Guest book

script cbox kamu
Mau buat buku tamu ini ?
Klik di sini
Sumber : http://ramadhanlmzero.blogspot.com/2012/12/cara-membuat-buku-tamu-keren-di-blog.html#ixzz47H4OJJnc

Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Site Categories

About

Rabu, 27 April 2016


Resensi
MULTIKULTURALISME DAN KEWARGANEGARAAN DI MALAYSIA, SINGAPURA DAN INDONESIA
Oleh: Dewi Wulandari
NIM K6413020
Progam Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta

      I.            IDENTITAS BUKU
Judul Buku                  : POLITIK MULTIKULTURALISME, Menggugat                                                  Realitas Kebangsaan.
Editor                          : Robert W. Hefner
Penerbit                       : Impulse, Kanisius Yogyakarta
Cetakan                       : Ke-1
Tahun                          : 2007
Tebal Buku                  : 507 Halaman
Bab yang diresensi      : BAB I “Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di                                     Malaysia, Singapura dan Indonesia.
    II.            PENULIS
Buku berjudul Politik Multikulturalisme, Menggugat Realitas Kebangsaan yang dieditori oleh Robert W. Hefner. Merupakan bunga rampai hasil penelitian dan pelatihan kolaborasi antara Ford Foundation dan Institute for the Study of Economic Culture (ISEC) di Boston University dari tahun 1998 sampai 2000. Proyek ini melibatkan lima tim penelitian multidisipliner (dua di Indonesia, dua di Malaysia dan satu di Singapura), yang masing-masing bertanggung jawab melaksanakan wawancara-wawancara lapangan, proyek itu juga melibatkan sejumlah kecil penulis makalah independen. Mereka dari bidang sosiologi, ilmu politik, antropologi dan sejarah, juga sebuah organisasi Muslim non-pemerintah terkemuka di Indonesia.
 III.            PENDAHULUAN
Buku berjudul Politik Multikulturalisme, Menggugat Realitas Kebangsaan ini membahas tentang pliralisme di tiga negara yaitu Malaysia, Singapura dan Indonesia yang menyajikan realitas historis pluralitas etnis, religius, dan gender dari masa colonial sampai pasca-colonial di masing-masing Negara. Adanya transisi kultural itu, mengindikasikan bahwa perkembangan pluralitas dalam masyarakat di tiga negara tersebut sangat pesat. Masyarakat sipil diketiga negara tersebut telah mengalami pendewasaan yang lebih besar daripada negaranya.
 IV.            ULASAN BUKU (BAB I)
Sejarah kolonialisme Barat meninggalkan warisan kepada Asia Tenggara. Penting untuk diingat bahwa pengaruh imperialisme Barat diketiga masyarakat Asia Tenggara itu telah meletakkan fondasi yang bersifat oposisional dan menjadi kakunya perbedaan-perbedaan etnoreligius. Jika sebelumnya ada sistem perdagangan yang terbuka, multietnis dan multireligius, maka penaklukan Eropa mensegregasikan sistem ekonomi menurut garis-garis etnis. Aspek-aspek dari sistem ekonomi ini berubah di akhir abad ke-19 dan awal ke-20 ketika orang-orang Eropa menawarkan suatu pergeseran dari kapitalisme  kolonial ke kapitalisme liberal.
Setelah penciptaan pasar (market-making) dan pembentukan bangsa (nation-building) selama dua generasi, wajah pluralisme di ketiga negara itu banyak berubah. Ketika ekonomi-ekonomi mereka tumbuh dan masyarakat-masyarakatnya mengalami deferensiasi, banyak muncul hubungan-hubungan dan organisasi-organisasi baru. Dalam teori politik, civil society (Organisasi-organisasi masyarakat sipil atau masyarakat madani ) - dijunjung tinggi sebagai jalan emas menuju demokrasi.
Esensi dari masyarakat madani itu sama sekali tidak menjamin bahwa sikap-sikap atau tindakan-tindakan dari kelompok-kelompok masyarakat madani itu bersifat inklusif atau demokratis. Masyarakat sipil kadang bisa dikerangkan dalam proyek-proyek sektarian atau persaingan-persaingan penghancur sivilitas, bukannya menuju arah penciptaan pasar-pasar yang efisien atau demokrasi “bekerja”. Hal tersebut dapat kita lihat dari Organisasi-organisasi etnis Melayu yang mulai terbentuk di British Malaya selama paruh pertama di abad ke-20 yang digunakan untuk memblokir upaya-upaya Cina untuk mendapatkan hak-hak warga negara. Begitu pula di Indonesia, dibawah rezim Soeharto (1966-1988), kelompok-kelompok bisnis konservatif menggunakan jaringan-jaringan mereka untuk berkolusi dengan militer dan elit birokrasi untuk membatasi akses menuju pasar.
Jika ingin “membuat demokrasi berjalan”, masyarakat sipil masih harus dianggap sebagai bagian dari apa yang dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan antara demokrasi dengan sivilitas multikultural. Mereka juga harus menyumbang pada penciptaan suatu budaya politik yang menggabungkan orang-orang menjadi warga negara , memberikan hak-hak partisipasi pada semua anggota masyarakat khususnya bagi masyarakat minoritas atau dengan kata lain harus meningkatkan “prinsip-prinsip terbaiknya”.
Malaysia, Singapura dan Indonesia telah menyaksikan pertumbuhan yang signifikan dalam pendapatan, organisasi-organisasi sipil dan dialog publik sejak masa awal kemerdekaan. Masyarakat sipil diketiga negara tersebut telah mengalami pendewasaan yang lebih besar daripada negaranya. Di Singapura, mayoritas warga negaranya bersedia mengorbankan kebebasan personal demi pertumbuhan ekonomi dan yang sama penting, keamanan bagi negara mereka yang lemah. Bangsa dipulau itu tidak mengalami pengkotak-kotakan fondasional yang dinegara tetangganya, Malaysia dan khususnya di Indonesia yang mengancam seluruh kerangka kerja partisipasi publik dan tata pemerintahan di negara itu.
Nilai-nilai Asia yang betul adalah variasi-variasi dari tema-tema pro-pasar dan stabilitas yang ditekankan oleh pemerintah. Kebanyakan orang-orang Singapura merasa nilai-nilai yang diklaim oleh pemerintah itu tidak bersikap adil pada kompleksitas masyarakat atau sofistikasi warga negaranya. Singapura rupanya menjadi kandidat yang bagus bagi evolusi yang mantap tetapi lamban dari statisme konservatif ke negara dan masyarakat yang lebih sipil.
Di Malaysia, penduduknya yang secara politik dominan tetapi terpecah-belah. Pencapaian mereka dalam hal keadilan, kesetaraan dan transparasi, kebijaksanaan-kebijaksaan negara telah berhasil mendongkrak pendapatan dan kepercayaan diri penduduk Melayu dan dengan demikian mengurangi pengaruh ekonomis pada ketegangan-ketegangan etnoreligius. Malaysia pada akhir 1990-an telah menjadi masyarakat dewasa yang membutuhkan sebuah politik sipil untuk mengkonsolidasikan kemajuan sosial dan ekonominya.
Indonesia mengawali karier politiknya dengan konstitusi yang sangat republik dan piagam yang paling inklusif untuk kewarganegaraan. Tetapi sayangnya, Indonesia kesulitan untuk memperoleh praktik-praktik politik elit yang bisa menandingi cita-cita politiknya yang muluk. Oleh karena itu, wajar jika dasar-dasar bagi bangsa dan kewarganegaraan itu kembali dipertanyakan.
Jalan menuju demokrasi dan pluralisme civic harus bervariasi. Harus dibangun sebuah lingkup publik partisipasi demokratis yang didasarkan pada sebuah budaya kewarganegaraan inklusif. Bahkan itupun belum cukup, prinsip-prinsip terbaik mereka pada suatu titik harus diangkat dari masyarakat dan dimasukkan kedalam struktur-struktur negara. Hak-hak individual harus menyumbang pada pengembangan kepentingan-kepentingan publik yang vital. Penggunaan hak-hak individual secara efektif menuntut diberikannya sumber-sumber dan kesempatan-kesempatan publik. Oleh karena itu, diperlukan formula politis yang dapat menanggapi masalah multikulturalisme dan kewarganegaraan yang merupakan masalah yang nyaris universal.
Penciptaan pasar (market-making) dan pembentukan bangsa (nation-building) di ketiga negara ini, yaitu di Malaysia, Singapura dan Indonesia telah mengusung solidaritas-solidaritas etnis dan religius untuk keluar dari setting lama mereka dan memproyeksikan mereka kedalam arena-arena politik baru. Pencapaian-pencapaian yang dimungkinkan oleh interaksi pluralis dalam pendidikan, pasar dan budaya politik sangat mengesankan. Bagi beberapa aktor, perubahan-perubahan itu mengubah transisi serupa dalam politik ke arah praktek kewarganegaraan yang lebih inklusif. Banyak warga negara akhirnya akan menganggap cita-cita tentang kewarganegaraan yang setara dan inklusif itu bukanlah sebuah “ciptaan Barat” melainkan ciptaan mereka sendiri.
    V.            IKHTISAR
Dengan demikian, setiap usaha untuk memahami wajah baru pluralisme etnoreligius di ketiga masyarakat Asia Tenggara ini harus mempertimbangkan pengaruh yang kuat dari penciptaan pasar (market-making) dan pembentukan bangsa (nation-building) terhadap pengkotak-kotakan sosial yang sudah ada dan yang akan muncul.
Organisasi-organisasi masyarakat sipil atau masyarakat madani (civil society)- asosiasi-asosiasi sukarela dan hubungan-hubungan yang dikenali dalam lingkup publik antara keluarga dan negara bisa bertindak sebagai sebuah “modal sosial” yang memberi sumbangan pada pengembangan kultur kewarganegaraan dan partisipasi inklusif yang bersifat publik. Untuk membuat demokrasi berjalan, dituntut sivilitas politik dan partisipasi informal yang berbasis masyarakat.
 VI.            KELEBIHAN
1.      Para penelitinya diambil dari Negara-negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, pengetahuan mereka tentang "subjek" penelitian dalam bunga rampai ini tidak perlu diragukan lagi.
2.      Pembahasan dalam buku ini sangat menarik untuk dibaca karena menyajikan secara lengkap mengenai problem-problem pluralitas kebangsaan yang sangat kompleks.
3.      Buku ini sangat bermanfaat untuk dibaca untuk semua kalangan karena merangsang tumbuhnya kesadaran masyarakat luas untuk menghargai dan menghormati dalam perbedaan.
VII.            KEKURANGAN
1.      Karena buku ini terjemahan, kata-katanya sulit untuk cepat dipahami dan perlu mengulang 2-3 kali membacanya agar mengerti dan memahami maksud dan isinya.



0 komentar: