untuk memberikan kesan bahwa Presiden Soeharto sebagai Bapak Pembagunan, beliau sering tampil setiap ada acara seremonial peresmian proyek pembangunan.
Kedua, Untuk memberikan kesan bahwa Presiden Soeharto yang asal-usulnya adalah anak petani yang menjadi Presiden maka perhatiannya pada para petani diperlihatkan melalui ketika ada panen padi besar di beberapa daerah selalu tampil sebagai pembuka dimulainya panen padi. Selain itu juga membuat berbagai kebijakan yang mencangkup bidang pertanian, misal memberikan subsidi pupuk, memberikan bantuan kredit dsb.
Ketiga, Untuk memberikan kesan bahwa Presiden Soeharto dan para elit politik dekat dengan rakyat, maka melakukan acara kelompok pendengar secara langsung bertatap muka atau berdialog langsung dengan berbagai kalangan masyarakat (petani, nelayan, buruh, pengusaha dll) yang disiarkan langsung di TV dan Radio.
Keempat, Untuk memberikan kesan bahwa Presiden Soeharto perhatian pada lingkungan hidup maka selalu diadakan penyerahan hadiah Kalpataru oleh Presiden di Istana Negara.
Kelima, Untuk memberikan kesan baik ke dalam maupun keluar dalam waktu tertentu mempertontonkan kekuatan/kekuasaan negara, misal melalui parade militer dalam HUT TNI
d.       Kapabilitas Regulatif Pada Masa Orde Baru
Rezim Orde Baru dalam mengoptimalkan kapabilitas regulatifnya yang diorientasikan adanya stabilitas pembangunan relatif baik. Namun dalam beberapa hal kebijakannya sering bertentangan dengan demokrasi, yaitu antara lain
Pertama, Untuk mengendalikan warga negara baik secara individu maupun kelompok terutama yang membangkan didalam masyarakat dilakukan pengontrolan secara ketat melalui pendisiplinan paksa. Misalnya setiap aktivitas individu maupun kelompok organisasi dikontrol secara ketat dan bagi mereka yang melakukan pembangkangan terhadap penguasa dikatakan melakukan tindakan subversif atau dicap sebagai antek komunis. Organisasi-organisasi yang tidak sepaham dibubarkan, dan media baik elektronik maupun cetak yang mengkritik pemerintahanatau penguasa. Akibatnya, banyak kelompok oposisi atau para tokoh yang kritis dibungkam bahkan ada yang dihilangkan.
Kedua, Untuk membatasi partisipasi politik masyarakat dipedesaan, rezim Orba membuat kebijakan yang kemudian dikenal dengan “the floating mass” yaitu membatasi kegiatan Partai Politik sampai daerah-daerah dengan demikian perhatian rakyat pedesaan dialihkan pada usaha pembangunan nasional. Karena itu, masyarakat dipedesaan tidak lagi terikat secara ketat pada organisasi politik. Untuk menampung aspirasi mereka pemerintah mendorong dan memperkarsai terbentuknya organisasi-organisasi fungsional dan profesi yang belakang baik secara langsung maupun tidak berafiliasi pada Golkar.
Ketiga, Untuk mengoperasikan gagasn politik diatas, pemerintah memperkenalkan berbagai kebijakan politik untuk mengurangi kebebasan partai politik dalam merangsang partisipasi masyarakat dan sebaliknya meningkatkan peran Golkar dan birokrasi dalam menggalang kegiatan-kegiatan masyarakat di pedesaan. Dengan kata lain rezim Orba secara sistematis dan intensif menjauhkan masyarakat dari kegiatan-kegiatan politik dan membatasi mereka dari setiap aktivitas yang mendukung kahidupan partai politik
Dengan demikian, memang stabilitas politik dapat tercipta dan stabilitas pembangunan ekonomi terjaga selama 32 tahun, namun itu semu karena sendi-sendi demokrasi yang hancur.
e.       Kapabilitas Responsif Pada Masa Orde Baru
Karena rezim Orde Baru yang bersifat otoritarianisme maka dalam kapabilitas responsif dapat dikatakan paling buruk. Karena sumber input yang datangnya dari masyarakat yang kurang mendapatkan perhatian. Input rezim Orde Baru lebih banyak disuplai dari segelintir elit politik dan kalangan militer, sehingga tak heran kalau output yang berupa kebijakan, keputusan atau tindakan lebih mencerminkan keiinginan mereka ketimbang aspirasi suara hati nurani rakyat. Akibatnya, pengembangan sistem politik yang responsif atas kebutuhan-kebutuhan rakyat tidak berkembang bahkan mati suri.

f.        Kapabilitas Dalam Negeri Dan Luar Negeri Pada Masa Orde Baru
Boleh dikatakan kapabilitas dalam negeri dan luar negeri sistem politik rezim Orde Baru terutama pada resesi begitu lemah, hal ini dapat dilihat dari indiokatornya antara lain,
Pertama, Ketidakmampuan sistem politik menghadapi tekanan global terutama yang mengarah pada pelaksanaan liberalisasi ekonomi melalui liberalisasi perdagangan dan keuangan, melakukan privitalisasi terhadap perusahaan milik publik.
Kedua, melakukan regulasi dengan mengalihkan negara sebagai peran penentu kebijakan dsb.
Keempat,  Ketika mengalami resesi pada tahun 1997-1998 maka Indonesia dengan terpaksa harus tunduk dengan keiinginan IMF. Dalam hal ini IMF menyodorkan persyaratan yang lebih berat lagi yaitu Indonesia harus mematuhi sekitar 130 persyaratan paket pembaharuan meliputi restrukturisasi korporasi (pelaku sektor usaha), privatisasi, diregulasi bidang perkayuan, tekstil, minyak sawit, dan operasi Bulog, undang-undang baru untuk investasi, minyak gas dan air, reformasi hukum, pemilihan umum, desentralisasi dan pemulihan ekonomi serta pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
D. DEMOKRASI PANCASILA ERA REFORMASI
Soesilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden ke-6 Indonesia. jabatan pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004. Ia bersama pasangannya Muh Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang merupakan pemilu lembaga kepresidenan secara langsung. Setelah mengakhiri masa jabatnnya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah jabatan Presiden untuk kedua kalinya dihadapan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini dia didampingi oleh Boediyono sebagai Wakil Presiden.
Pada masa demokrasi Pancasila era Reformasi dengan berakar kepada kekuatan multipartai yang berusaha mengembalikan pertimbangan kekuatan antar lembaga negara,  antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pada masa ini peran partai politik kembali menonjol, sehingga iklim demokrasi adalah kekuasaan ditangan rakyat, maka praktek demokrasi dengan menggunakan Pemilu secara langsung. Namun setelah pelaksanaan pemilu banyak kebijakan tidak mendasarkan pada kepentingan rakyat, melainkan ke arah pembagian kekuasaan antara presiden dan partai politik dalam DPR. Dengan kata lain perkataan demokrasi era Era Reformasi dewasa ini, kurang mendasarkan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (welfare state).
1.a. Kapabilitas Ekstraktif Pemerintahan SBY-JK (2004-2009)
Masa pemerintahan SBY-JK juga masih belum banyak menampakkan perubahan yang berarti, yakni belum mampu memaksimalkan kapabilitas ekstraktifnya untuk mengumpulkan dan mengelola sumber daya materiil dan manusia baik dari sumber domestik maupun internasional.
Memang menurut beberapa pengamat ekonomi, pertumbuhan ekonomi pada masa SBY-JK naik menjadi 5,6%, penurunan suku bunga, inflasi yang rendah dan nilai tukar rupiah yang stabil serta cadangan devisa yang cukup dinilai sebagai prestasi SBY-JK. Namun kondisi makroekonomi tersebut tidak mencerminkan perbaikan ekonomi rakyat secara signifikan. Kondisi ekonomi rakyat justru cenderung memburuk. Angka kemiskinan terus meningkat dan angka pengangguran hingga saat ini masih terhitung tinggi. Tingginya angka kemiskinan dan pengangguran menyebabkan timbulnya masalah kesejahteraan rakyat, sekitar 25% bayi usia balita menderita gizi buruk dan tingkat kematian ibu melahirkan mencapai 370 dari 100 ribu kelahiran.
Kapabilitas ekstraktif internasional pun relatif rendah, karena pada masa ini SBY-JK belum mampu mengaaet investor yang besar. Dalam hal ini seharusnya pemerintah mampu mengundang investor dan memberikan kemudahan-kemudahan bagi mereka supaya mereka dapat menanamkan modalnya di Indonesia. sehingga apabila investor tumbuh maka nilai ekspor juga akan meningkat.
Kondisi seperti itu, menyebabkan keuangan negara tidak cukup untuk melakukan pembangunan, akibatnya tingkat kemiskinan dan pengangguran semakin tinggi, tingkat kesehatan masyarakat rendah serta dalam mengatasi bencana tidak terkelola dengan baik, banyak kebocoran anggaran akibat dikorupsi.
1.b. Kapabilitas Ekstraktif Pemerintahan SBY-JK (2009-2014)
Kapabilitas ekstraktif masa pemerintahan reformasi pada umumnya masih rendah, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan sistem politik dalam mendayagunakan sumber-sumber materiil dan sumber daya manusia yang melimpah yang bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran.
2.a. Kapabilitas Distributif Pemerintahan SBY-JK (2004-2009)
Kapabilitas distributif pemerintahan SBY-JK relatif lebih baik, meskipun tetap masih belum mampu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Badan Pusat Statistik (PBS) mengumumkan, hasil survei pada Maret 2009, jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 32,53 juta jiwa atau 14,15% dari total jumlah penduduk Indonesia. Hasil ini memang menunjukkan penduduk miskin berkurang 2,43 juta jiwa dibandingkan dengan hasil survei Maret 2008 yang mencapai 34,96 juta jiwa atau 15,42% itu bukanlah angka yang kecil untuk negara Indonesia.
Memang pemerintah sudah melakukan distribusi anggaran melalui sejumlah progam yang dilakukan baik itu secara nasional ataupun kebijakan daerah dalam mengatasi masalah kemiskinan. Antara lain dengan adanya kebijakan subsidi pemerintah yang dinilai dapat meringankan beban masyarakat akan kebutuhan dasarnya, kemudian progam beras miskin atau raskin dan progam pemberdayaan masyarakat miskin lainnya, BLT (Bantuan Langsung Tunai), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi orang miskin, yang tentunya ditujukan untuk menekan atau meringankan beban dan jumlah kemiskinan.
Namun progam-progam tersebut masih dianggap bersifat darurat, karena masih belum bisa menyelesaikan masalah kemiskinan, sehingga membuat ketimpangan dan kesenjangan sehingga masyarakat miskin semakin memprihatinkan.
2.b. Kapabilitas Distributif Pemerintahan SBY-JK (2009-2014)
Didalam pemerintahan yang ke2 ini, kapabilitas distributif Pemerintahan SBY-Budiono belum menunjukkan perubahan yang berarti. Ternyata jumlah penduduk miskin itu paling banyak didaerah pedesaan yang mencapai 19,93% (2010), sedang diperkotaan mencapai angka 11,10% (2010).
Jadi selama reformasi yang sudah berlangsung lama dan adanya otonomi daerah tak mengubah nasib orang-orang miskin yang berada dipedesaan. Mereka tetap terpuruk walaupun pemerintahan pusat sudah memindahkan anggaran pusat ke daerah. Tetapi kondisi mereka tetap tidak berubah. Miskin.
