Guest book
Popular Posts
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian PERBANDINGAN KEMAMPUAN SISTEM POLITIK DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DENGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian ANALISIS KURIKULUM 2006 DAN KURIKULUM 2013 MAPEL PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Oleh: Dewi Wulandari NI...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian MODEL PEMBELAJARAN PKN Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan Pancasila dan Ke...
-
Artikel Ilmiah TAMAN BALEKAMBANG SEBAGAI PEMBENTUK ESTETIKA KOTA SOLO Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidik...
-
Resensi MULTIKULTURALISME DAN KEWARGANEGARAAN DI MALAYSIA, SINGAPURA DAN INDONESIA Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Stu...
-
E PISTIMOLOGI M ULTIKULTURALISME Mahfud Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : ...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian PERENCANAAN PEMBELAJARAN PKN Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan Pancasil...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian DIMENSI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DAN PERKEMBANGAN KOGNITIF SISWA Oleh: Dewi Wulandari N...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian EVALUASI PROGAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN 2009-2014 DITINJAU DARI SEGI KUANTITAS DAN KUALITAS ...
-
Resensi BUKU RETHINKING MULTICULTURALISM: KEBERAGAMAN BUDAYA & TEORI POLITIK KHUSUS BAB III: RESPON LIBERAL KONTEMPORER TER...
Blogger templates
Blogger news
Blogroll
About
Diberdayakan oleh Blogger.
Site Categories
Mengenai Saya
About
Rabu, 27 April 2016
Artikel Ilmiah Non-Penelitian
PERBANDINGAN KEMAMPUAN SISTEM
POLITIK DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DENGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA
REFORMASI
Oleh: Dewi Wulandari
NIM K6413020
Progam Studi Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
A.
PENDAHULUAN
Sejak kemerdekaan sampai dengan
sekarang, Dasar Negara kita tidak pernah
berubah yaitu selalu berisi lima dasar/Pancasila, tetapi Bentuk Negara, Sistem Pemerintahan dan Penerapan Rule of Lawnya
bisa berbeda-beda. Sejarah sistem politik Indonesia dapat dilihat dari
proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup
hanya sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tetapi diperlukan analisis
sistem agar lebih efektif.
Dalam analisis sistem politik, badan
eksekutif dalam melaksanakan kekuasaannya dapat menghasilkan sejumlah
keputusan-keputusan yang mengikat. Dalam sistem politik maka keputusan ini
dikenal dengan output, misalnya Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden
(Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen), danlain sebagainya. Dalam menegakkan
keadilan, maka badan eksekutif memiliki wewenang seperti grasi, abolisi, dan
amnesti. Keputusan-keputusan yang telah dibuat oleh badan eksekutif tersebut
mempunyai pengaruh dan dipengaruhi pula oleh lingkungan dimana badan eksekutif
itu berada.
Dengan
kata lain misalnya, cara model suatu sistem politik dapat menjelaskan realitas
sistem politik rezim pemerintahan Orde Baru (ORBA) yang otoriter-birokratis
yang dianggap telah gagal melakukan adaptasi atau penyesuaia terhadap
tuntutan-tuntutan yang mengalir semakin deras dari berbagai elemen kelompok
masyarakat yang menghendaki perubahan baik dalam bidang politik (demokratisasi
dan HAM) maupun ekonomi ( menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme).
B.
POKOK MASALAH
1.
Apa yang
dimaksud Pancasila sebagai Ideologi Nasional bangsa Indonesia?
2.
Jelaskan sistem
pemerintahan yang pernah berlaku di Indonesia?
3.
Bagaimana sejarah
Lembaga Kepresidenan di Indonesia dan
bagaimana perbandingan kemampuan sistem politik yang dimiliki pada masa Pemerintahan
Soeharto (Orde Baru) dengan Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (Periode
2004-2009 & 2009-2014) ?
C.
LANDASAN TEORI
1.
Supra Struktur Politik (Teori Pembagian Kekuasaan)
Struktur
negara Indonesia menganut sistem demokrasi
yang penyelenggaraan fungsi negaranya dilakukan dengan pemisahan atau adanya
pembagian fungsi negara kepada beberapa struktur negara yang satu sama lain
terpisah dan berdiri sendiri.
Secara teoritis, pembagian fungsi negara
didasarkan pada asumsi bahwa adanya pemusatan kekuasaan pada satu tangan, maka
dapat terjadi pengelolaan sistem pemerintahan secara absolut atau otoriter.
Maka untuk menghindari masalah tersebut perlu adanya pembagian atau pemisahan
kekuasaan, sehingga diharapkan adanya kontrol dan kesimbangan (checks
and balances) diantara
lembaga pemegang kekuasaan tersebut.
Dalam konteks ini, istilah pembagian
kekuasaan terdiri dari dua kata yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia pembagian memiliki pengertian proses menceraikan
menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada
pihak lain. Adapun kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan
(memerintah, mewakili, mengurus dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian
kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh negara untuk
(memerintah, mewakili, mengurus dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif,
eksekutif dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga negara untuk
menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak atau lembaga.
