Guest book
Popular Posts
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian ANALISIS KURIKULUM 2006 DAN KURIKULUM 2013 MAPEL PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Oleh: Dewi Wulandari NI...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian PERBANDINGAN KEMAMPUAN SISTEM POLITIK DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DENGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian MODEL PEMBELAJARAN PKN Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan Pancasila dan Ke...
-
Artikel Ilmiah TAMAN BALEKAMBANG SEBAGAI PEMBENTUK ESTETIKA KOTA SOLO Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidik...
-
E PISTIMOLOGI M ULTIKULTURALISME Mahfud Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : ...
-
Resensi MULTIKULTURALISME DAN KEWARGANEGARAAN DI MALAYSIA, SINGAPURA DAN INDONESIA Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Stu...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian PERENCANAAN PEMBELAJARAN PKN Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan Pancasil...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian PENDEKATAN DALAM PENDIDIKAN ILMU SOSIAL Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian KOMUNIKASI POLITIK Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarg...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian ANALISIS SISTEM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DITINJAU DARI SISI KEDAULATAN RAKYAT & DEMOKRASI Oleh...
Blogger templates
Blogger news
Blogroll
About
Diberdayakan oleh Blogger.
Site Categories
Mengenai Saya
About
Rabu, 27 April 2016
Resensi
MULTIKULTURALISME DAN KEWARGANEGARAAN DI MALAYSIA,
SINGAPURA DAN INDONESIA
Oleh: Dewi Wulandari
NIM K6413020
Progam Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
I.
IDENTITAS BUKU
Judul Buku :
POLITIK MULTIKULTURALISME, Menggugat Realitas Kebangsaan.
Editor :
Robert W. Hefner
Penerbit :
Impulse, Kanisius Yogyakarta
Cetakan :
Ke-1
Tahun :
2007
Tebal Buku :
507 Halaman
Bab yang diresensi :
BAB I “Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura dan Indonesia.
II.
PENULIS
Buku berjudul Politik
Multikulturalisme, Menggugat Realitas Kebangsaan yang dieditori oleh Robert W.
Hefner. Merupakan bunga rampai hasil
penelitian dan pelatihan kolaborasi antara Ford
Foundation dan Institute for the
Study of Economic Culture (ISEC) di Boston
University dari tahun 1998 sampai 2000. Proyek ini melibatkan lima tim
penelitian multidisipliner (dua di Indonesia, dua di Malaysia dan satu di
Singapura), yang masing-masing bertanggung jawab melaksanakan
wawancara-wawancara lapangan, proyek itu juga melibatkan sejumlah kecil penulis
makalah independen. Mereka dari bidang sosiologi, ilmu politik, antropologi dan
sejarah, juga sebuah organisasi Muslim non-pemerintah terkemuka di Indonesia.
III.
PENDAHULUAN
Buku berjudul Politik Multikulturalisme,
Menggugat Realitas Kebangsaan ini membahas tentang pliralisme di tiga negara
yaitu Malaysia, Singapura dan Indonesia yang menyajikan realitas historis
pluralitas etnis, religius, dan gender dari masa colonial sampai pasca-colonial
di masing-masing Negara. Adanya transisi kultural itu, mengindikasikan bahwa
perkembangan pluralitas dalam masyarakat di tiga negara tersebut sangat pesat. Masyarakat
sipil diketiga negara tersebut telah mengalami pendewasaan yang lebih besar
daripada negaranya.
IV.
ULASAN BUKU (BAB I)
Sejarah kolonialisme Barat meninggalkan
warisan kepada Asia Tenggara. Penting untuk diingat bahwa pengaruh imperialisme
Barat diketiga masyarakat Asia Tenggara itu telah meletakkan fondasi yang
bersifat oposisional dan menjadi kakunya perbedaan-perbedaan etnoreligius. Jika
sebelumnya ada sistem perdagangan yang terbuka, multietnis dan multireligius,
maka penaklukan Eropa mensegregasikan sistem ekonomi menurut garis-garis etnis.