3.a. Kapabilitas Simbolik Pemerintahan SBY-JK (2004-2009)
Kapabilitas simbolik pemerintahan SBY-JK tak lepas dari sejumlah kritik yang dianggap kurang memiliki kepekaan atas penderitaan rakyat miskin. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang kurang mencerminkan kehendak rakyat, seperti menaikkan harga BBM. Dapat disayangkan tindakan ini tidak diikuti dengan menampakkan kesederhanaan hidup dari para elit politik sehingga pada waktu yang sama sebagian masyarakat hidup serba dalam kekurangan.  
3.b. Kapabilitas Simbolik Pemerintahan SBY-JK (2009-2014)
Memasuki pemerintahan periode ke2, SBY-Budiono, kapabilitas simboliknya masih belum menimbulkan rasa simpatik rakyat, terutama rakyat kecil. Ditengan tingkat kemiskinan masih tinggi, banyak kasus korupsi besar tak dapat diselesaikan dengan tuntas, misalnya kasus “Bank Century” dan juga kasus-kasus korupsi yang lain.
4.a. Kapabilitas Regulatif Pemerintahan SBY-JK (2004-2009)
Kapabilitas regulatif pemerintahan SBY-JK juga dinilai masih lemah, karena masih menguatnya tindak kekerasan dimasyarakat. Penyaluran aspirasi massa yang diarahkan kepada pemerintah untuk minta ditanggapi dan diperhatikan sering dilakukan dengan kekerasan atau pemaksaan kehendak. Misal, banyak kasus kantor pemerintahan yang dirusak atau dibakar karena aspirasinya kurang ditanggapi.
Selain itu, perilaku individu atau kelompok juga sering tidak terkendali untuk melakukan kekerasan terhadap individu atau kelompok lain yang dianggap tidak sehaluan, atau sesuai dengan keyakinan. Misalnya, kasus pengrusakan rumah ibadat yang berbeda keyakinan, main haikm sendiri, penyisiran yang dilakukan dengan cara kekerasan oleh beberapa organisasi massa terhadap kelompok massa lainnya, pengrusakkan terhadap toko-toko yang disinylir menjual minuman berakhohol atau pengrusakkan tempat hiburan malam yang dianggap tidak patuh terhadap peraturan.
Sebenarnya negara yang berdasarkan hukum tidak semestinya membiarkan masyarakat dengan bebas melakukan tindak pemaksaan atau kekerasan terhadap kelompok lain. Disinilah tampaknya pemerintah kurang mampu mengendalikan atau mengatur perilaku masyarakat agar dapat tunduk kepada otoritas dan tunduk pada aturan hukum.
4.b. Kapabilitas Regulatif Pemerintahan SBY-JK (2009-2014)
Memasuki pemerintahan ke2 SBY-Budiono, tingkat kapabiltas regulatifnya kelihatan mulai membaik, karena perilaku individu atau kelompok dalam menyalurkan aspirasinya kepada pemerintah maupun  terhadap kelompok lainnya sudah terkendali untuk tidak melakukan kekerasan.
Meskipun memang masih ada kasus kerusuhan terjadi, seperti di Koja, tempat areal makam Mbah Priok dan sekitarnya, melibatkan Satpol PP dan warga yang mengakibatkan sedikitnya 3 orang tewas dan ratusan luka-luka. Selain itu, sebuah bentrokan yang melibatkan dua warga terjadi di Kota Tarakan, Kalimantan Timur, namun itu sudah terkendali.
5. Kapabilitas Responsif era Reformasi
Tingkat kapabilitas responsif kelima Presiden pada era reformasi dapat dikatakan yang relatif lebih baik dari daripada Orde Baru yaitu inputs-nya lebih banyak disuplai dari segelintir elit politik, elit teknokrat, birokrasi dan kalangan militer, sedangkan di era reformasi inputs sistem politik lebih terbuka yaitu datang dari berbagai kelompok masyarakat.
Tetapi masih disayangkan mengenai outputs-nya sering dirasakan oleh masyarakat belum sesuai aspirasi dan kehendak rakyat. Artinya, outputs yang dihasilkan yang berupa kebijakan-kebijakan lebih mencerminkan kepentingan elit politik ketimbang rakyat. Misalnya dalam hal kebijakan ekonomi yang prorakyat pada kenyataannya prokapitalis. Kasus lainnya, masyarakat tidak menghendaki pemerintah mengeluarkan kebijakan impor beras dengan alasan akan menurunkan beras lokal, tetapi pemerintah melakukan impor beras dari Vietnam atau Thailand.
6. Kapabilitas Dalam Negeri & Luar Negeri era Reformasi
Tingkat kapabilitas dalam negeri dan luar negeri kelima presiden pada orde reformasi dapat dikatakan kondisinya sama persis dengan masa Orde Baru yakni relatif masih lemah didalam menghadapi lingkungan internasional.  Misalkan terlihat dalam menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi masih tetap terpengaruh pada tekanan global, yaitu faktanya hingga kini agen lembaga governance global WTO,IMF dan Bank Dunia masih memiliki pengaruh besar dalam menentukan kebijakan ekonomi sehingga pemerintah Indonesia dengan “terpaksa” menerapkan kebijakn-kebijakan neoliberal.
Meskipun tekanan dari lingkungan domestik begitu kuat menentang kebijakan ekonomi neoliberal, namun pemerintah lebih tunduk kepada kepentingan agen-agen global tersebut.
F.      KESIMPULAN
Sejak kemerdekaan sampai dengan sekarang, Dasar Negara kita tidak pernah berubah yaitu selalu berisi lima dasar/Pancasila, tetapi Bentuk Negara, Sistem Pemerintahan dan Penerapan Rule of Lawnya bisa berbeda-beda.
Sejarah sistem politik Indonesia dapat dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup hanya sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tetapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. 
Menurut Almond ada enam kategori kapabilitas sistem politik yang didasarkan pada klasifikasi input dan output sistem politik, yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik yaitu Kapabilitas Ekstraktif, Apabilitas Distributif, Kapabilitas Regulatif, Kapabilitas Simbolik, Kapabilitas Responsif, Kapabilitas Dalam Negeri Dan Luar  Negeri.
Apabila kita ingin membandingkan antara kapabilitas sistem politik era Orde Baru dan era Reformasi maka dapat dilihat dari segi persamaan dan perbedaan. Segi persamaannya adalah sama-sama tingkat kapabilitas sistem politik masih lemah dan segi perbedaannya adalah kalau pada sistem politik Orde Baru, inputs sistem politiknya lebih banyak disuplai oleh segelintir elit politik dan elit teknokrat, birokrasi dan militer. Oleh karena itu, outputs-nya lebih mencerminkan kepentingan para elit tersebut ketimbang kebutuhan rakyatnya. Sedangkan, pada sistem politik reformasi, inputs sistem politik berasal dari berbagai aspirasi kelompok masyarakat yang terbuka, wajar dan rasional. Dari segi inputsnya pada era reformasi relatif lebih baik, karena sudah membuka ruang publik yang seluas-luasnya, namun memang dari segi outputs-nya dirasakan masih belum sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Zubaidi dan Kaelan. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma
Budiardjo, Miriam. 1994. Partisipasi dan Partai Politik Dalam Miriam Budiardjo, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Utama
Easton, David. 1967. The Political System, New York: Alfred A. Knopf, Inc., 1971
Ismaun. 1981. Tinjauan Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia.   CV. Carya Remaja
Kantaprawira, Rusadi. 1983. Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: Penerbit Sinar Baru
Maksudi, Beddy Irawan. 2012. Sistem Politik Indonesia Pemahaman Secara Teoritik dan Empirik. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada
Mardjono, H. Hartono. 1998. Reformasi Politik Suatu Keharusan. Jakarta: Gema Insani
Notonagoro. 1974. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Cetakan ke-4. Jakarta:Pantjuran Tudjuh.
Sastrapratedja. 2001. Trend Pengembangan Budaya Atas Ideologi dalam perspektif Nilai-nilai Pancasila.
Warsito. 2012. Pendidikan Pancasila Era Reformasi. Yogyakarta: Ombak.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

jos