Ide pembagian kekuasaan tersebut
bersumberkan pertama,pada pendapat John Locke, dalam bukunya yang
berjudul Two Treaties of Government yang terbit tahun 1960 mengusulkan
agar kekuasaan didalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang
mempunyai fungsi berbeda-beda. Menurut ia agar pemerintahan tidak
sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan kedalam
tiga macam kekuasaan, yaitu
1.
Kekuasaan
Legislatif (membuat undang-undang)
2.
Kekuasaan
Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3.
Kekuasaan
Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain)
Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan
sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan dalam satu
negara.
Kedua, bersumberkan pada pendapat Montesquieu. Ia seorang
pemikir berkebangsaan Prancis mengemukakan teorinya yang disebut Trias
Politica. Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Lois pada
tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John
Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara
demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara kedalam tiga organ, yaitu
1.
Kekuasaan
Legislatif (membuat undang-undang)
2.
Kekuasaan
Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3.
Kekuasaan
Yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang)
Dalam ketatanegaraan Indonesia, UUD 1945
yang sudah diamandemen sebanyak empat kali, maka berdasar teori tersebut diatas,
konstitusi kita tidak secara murni atau utuh mengikuti konsep teori “Separation
of power” seperti dalam Trias Politica tetapi lebih
cenderung mengikuti konsep “Distribution of power”. Pembagian kekuasaan ketiga lembaga politik
tersebut terdapat celah untuk bekerja sama. Seperti misalnya, kerjasama
antara lembaga legislatif dan eksekutif dalam hal penetapan setiap RUU mendapat
ketetapan dibahas secara bersama-sama. Contoh yang lain misalnya RUU APBN DPR
memiliki kewenangan membahas dan memeberikan persetujuan sampai dengan satuan
tiga usulan RUU APBN dari pemerintah.
Pada pembahasan makalah ini, penulis
memfokuskan untuk membahas Badan Eksekutif yang melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh legislatif. Dalam analisis
sistem politik badan eksekutif termasuk salah satu struktur politik yang
memiliki fungsi-fungsi tertentu yang harus dilaksanakan guna mempertahankan
kelangsungan kehidupan dari sistem politik. Keberhasilan sistem politik dalam
menghadapi tantangan tersebut, tergantung pada kapabilitas (kemampuan)
sistemnya. Karena itu, baik David Easton maupun Gabriel
Almond (1967) menyatakan, maka dalam sistem politik menunjukkan adanya
unsur fungsi integrasi dan adaptasi terhadap masyarakat ke dalam maupun keluar.
Dengan demikian, dalam penyusanan makalah ini akan dijelaskan dan dipaparkan
secara jelas mengenai perbandingan kemampuan sistem politik Indonesia pada saat
pemerintahan Indonesia pada masa Orde Baru dan Era Reformasi- Demokrasi
Pancasila.
2.
Kapabilitas Sistem Politik
Teori mengenai kemampuan sistem politik,
penulis meninjau dari pandangan Gabriel Almond (dalam Cantori, 1974;
lihat pula Chilcote, 1981), konsep kapabilitas sistem politik merupakan “a way of characterizing the performance of
the poitical system according to their performance”. Penggunaan konsep
kapabilitas akan berguna jika kita hendak melihat bagaimana kinerja sebuah
sistem politik, termasuk bagaimana perubahan-perubahan dalam kinerja mereka. Konsep
kapabilitas juga penting ketika kita hendak membandingkan sistem politik
berkenaan dengan kinerjanya.
Menurut Almond ada enam kategori
kapabilitas sistem politik yang didasarkan pada klasifikasi input dan output sistem politik, yang menjadi penilaian prestasi sebuah
sistem politik yaitu Kapabilitas Ekstraktif, Apabilitas Distributif,
Kapabilitas Regulatif, Kapabilitas Simbolik, Kapabilitas Responsif, Kapabilitas
Dalam Negeri Dan Luar Negeri
D.
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI INDONESIA
Ketetapan
bangsa Indonesia bahwa Pancasila adalah ideologi bagi negara Indonesia adalah
sebagaimana yang tertuang dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/998 tentang
Pencabutan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka
Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai dasar
Negara. Pada pasal 1 ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Pancasila sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten
dalam kehidupan bernegara.
Adapun
makna Pancasila sebagai ideologi nasional menurut ketetapan tersebut adalah
nilai-nilai yang terkadung dalam ideologi Pancasila menjadi cita-cita normatif
penyelenggaraan bernegara. Secara luas dapat diartikan bahwa visi atau arah
dari penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia adalah
terwujudnya kehidupan yang ber-Ketuhanan, yang ber-Kemanusiaan, yang
ber-Persatuan, yang ber-Kerakyatan dan yang ber-Keadilan.
Dari sudut politik, Pancasila adalah sebuah
konsesus politik, suatu persetujuan politik bersama antargolongan di
Indonesia. dengan diterimanya Pancasila, berbagai golongan dan aliran pemikiran
bersedia bersatu dalam negara kebangsaan Indonesia. dalam istilah politiknya,
Pancasila merupakan common platform, atau common denominator masyarakat Indonesia yang plural. Sudut
pandang politik ini teramat penting untuk bangsa Indonesia sekarang ini. Jadi,
sebenarnya perkembangan Pancasila sebagai doktrin dan pandangan dunia yang khas
tidak menguntungkan kalau dinilai dari tujuan mempersatukan bangsa.