Aspek-aspek dari sistem ekonomi ini berubah di akhir abad ke-19 dan awal ke-20 ketika
orang-orang Eropa menawarkan suatu pergeseran dari kapitalisme kolonial ke kapitalisme liberal.
Setelah penciptaan pasar
(market-making) dan pembentukan bangsa (nation-building) selama dua generasi,
wajah pluralisme di ketiga negara itu banyak berubah. Ketika ekonomi-ekonomi mereka tumbuh dan
masyarakat-masyarakatnya mengalami deferensiasi, banyak muncul
hubungan-hubungan dan organisasi-organisasi baru. Dalam teori politik, civil
society (Organisasi-organisasi masyarakat sipil atau masyarakat madani
) -
dijunjung tinggi sebagai jalan emas menuju demokrasi.
Esensi dari masyarakat madani itu sama
sekali tidak menjamin bahwa sikap-sikap atau tindakan-tindakan dari
kelompok-kelompok masyarakat madani itu bersifat inklusif atau demokratis. Masyarakat
sipil kadang bisa dikerangkan dalam proyek-proyek sektarian atau
persaingan-persaingan penghancur sivilitas, bukannya menuju arah
penciptaan pasar-pasar yang efisien atau demokrasi “bekerja”. Hal tersebut
dapat kita lihat dari Organisasi-organisasi etnis Melayu yang mulai terbentuk
di British Malaya selama paruh pertama di abad ke-20 yang digunakan untuk
memblokir upaya-upaya Cina untuk mendapatkan hak-hak warga negara. Begitu pula di
Indonesia, dibawah rezim Soeharto (1966-1988), kelompok-kelompok bisnis konservatif
menggunakan jaringan-jaringan mereka untuk berkolusi dengan militer dan elit
birokrasi untuk membatasi akses menuju pasar.
Jika ingin “membuat demokrasi berjalan”,
masyarakat sipil masih harus dianggap sebagai bagian dari apa yang dibutuhkan untuk
mencapai keseimbangan antara demokrasi dengan sivilitas multikultural. Mereka juga harus menyumbang pada penciptaan
suatu budaya politik yang menggabungkan orang-orang menjadi warga negara , memberikan hak-hak partisipasi
pada semua anggota masyarakat khususnya bagi masyarakat minoritas atau dengan
kata lain harus meningkatkan “prinsip-prinsip terbaiknya”.
Malaysia, Singapura dan Indonesia telah menyaksikan
pertumbuhan yang signifikan dalam pendapatan, organisasi-organisasi sipil dan
dialog publik sejak masa awal kemerdekaan. Masyarakat sipil diketiga negara tersebut
telah mengalami pendewasaan yang lebih besar daripada negaranya. Di
Singapura, mayoritas warga negaranya bersedia mengorbankan kebebasan personal
demi pertumbuhan ekonomi dan yang sama penting, keamanan bagi negara mereka
yang lemah. Bangsa dipulau itu tidak mengalami pengkotak-kotakan fondasional
yang dinegara tetangganya, Malaysia dan khususnya di Indonesia yang mengancam
seluruh kerangka kerja partisipasi publik dan tata pemerintahan di negara itu.
Nilai-nilai Asia yang betul adalah variasi-variasi
dari tema-tema pro-pasar dan stabilitas yang ditekankan oleh pemerintah. Kebanyakan
orang-orang Singapura merasa nilai-nilai yang diklaim oleh pemerintah itu tidak
bersikap adil pada kompleksitas masyarakat atau sofistikasi warga negaranya. Singapura
rupanya menjadi kandidat yang bagus bagi evolusi yang mantap tetapi lamban dari
statisme konservatif ke negara dan masyarakat yang lebih sipil.
Di Malaysia, penduduknya yang secara
politik dominan tetapi terpecah-belah. Pencapaian mereka dalam hal keadilan,
kesetaraan dan transparasi, kebijaksanaan-kebijaksaan negara telah berhasil mendongkrak
pendapatan dan kepercayaan diri penduduk Melayu dan dengan demikian mengurangi
pengaruh ekonomis pada ketegangan-ketegangan etnoreligius. Malaysia pada akhir
1990-an telah menjadi masyarakat dewasa yang membutuhkan sebuah politik sipil
untuk mengkonsolidasikan kemajuan sosial dan ekonominya.
Indonesia mengawali karier politiknya
dengan konstitusi yang sangat republik dan piagam yang paling inklusif untuk
kewarganegaraan. Tetapi sayangnya, Indonesia kesulitan untuk memperoleh praktik-praktik
politik elit yang bisa menandingi cita-cita politiknya yang muluk. Oleh karena
itu, wajar jika dasar-dasar bagi bangsa dan kewarganegaraan itu kembali
dipertanyakan.
Jalan menuju demokrasi dan
pluralisme civic harus bervariasi. Harus dibangun sebuah lingkup publik
partisipasi demokratis yang didasarkan pada sebuah budaya kewarganegaraan
inklusif. Bahkan itupun belum
cukup, prinsip-prinsip terbaik mereka pada suatu titik harus diangkat dari
masyarakat dan dimasukkan kedalam struktur-struktur negara. Hak-hak individual harus
menyumbang pada pengembangan kepentingan-kepentingan publik yang vital. Penggunaan
hak-hak individual secara efektif menuntut diberikannya sumber-sumber dan
kesempatan-kesempatan publik. Oleh karena itu, diperlukan formula politis yang
dapat menanggapi masalah multikulturalisme dan kewarganegaraan yang merupakan
masalah yang nyaris universal.
Penciptaan pasar (market-making) dan pembentukan bangsa (nation-building) di ketiga negara ini, yaitu di Malaysia,
Singapura dan Indonesia telah mengusung solidaritas-solidaritas etnis dan
religius untuk keluar dari setting lama mereka dan memproyeksikan mereka
kedalam arena-arena politik baru. Pencapaian-pencapaian yang dimungkinkan oleh
interaksi pluralis dalam pendidikan, pasar dan budaya politik sangat
mengesankan. Bagi beberapa aktor, perubahan-perubahan itu mengubah transisi
serupa dalam politik ke arah praktek kewarganegaraan yang lebih inklusif. Banyak
warga negara akhirnya akan menganggap cita-cita tentang kewarganegaraan yang
setara dan inklusif itu bukanlah sebuah “ciptaan Barat” melainkan ciptaan mereka
sendiri.
V.
IKHTISAR
Dengan demikian, setiap usaha untuk
memahami wajah baru pluralisme etnoreligius di ketiga masyarakat Asia Tenggara
ini harus mempertimbangkan pengaruh yang kuat dari penciptaan pasar (market-making) dan pembentukan bangsa (nation-building) terhadap
pengkotak-kotakan sosial yang sudah ada dan yang akan muncul.
Organisasi-organisasi masyarakat sipil
atau masyarakat madani (civil society)-
asosiasi-asosiasi sukarela dan hubungan-hubungan yang dikenali dalam lingkup
publik antara keluarga dan negara bisa bertindak sebagai sebuah “modal sosial” yang memberi sumbangan
pada pengembangan kultur kewarganegaraan dan partisipasi inklusif yang bersifat
publik. Untuk membuat demokrasi berjalan, dituntut sivilitas politik dan
partisipasi informal yang berbasis masyarakat.
VI.
KELEBIHAN
1.
Para penelitinya
diambil dari Negara-negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, pengetahuan
mereka tentang "subjek" penelitian dalam bunga rampai ini tidak perlu
diragukan lagi.
2.
Pembahasan
dalam buku ini sangat menarik untuk dibaca karena menyajikan secara lengkap mengenai
problem-problem pluralitas kebangsaan yang sangat kompleks.
3.
Buku ini sangat
bermanfaat untuk dibaca untuk semua kalangan karena merangsang tumbuhnya kesadaran masyarakat
luas untuk menghargai dan menghormati dalam perbedaan.
VII.
KEKURANGAN
1.
Karena buku ini
terjemahan, kata-katanya sulit untuk cepat dipahami dan perlu mengulang 2-3
kali membacanya agar mengerti dan memahami maksud dan isinya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar