Guest book

script cbox kamu
Mau buat buku tamu ini ?
Klik di sini
Sumber : http://ramadhanlmzero.blogspot.com/2012/12/cara-membuat-buku-tamu-keren-di-blog.html#ixzz47H4OJJnc

Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Site Categories

About

Rabu, 27 April 2016


Artikel Ilmiah Non-Penelitian
RULE OF LAW
Oleh: Dewi Wulandari
NIM K6413020
Progam Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
A.    PENDAHULUAN
Penjelasan UUD “yang lama” menyatakan bahwa salah satu ciri system pemerintahan Negara  adalah, “Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Sedangkan dalam UUD hasil Amandemen Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Pada hal dalam Pasal 1 ayat (2) dikatakan “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Atas dasar ketentuan tersebut dapat dikatakan, bahwa Indonesia menganut kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2) dan menganut kedaulatan hukum (pasal 1 ayat 3).
B.     Pokok Masalah
1.      Dianutnya dua kedaulatan tersebut, yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hokum itu maknanya bagaimana? Apakah semua tergantung kepada keputusan rakyat, atau apakah semua tergantung bagaimana bunyi atau teks  ketentuan hukumnya dalam pasal-pasalnya?
2.      Indonesia adalah Negara hukum, tetapi rujukan konsep yang sering di adopsi adalah istilah “Rule of Law” yang merujuk pada konsepsi Negara hukum di Inggris dan Amerika yang menempatkan Konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (supremacy) dengan satu kekuasaan tunggal di bidang kehakiman pada Mahkamah Agung. Apa perbedaan Negara hukum Indonesia dengan Amerika tersebut?
3.       Atas dasar hal tersebut di atas, konstruksikan menurut pemahaman saudara bagaimana yang dimaksud Negara hokum Indonesia itu.
C.    Pembahasan
Kedaulatan dalam bahasa Inggris disebut sovereignity. Harold J. Laski mengatakan yang dimaksud dengan kedaulatan (sovereignity) adalah kekuasaan yang sah (menurut hukum) yang tertinggi, kekuasaan tersebut meliputi segenap orang maupun golongan yang ada dalam masyarakat yang dikuasainya. Sedangkan C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitution menyatakan sovereignity adalah kekuasaan untuk membentuk hukum serta kekuasaan untuk memaksakan pelaksanaannya.
Kedaulatan berasal dari kata “daulat” yang artinya kekuasaan atau pemerintahan. Berdaulat berarti mempunyai kekuasaan penuh (kekuasaan tertinggi) untuk mengatur suatu pemerintahan. Dengan demikian Negara yang berdaulat adalah suatu negara yang telah mendapatkan kekuasaan penuh untuk mengatur pemerintahannya. Tidak ada kekuasaan lain yang dapat mendikte dan mengontrol negara tersebut.
Dari pengertian sederhana itu disimpulkan bahwa yang dimaksud kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang harus dimiliki oleh negara. Memiliki kekuasaan tertinggi berarti negara harus dapat menentukan kehendaknya sendiri serta mampu melaksanakannya. Kehendak Negara tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk hukum. Kemampuan untuk melaksanakan sistem hukum dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan cara paksaan.
Mengapa Indonesia Menganut Kedua Kedaulatan Rakyat & Kedaulatan Hukum?
Menurut UUD 1945, tepatnya di Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, dikatakan ‘…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…”. Konstitusi kita dengan sangat jelas mengatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah suatu negara yang menganut teori kedaulatan rakyat. Di pasal 1 UUD 1945 ayat (2), ditegaskan lagi bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undag dasar.” Maka dengan mudah dapat disimpulkan  secara de jure, negara kita Indonesia adalah negara berkedaulatan rakyat.
Namun, kita juga harus melihat dari sisi lain bahwa kedaulatan rakyat yang dijalankan di Indonesia menjadi sah untuk dijalankan dengan keberadaan hukum yang mengaturnya. Ini terlihat jelas di UUD 1945 pasal 1 ayat (1) dan (2); beserta penerapannya di UUD 1945 pasal 4 ayat (1), pasal 9, dan juga pasal 27 ayat (1). Hal ini terlihat kontradiktif dengan apa yang dikatakan oleh UUD 1945 pada pasal/bagian sebelumnya. Apalagi jika kita mengetahui bahwa dalam proses pembuatan undang-undang dan amandemen UUD 1945 di Indonesia-kendati proses musyawarah untuk mencapai mufakat diutamakan-dilakukan pemungutan suara untuk meloloskan RUU menjadi sebuah UU. Hal ini sejalan dengan prinsip kedaulatan hukum, yaitu yang dimaksudkan hukum adalah norma-norma atau peraturan yang disetujui atau dupatuhi mayoritas masyarakat negara tersebut. Jadi, mana yang benar, kedaulatan rakyat atau kedaulatan hukum? Itulah pertanyaannya. Untuk itu saya mencoba menganalisis hal tersebut.
Menurut pemahaman saya, kedua teori ini memiliki hubungan timbal balik yang dapat saling melengkapi satu sama lain. Dengan kata lain, saya yakin, bahwa teori kedaulatan yang berlaku secara de facto di Indonesia adalah sintesis antara teori kedaulatan rakyat dan teori kedaulatan hukum.