Ada
perkembangan baru yang menarik yang berhubungandengan dasar negara kita. Dengan
kelima prinsipnya Pancasila memang menjadi dasar yang cukup integratif bagi
kelompok-kelompok politik yang cukup heterogen dalam sejarah bangsa Indonesia
modern. (Ismaun, 1981)
Untuk
mengatasi permasalahan di bidang politik, tidak ada jawaban lain kecuali bahwa
kita harus mengembangkan sistem politik yang benar-benar demokratis (Mochtar
Buchori (2001) dalam Warsito, 2012. Demokratisasi merupakan upaya penting dalam
mewujudkan civil society. Tanpa
proses demokratisasi tidak akan tercinpta civil society. Suatu masyarakat menjadi demokratik bukan karena memiliki
institusi-institusi tertentu seperti lembaga perwakilan dan pemilihan umum.
Masyarakat menjadi demokratik kalau mewujudkan nilai-nilai inti demokratik. (M.
Sastrapratedja, 2001)
E.
SISTEM PEMERINTAHAN YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA
Sistem
pemerintahan bangsa kita sejak awal kemerdekaan 17 Agustus 1945 sudah mengacu
pada isi daripada UUD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial. Dalam hal
ini, para menteri bertugas sebagai pembantu Presiden.
Berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No.
X tanggal 16 Oktober 1945, Pengumuman Badan Pekerja tanggal 14 November 1945
dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, tanggung jawab politik di
tangan para menteri. Saat inilah dimulainya sistem pemerintahan parlementer,
kondisi pemerintahan sudah mulai tidak stabil karena berlaku multipartai.
Dengan sistem multipartai mengakibatkan sering terjadi pergantian kabinet
sehingga kondisi politik menjadi tidak stabil.
Puncak peralihan sistem pemerintahan
Indonesia dari Parlementer menuju ke presidensial adalah keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Melalui Dekrit ini, Presiden membubarkan konstituante dan
membubarkan UUD 1945 yang sebelumnya berlaku UUDS 1950. Sejak keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1945, pemerintah diambil alih oleh Presiden. Segala kebijakan
bersumber pada keputusan presiden, bahkan Presiden berwenang mengangkat dan
memberhentikan anggota Dewan (MPRS, DPRS, DPAS)
Tetapi setelah diadakannya amandemen UUD
1945, pokok-pokok sistem pemerintahan di Indonesia menjadi berubah. Indonesia
sekarang ini menerapkan sistem pemerintahan presidensial.
Jadi
sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia sejak Proklamasi sampai dengan
sekarang telah mengalami banyak perubahan dan pergantian. Hal ini berkaitan
erat dengan UUD yang dipakai sebagai pedoman penyelenggaraan bernegara. Demikianlah bangsa Indonesia memasuki suatu
babakan baru dalam kehidupan ketatanegaraan yang diharapkan membawa ke arah
perbaikan tingkat kehidupan rakyat. UUD 1945 Hasil Amandemen 2002 dirumuskan
dengan melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi rakyat dalam mengambil
keputusan politik, sehingga diharapkan struktur kelembagaan negara yang lebih
demokratis akan meningkatkan kesejahteraan rakyat (Achmad Zubaidi dan Kaelan,
2010)
C. DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU
Presiden
dan Wakil Presiden Indonesia
(secara bersama-sama disebut Lembaga
Kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang hampir sama tuanya dengan
sejarah Indonesia. dikatakan hampir sama, sebab pada saat Proklamasi 17 Agustus
1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18
Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi yang menjadi dasar untuk mengatur
pemerintahan (UUD 1945) dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa.
Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai.
Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan
Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki
ciri khas pada sejarah pemimpin mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang
dilalui lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat
konstitusi. Selain itu, ini boleh dikatakan “hanya” diatur dalam konstitusi.
Peraturan dibawah konstitusi hanya mengatur sebagian kecil dan itupun letaknya
tersebar dalam berbagai jenis maupun tingkatan peraturan. Ini berbeda dengan
lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang memiliki undang-undang mengenai
susunan dan kedudukan lembaga itu sendiri. Lain daripada masalah tokoh dan
periodesasi juga memerlukan pencermatan lebih lanjut.
PERIODE 5 JULI
1959-19 OKTOBER 1999
Masa
Republik keempat ialah periode
berlakunya kembali konstitusi yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dengan
sebutan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 5 JULI 1959-19 Oktober 1999. Dengan
berlakunya kembali konstitusi ini msks semua kekuasaan, susunan dan kedudukan,
tugas dan wewenang serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan praktis sama
dengan periode Republik I.
Ada beberapa hal yang menarik dari segi
peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut Dekrit Presiden yang
memberlakukan kembali konstitusi dari Republik I, bagian penjelasan konstitusi
mendapat kekuatan hukum yang mengikat karena diterbitkan dengan Lembaran
Negara.
Dengan demikian, lembaga kepresidenan
tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi, namun juga dalam penjelasan
konstitusi. Dengan hadirnya lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan Republik IV
mengundang konsekuensi. Dengan landasan
hukum tersebut lembaga kepresidenan terutama Presiden (Jendral Besar TNI Purn. H.M. Soeharto) menjadi lembaga tinggi yang
“super
power” dibanding lembaga tinggi lain.
Ada beberapa hal unik dan menarik untuk
dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut antara lain Pertama, setelah MPRS
terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang
menagku jabatan dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963
MPRS menetapkan ketetapan MPRS yang mengangkat Presiden “Incumbent” sebagai Presiden
Seumur Hidup. Ketiga, munculnya jabatan “Pejabat Presiden” ketika Presiden
dimakzulkan di tahun 1967. Keempat, penempatan “Pejabat Presiden” menjadi
Presiden di tahun 1968. Kelima, pengisian lembaga
kepresidenan sesuai dengan konstitusi baru dilakukan pada tahun 1973, tiga
belas tahun MPR (MPRS) terbentuk.
Periode 1966-1998 masa demokrasi
Pancasila era Orde Baru yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. Landasan
formal periode ini adalah Pancasila, UUD 1945 dan Ketetapan MPRS/MPR dalam
rangka untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yang terjadi di
masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Namun dalam perkembangannya peran Presiden semakin dominan terhadap
lembaga-lembaga negaran yang lain. Melihat praktek demokrasi pada masa ini,
nama Pancasila hanya digunakan sebagai
legitimasi politis penguasa saat itu, sebab kenyataannya yang dilaksanakan
tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
a.
Kapabilitas Ekstraktif
Sistem Politik Masa Orde Baru
Perlu diakui bahwa Pemerintahan Orde Baru memiliki
kapabilitas Ekstraktif yang besar. Karena itu pada tahun 1993, Indonesia sempat
mendapatkan pujian dari Bank Dunia bahwa “Indonesia
sebaga East Asian Miracle” dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
sebesar 7%. Memang ini sungguh merupakan miracle
(keajaiban) karena telah mengalami “sustinable
rapid growth with highly equal income distribution”. Karena itu Indonesia
dijuluki sebagai “Macan Asia Baru”,
yaitu sebagai kekuatan ekonomi baru, selain Korea Selatan, Singapura, Taiwan,
dan Malaysia.
Kemampuan rezim Orde Baru adalah selain kemampuan
mengelola sumber-sumber ekstraktif dalam negeri, diantaranya dengan membangun
infrastruktur pertanian, pertambangan dll. Selain itu, juga membuka diri
sebagai sumber-sumber materiil internasional, yaitu sejak tahun 1970-an melalui
liberalisasi investasi dan perdagangan melalui paket-paket diregulasi membuat
masuknya investasi asing dengan cepat sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Dengan kemampuan ekstraktifnya yang baik, maka sudah dapat dianggap sukses dari
progam pembangunan Pelitanya, Progam KB, transmigrasi, pengentasan kemiskinan,
dan meningkatkan pendapatan perkapita Indonesia.
Namun dalam
pertengahan 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi sehingga fondasi ekonomi
yang telah dibangun selama 32 tahun runtuh, hingga kini masih dirasakan
dampaknya.
b.
Kapabilitas
Distributif Pada Masa Orde Baru
Memang disayangkan, kemampuan ekstraktif dari rezim
Orde Baru tidak diimbangi dengan kemampuan distributif. Pasalnya kesuksesan
pelaksanaan pembangunan tidak semerta merta membawa kemakmuran secara merata,
namun yang muncul beberapa masalah
antara lain:
·
Semakin menganga
jurang antara kelompok yang masyarakatnya kaya dan kelompok masyarakat yang
miskin
·
Kesenjangan
pendapatan antara daerah dan pusat
·
Kesenjangan
regional
·
Kesenjangan
investasi antara daerah, kesenjangan sosial antara satu daerah dengan daerah yang
lain sangat terasa, misalnya pembangunan fisik disatu daerah terutama Jawa
c.
Kapabilitas Simbolik Pada Masa Orde Baru
Rezim Orde Baru boleh dikatakan memiliki
kapabilitas simbolik relatif baik. Presiden Soeharto dan para elit politik pada
saat itu telah mendesain kapabilitas simbolik ini melalui beberapa cara
seremonial yang dapat memberikan dampak positif, sehingga masyarakat sadar atau
tidak sadar telah terbius atas keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan selama
Orde Baru berkuasa. Acara-acara seremonial tersebut antara lain;
Pertama, Untuk memberikan kesan bahwa Presiden Soeharto
sebagai Bapak Pembagunan, beliau sering tampil setiap ada acara seremonial
peresmian proyek pembangunan.
Kedua, Untuk memberikan kesan bahwa Presiden Soeharto yang
asal-usulnya adalah anak petani yang menjadi Presiden maka perhatiannya pada
para petani diperlihatkan melalui ketika ada panen padi besar di beberapa
daerah selalu tampil sebagai pembuka dimulainya panen padi. Selain itu juga
membuat berbagai kebijakan yang mencangkup bidang pertanian, misal memberikan
subsidi pupuk, memberikan bantuan kredit dsb.
Ketiga, Untuk memberikan kesan bahwa Presiden Soeharto dan
para elit politik dekat dengan rakyat, maka melakukan acara kelompok pendengar
secara langsung bertatap muka atau berdialog langsung dengan berbagai kalangan
masyarakat (petani, nelayan, buruh, pengusaha dll) yang disiarkan langsung di
TV dan Radio.
Keempat, Untuk memberikan kesan bahwa Presiden Soeharto
perhatian pada lingkungan hidup maka selalu diadakan penyerahan hadiah
Kalpataru oleh Presiden di Istana Negara.
Kelima, Untuk memberikan kesan baik ke dalam maupun keluar
dalam waktu tertentu mempertontonkan kekuatan/kekuasaan negara, misal melalui
parade militer dalam HUT TNI
d.
Kapabilitas Regulatif Pada Masa Orde Baru
Rezim Orde Baru dalam mengoptimalkan
kapabilitas regulatifnya yang diorientasikan adanya stabilitas pembangunan
relatif baik. Namun dalam beberapa hal kebijakannya sering bertentangan dengan
demokrasi, yaitu antara lain
Pertama, Untuk mengendalikan warga negara baik secara
individu maupun kelompok terutama yang membangkan didalam masyarakat dilakukan
pengontrolan secara ketat melalui pendisiplinan paksa. Misalnya setiap
aktivitas individu maupun kelompok organisasi dikontrol secara ketat dan bagi
mereka yang melakukan pembangkangan
terhadap penguasa dikatakan melakukan tindakan subversif atau dicap sebagai antek komunis. Organisasi-organisasi
yang tidak sepaham dibubarkan, dan media baik elektronik maupun cetak yang
mengkritik pemerintahanatau penguasa. Akibatnya, banyak kelompok oposisi atau
para tokoh yang kritis dibungkam bahkan ada yang dihilangkan.
Kedua, Untuk membatasi partisipasi politik masyarakat
dipedesaan, rezim Orba membuat kebijakan yang kemudian dikenal dengan “the floating mass” yaitu membatasi kegiatan
Partai Politik sampai daerah-daerah dengan demikian perhatian rakyat pedesaan
dialihkan pada usaha pembangunan nasional. Karena itu, masyarakat dipedesaan
tidak lagi terikat secara ketat pada organisasi politik. Untuk menampung
aspirasi mereka pemerintah mendorong dan memperkarsai terbentuknya
organisasi-organisasi fungsional dan profesi yang belakang baik secara langsung
maupun tidak berafiliasi pada Golkar.
Ketiga, Untuk mengoperasikan gagasn politik diatas, pemerintah
memperkenalkan berbagai kebijakan politik untuk mengurangi kebebasan partai
politik dalam merangsang partisipasi masyarakat dan sebaliknya meningkatkan
peran Golkar dan birokrasi dalam menggalang kegiatan-kegiatan masyarakat di
pedesaan. Dengan kata lain rezim Orba secara sistematis dan intensif menjauhkan
masyarakat dari kegiatan-kegiatan politik dan membatasi mereka dari setiap
aktivitas yang mendukung kahidupan partai politik
Dengan
demikian, memang stabilitas politik dapat tercipta dan stabilitas pembangunan
ekonomi terjaga selama 32 tahun, namun itu semu karena sendi-sendi demokrasi
yang hancur.
e.
Kapabilitas
Responsif Pada Masa Orde Baru
Karena rezim Orde Baru yang bersifat otoritarianisme
maka dalam kapabilitas responsif dapat dikatakan paling buruk. Karena sumber
input yang datangnya dari masyarakat yang kurang mendapatkan perhatian. Input rezim Orde Baru lebih banyak
disuplai dari segelintir elit politik dan kalangan militer, sehingga tak heran
kalau output yang berupa kebijakan,
keputusan atau tindakan lebih mencerminkan keiinginan mereka ketimbang aspirasi
suara hati nurani rakyat. Akibatnya, pengembangan sistem politik yang responsif
atas kebutuhan-kebutuhan rakyat tidak berkembang bahkan mati suri.
f.
Kapabilitas
Dalam Negeri Dan Luar Negeri Pada Masa Orde Baru
Boleh dikatakan kapabilitas dalam negeri
dan luar negeri sistem politik rezim Orde Baru terutama pada resesi begitu
lemah, hal ini dapat dilihat dari indiokatornya antara lain,
Pertama, Ketidakmampuan sistem politik menghadapi tekanan
global terutama yang mengarah pada pelaksanaan liberalisasi ekonomi melalui
liberalisasi perdagangan dan keuangan, melakukan privitalisasi terhadap
perusahaan milik publik.
Kedua, melakukan regulasi dengan mengalihkan negara sebagai
peran penentu kebijakan dsb.
Keempat, Ketika
mengalami resesi pada tahun 1997-1998 maka Indonesia dengan terpaksa harus
tunduk dengan keiinginan IMF. Dalam hal ini IMF menyodorkan persyaratan yang
lebih berat lagi yaitu Indonesia harus mematuhi sekitar 130 persyaratan paket
pembaharuan meliputi restrukturisasi korporasi (pelaku sektor usaha),
privatisasi, diregulasi bidang perkayuan, tekstil, minyak sawit, dan operasi
Bulog, undang-undang baru untuk investasi, minyak gas dan air, reformasi hukum,
pemilihan umum, desentralisasi dan pemulihan ekonomi serta pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
D. DEMOKRASI PANCASILA ERA REFORMASI
Soesilo Bambang Yudhoyono adalah
Presiden ke-6 Indonesia. jabatan pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004. Ia
bersama pasangannya Muh Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang
merupakan pemilu lembaga kepresidenan secara langsung. Setelah mengakhiri masa
jabatnnya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah jabatan Presiden untuk
kedua kalinya dihadapan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini dia didampingi
oleh Boediyono sebagai Wakil Presiden.
Pada
masa demokrasi Pancasila era Reformasi dengan berakar kepada kekuatan
multipartai yang berusaha mengembalikan pertimbangan kekuatan antar lembaga
negara, antara eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Pada masa ini peran
partai politik kembali menonjol, sehingga iklim demokrasi adalah kekuasaan
ditangan rakyat, maka praktek demokrasi dengan menggunakan Pemilu secara
langsung. Namun setelah pelaksanaan pemilu banyak kebijakan tidak mendasarkan
pada kepentingan rakyat, melainkan ke arah pembagian kekuasaan antara presiden
dan partai politik dalam DPR. Dengan
kata lain perkataan demokrasi era Era Reformasi dewasa ini, kurang mendasarkan
pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (welfare state).
1.a. Kapabilitas Ekstraktif Pemerintahan SBY-JK
(2004-2009)
Masa pemerintahan SBY-JK juga masih
belum banyak menampakkan perubahan yang berarti, yakni belum mampu
memaksimalkan kapabilitas ekstraktifnya untuk mengumpulkan dan mengelola sumber
daya materiil dan manusia baik dari sumber domestik maupun internasional.
Memang menurut beberapa pengamat
ekonomi, pertumbuhan ekonomi pada masa SBY-JK naik menjadi 5,6%, penurunan suku
bunga, inflasi yang rendah dan nilai tukar rupiah yang stabil serta cadangan
devisa yang cukup dinilai sebagai prestasi SBY-JK. Namun kondisi makroekonomi
tersebut tidak mencerminkan perbaikan ekonomi rakyat secara signifikan. Kondisi
ekonomi rakyat justru cenderung memburuk. Angka kemiskinan terus meningkat dan
angka pengangguran hingga saat ini masih terhitung tinggi. Tingginya angka
kemiskinan dan pengangguran menyebabkan timbulnya masalah kesejahteraan rakyat,
sekitar 25% bayi usia balita menderita gizi buruk dan tingkat kematian ibu
melahirkan mencapai 370 dari 100 ribu kelahiran.
Kapabilitas ekstraktif internasional pun
relatif rendah, karena pada masa ini SBY-JK belum mampu mengaaet investor yang
besar. Dalam hal ini seharusnya pemerintah mampu mengundang investor dan
memberikan kemudahan-kemudahan bagi mereka supaya mereka dapat menanamkan
modalnya di Indonesia. sehingga apabila investor tumbuh maka nilai ekspor juga
akan meningkat.
Kondisi seperti itu, menyebabkan
keuangan negara tidak cukup untuk melakukan pembangunan, akibatnya tingkat
kemiskinan dan pengangguran semakin tinggi, tingkat kesehatan masyarakat rendah
serta dalam mengatasi bencana tidak terkelola dengan baik, banyak kebocoran
anggaran akibat dikorupsi.
1.b. Kapabilitas Ekstraktif Pemerintahan SBY-JK
(2009-2014)
Kapabilitas ekstraktif masa pemerintahan
reformasi pada umumnya masih rendah, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan
sistem politik dalam mendayagunakan sumber-sumber materiil dan sumber daya
manusia yang melimpah yang bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan
kemiskinan dan pengangguran.
2.a. Kapabilitas Distributif Pemerintahan SBY-JK
(2004-2009)
Kapabilitas distributif pemerintahan
SBY-JK relatif lebih baik, meskipun tetap masih belum mampu mengurangi angka
kemiskinan dan pengangguran. Badan Pusat Statistik (PBS) mengumumkan, hasil
survei pada Maret 2009, jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 32,53 juta
jiwa atau 14,15% dari total jumlah penduduk Indonesia. Hasil ini memang
menunjukkan penduduk miskin berkurang 2,43 juta jiwa dibandingkan dengan hasil
survei Maret 2008 yang mencapai 34,96 juta jiwa atau 15,42% itu bukanlah angka
yang kecil untuk negara Indonesia.
Memang pemerintah sudah melakukan
distribusi anggaran melalui sejumlah progam yang dilakukan baik itu secara
nasional ataupun kebijakan daerah dalam mengatasi masalah kemiskinan. Antara
lain dengan adanya kebijakan subsidi pemerintah yang dinilai dapat meringankan
beban masyarakat akan kebutuhan dasarnya, kemudian progam beras miskin atau
raskin dan progam pemberdayaan masyarakat miskin lainnya, BLT (Bantuan Langsung
Tunai), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) bagi orang miskin, yang tentunya ditujukan untuk menekan atau meringankan
beban dan jumlah kemiskinan.
Namun progam-progam tersebut masih dianggap
bersifat darurat, karena masih belum bisa menyelesaikan masalah kemiskinan,
sehingga membuat ketimpangan dan kesenjangan sehingga masyarakat miskin semakin
memprihatinkan.
2.b. Kapabilitas Distributif Pemerintahan SBY-JK
(2009-2014)
Didalam pemerintahan yang ke2 ini,
kapabilitas distributif Pemerintahan SBY-Budiono belum menunjukkan perubahan
yang berarti. Ternyata jumlah penduduk miskin itu paling banyak didaerah
pedesaan yang mencapai 19,93% (2010), sedang diperkotaan mencapai angka 11,10%
(2010).
Jadi selama reformasi yang sudah
berlangsung lama dan adanya otonomi daerah tak mengubah nasib orang-orang
miskin yang berada dipedesaan. Mereka tetap terpuruk walaupun pemerintahan
pusat sudah memindahkan anggaran pusat ke daerah. Tetapi kondisi mereka tetap
tidak berubah. Miskin.
3.a. Kapabilitas Simbolik Pemerintahan
SBY-JK (2004-2009)
Kapabilitas simbolik pemerintahan SBY-JK
tak lepas dari sejumlah kritik yang dianggap kurang memiliki kepekaan atas
penderitaan rakyat miskin. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang
kurang mencerminkan kehendak rakyat, seperti menaikkan harga BBM. Dapat
disayangkan tindakan ini tidak diikuti dengan menampakkan kesederhanaan hidup
dari para elit politik sehingga pada waktu yang sama sebagian masyarakat hidup
serba dalam kekurangan.
3.b. Kapabilitas Simbolik Pemerintahan SBY-JK
(2009-2014)
Memasuki pemerintahan periode ke2,
SBY-Budiono, kapabilitas simboliknya masih belum menimbulkan rasa simpatik rakyat,
terutama rakyat kecil. Ditengan tingkat kemiskinan masih tinggi, banyak kasus
korupsi besar tak dapat diselesaikan dengan tuntas, misalnya kasus “Bank
Century” dan juga kasus-kasus korupsi yang lain.
4.a. Kapabilitas Regulatif Pemerintahan
SBY-JK (2004-2009)
Kapabilitas regulatif pemerintahan
SBY-JK juga dinilai masih lemah, karena masih menguatnya tindak kekerasan
dimasyarakat. Penyaluran aspirasi massa yang diarahkan kepada pemerintah untuk minta
ditanggapi dan diperhatikan sering dilakukan dengan kekerasan atau pemaksaan
kehendak. Misal, banyak kasus kantor pemerintahan yang dirusak atau dibakar
karena aspirasinya kurang ditanggapi.
Selain itu, perilaku individu atau
kelompok juga sering tidak terkendali untuk melakukan kekerasan terhadap individu
atau kelompok lain yang dianggap tidak sehaluan, atau sesuai dengan keyakinan.
Misalnya, kasus pengrusakan rumah ibadat yang berbeda keyakinan, main haikm
sendiri, penyisiran yang dilakukan dengan cara kekerasan oleh beberapa
organisasi massa terhadap kelompok massa lainnya, pengrusakkan terhadap
toko-toko yang disinylir menjual minuman berakhohol atau pengrusakkan tempat hiburan
malam yang dianggap tidak patuh terhadap peraturan.
Sebenarnya negara yang berdasarkan hukum
tidak semestinya membiarkan masyarakat dengan bebas melakukan tindak pemaksaan
atau kekerasan terhadap kelompok lain. Disinilah tampaknya pemerintah kurang
mampu mengendalikan atau mengatur perilaku masyarakat agar dapat tunduk kepada
otoritas dan tunduk pada aturan hukum.
4.b. Kapabilitas Regulatif Pemerintahan SBY-JK
(2009-2014)
Memasuki pemerintahan ke2 SBY-Budiono,
tingkat kapabiltas regulatifnya kelihatan mulai membaik, karena perilaku
individu atau kelompok dalam menyalurkan aspirasinya kepada pemerintah
maupun terhadap kelompok lainnya sudah
terkendali untuk tidak melakukan kekerasan.
Meskipun memang masih ada kasus
kerusuhan terjadi, seperti di Koja, tempat areal makam Mbah Priok dan sekitarnya,
melibatkan Satpol PP dan warga yang mengakibatkan sedikitnya 3 orang tewas dan
ratusan luka-luka. Selain itu, sebuah bentrokan yang melibatkan dua warga
terjadi di Kota Tarakan, Kalimantan Timur, namun itu sudah terkendali.
5. Kapabilitas Responsif era Reformasi
Tingkat kapabilitas responsif kelima
Presiden pada era reformasi dapat dikatakan yang relatif lebih baik dari
daripada Orde Baru yaitu inputs-nya lebih banyak disuplai dari segelintir elit
politik, elit teknokrat, birokrasi dan kalangan militer, sedangkan di era
reformasi inputs sistem politik lebih terbuka yaitu datang dari berbagai
kelompok masyarakat.
Tetapi masih disayangkan mengenai
outputs-nya sering dirasakan oleh masyarakat belum sesuai aspirasi dan kehendak
rakyat. Artinya, outputs yang dihasilkan yang berupa kebijakan-kebijakan lebih
mencerminkan kepentingan elit politik ketimbang rakyat. Misalnya dalam hal
kebijakan ekonomi yang prorakyat pada kenyataannya prokapitalis. Kasus lainnya,
masyarakat tidak menghendaki pemerintah mengeluarkan kebijakan impor beras
dengan alasan akan menurunkan beras lokal, tetapi pemerintah melakukan impor
beras dari Vietnam atau Thailand.
6. Kapabilitas Dalam Negeri & Luar Negeri era
Reformasi
Tingkat kapabilitas dalam negeri dan
luar negeri kelima presiden pada orde reformasi dapat dikatakan kondisinya sama
persis dengan masa Orde Baru yakni relatif masih lemah didalam menghadapi
lingkungan internasional. Misalkan
terlihat dalam menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi masih tetap terpengaruh
pada tekanan global, yaitu faktanya hingga kini agen lembaga governance global
WTO,IMF dan Bank Dunia masih memiliki pengaruh besar dalam menentukan kebijakan
ekonomi sehingga pemerintah Indonesia dengan “terpaksa” menerapkan
kebijakn-kebijakan neoliberal.
Meskipun tekanan dari lingkungan
domestik begitu kuat menentang kebijakan ekonomi neoliberal, namun pemerintah
lebih tunduk kepada kepentingan agen-agen global tersebut.
F.
KESIMPULAN
Sejak kemerdekaan sampai dengan
sekarang, Dasar Negara kita tidak pernah berubah yaitu selalu berisi lima
dasar/Pancasila, tetapi Bentuk Negara, Sistem Pemerintahan dan Penerapan Rule
of Lawnya bisa berbeda-beda.
Sejarah sistem politik Indonesia dapat
dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam
menguraikannya tidak cukup hanya sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia
tetapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif.
Menurut Almond ada enam kategori
kapabilitas sistem politik yang didasarkan pada klasifikasi input dan output
sistem politik, yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik yaitu Kapabilitas
Ekstraktif, Apabilitas Distributif, Kapabilitas Regulatif, Kapabilitas Simbolik,
Kapabilitas Responsif, Kapabilitas Dalam Negeri Dan Luar Negeri.
Apabila kita ingin membandingkan antara
kapabilitas sistem politik era Orde Baru dan era Reformasi maka dapat dilihat dari
segi persamaan dan perbedaan. Segi
persamaannya adalah sama-sama tingkat kapabilitas sistem politik masih
lemah dan segi perbedaannya adalah kalau
pada sistem politik Orde Baru, inputs sistem politiknya lebih
banyak disuplai oleh segelintir elit politik dan elit teknokrat, birokrasi dan
militer. Oleh karena itu, outputs-nya lebih mencerminkan
kepentingan para elit tersebut ketimbang kebutuhan rakyatnya. Sedangkan, pada
sistem politik reformasi, inputs sistem politik berasal dari
berbagai aspirasi kelompok masyarakat yang terbuka, wajar dan rasional. Dari
segi inputsnya pada era reformasi relatif lebih baik, karena sudah membuka
ruang publik yang seluas-luasnya, namun memang dari segi outputs-nya dirasakan
masih belum sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Zubaidi dan Kaelan. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan
Tinggi. Yogyakarta: Paradigma
Budiardjo, Miriam. 1994. Partisipasi dan Partai Politik Dalam Miriam Budiardjo, Demokrasi
Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Utama
Easton, David. 1967. The Political System, New York: Alfred
A. Knopf, Inc., 1971
Ismaun. 1981. Tinjauan Pancasila Dasar Filsafat Negara
Republik Indonesia. CV. Carya
Remaja
Kantaprawira, Rusadi. 1983. Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: Penerbit
Sinar Baru
Maksudi, Beddy Irawan. 2012. Sistem Politik Indonesia Pemahaman Secara Teoritik dan Empirik. Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada
Mardjono, H. Hartono. 1998. Reformasi Politik Suatu Keharusan. Jakarta: Gema Insani
Notonagoro. 1974. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Cetakan
ke-4. Jakarta:Pantjuran Tudjuh.
Sastrapratedja. 2001. Trend Pengembangan Budaya Atas Ideologi
dalam perspektif Nilai-nilai Pancasila.
Warsito. 2012. Pendidikan Pancasila Era Reformasi. Yogyakarta:
Ombak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
jos
Posting Komentar