Kelebihan teori kedaulatan rakyat adalah adanya jiwa demokratis dalam pelaksanaanya. Harus diakui, demokrasi yang berjalan di Indonesia telah menghasilkan sejumlah kemajuan yang berarti dari segi prosedural. Pemilu legislatif, pemilu presiden hingga Pilkada dapat berlangsung secara bebas, transparan, demokratis, dan paling penting dalam suasana damai. Perubahan-perubahan penting dan mendasar tersebut agaknya membangkitkan dan mendatangkan sejumlah harapan. Disitu masyrarakat mengharapkan adanya peningkatan demokrasi seiring dengan kemajuan demokrasi. Masyarakat juga mengharapkan pemerintahan yang dihasilkan melalui prosedur demokrasi mampu menangkap dan mengartikulasi kepentingan publik jauh lebih baik dibanding masa sebelumnya serta menjauhkan dari kepentingan-kepentingan sempit kelompok atau golongan tertentu. Namun demikian, dalam realitas harapan-harapan tersebut belum terwujud secara optimal. Muncul keluhan bahwa sistem demokrasi yang sekarang berjalan belum banyak menghasilkan kesejahteraan ekonomi dan sosial. Partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusanpun nyaris seperti masa Orde Baru, sementara sirkulasi elit politik nasional tidak banyak mengalami perubahan perilaku mendasar.
Pada saat bersamaan muncul rasa khawatir terhadap berbagai masalah yang cenderung mengguncang sendi-sendi pokok kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan separatisme sempat mencuat, beberapa daerah mengajukan tuntutan sangat keras kepada pemerintah pusat dan Jakarta sendiri sering kali mengabaikan kepentingan pemerintah daerah. Isi-isu sensitif dengan mengatasnamakan negara kembali meruyak. Hal lain yang cukup mengguncangkan adalah maraknya korupsi pada era reformasi. Semua mengakumulasi menjadi kekecewaan. Benarkah langkah kita dalam proses demokratisasi sekarang ini?
Guncangan-guncangan tersebut kadang menggoda sejumlah kalangan. Sebagian mengusulkan agar kita kembali ke UUD 1945 asli, sebagian menyarankan agar amandemen UUD 1945 dibongkar ulang, dan masih banyak gagasan lainnya. Gugatan-gugatan tersebut pasti menggalaukan pikiran. Seolah kita harus mengulang kembali perdebatan panjang tiada henti yang berlangsung sejak awal kemerdekaan. Bila mana itu terjadi kita tidak akan pernah bisa beranjak maju dalam kehidupan politik kebangsaan. Ketimbang terjebak dalam persoalan yang tak kunjung selesai, cara terbaik adalah mempelajari secara benar pesan-pesan penting konstitusi untuk kemudian diproyeksikan menjadi visi membangun kehidupan sosial.
Sifat demokratis ini menyebabkan rakyat terbiasa untuk mengadakan musyawarah untuk mencapai mufakat, dan dengan demikian kemungkinan besar gagasan dan keinginan semua lapisan masyarakat, baik kaum mayoritas maupun minoritas, akan terakomodir dalam kesepakatan tersebut. Sementara itu, teori kedaulatan hukum juga memiliki beberapa kelebihan. Teori kedaulatan hukum mengakibatkan kondisi pemerintahan yang serba seragam dan tingkat kedisiplinan di negara yang sangat tinggi. Kondisi ini menciptakan keteraturan dalam segala sektor dan membuat negara berkembangan secara cepat dan teratur. Kebanyakan negara penganut teori kedaulatan hukum adalah negara-negara  yang eskalasi ekonominya cukup cepat.
Kelemahan teori kedaulatan rakyat adalah sifat demokratis itu sendiri. Demokrasi dapat menjadi bumerang bagi suatu negara, karena demokrasi dapat menyebabkan ketidakstabilan kondisi pemerintahan dan sosial. Ketidakstabilan kondisi sosial ini disebabkan oleh salah satunya kebebasan berpendapat dan berkespresi. Kebebasan berpendapat dan berekspresi memunculkan begitu banyak gagasan yang mungkin saling bertolak belakang, sehingga musyawarah untuk mencapai mufakat sulit untuk menjadi solusi dalam memecahkan masalah. Di saat musyawarah-mufakat menemukan jalan buntu, tekanan dan tuntutan dari berbagai golongan terus menghujani pemerintah. Masyarakat terus menuntut hak-haknya kepada pemerintah yang merupakan mandataris hak-hak mereka. Namun, karena setiap golongan berkeras memiliki kebutuhan dan ‘perbedaan’ hak-hak untuk dipenuhi-bahkan seringkali saling bertolak belakang satu sama lain-penyelesaian secara demokratis semakin sulit ditempuh. Inilah yang menyebabkan kenapa kondisi sosial, pemerintahan, kebudayaan, hingga perekonomian negara-negara yang menganut teori kedaulatan rakyat cenderung tidak stabil. Perjalanan negara menuju cita-cita yang diimpikan terhambat karena fokus mereka teralih untuk menampung semua aspirasi masyarakat, padahal sebenarnya beragam aspirasi dimunculkan masyarakat untuk mendukung perjalanan negara itu mencapai cita-cita mereka.
Di sisi lain, teori kedauatan hukum yang tampak menjanjikan dan cukup ideal juga memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan terbesar dari teori ini adalah pemerintahan yang cenderung pro-mayoritas dan hukum menjadi represif, khususnya bagi kaum minoritas. Teori kedaulatan hukum cenderung menyeragamkan semua pola pikir masyarakatnya pada suatu norma tertentu, yaitu norma-norma masyarakat mayoritas negara itu. Penyeragaman ini mematikan daya kreativitas suatu negara, dan menyebabkan ‘gap’ (perbedaan) yang signifikan antara kaum minoritas dan mayoritas.
Dimanakah posisi Indonesia di antara kemelut dua teori ini?
Menurut pandangan saya, Indonesia tidak memiliki garis batas yang jelas, apakah Indonesia menganut teori kedaulatan rakyat atau teori kedaulatan hukum. Indonesia, menjadikan teori kedaulatan hukum sebagai ‘eksekutor’ (penyelesai masalah) di kala demokrasi menemui kebuntuan dan malah menyulut masalah. Indonesia, secara tidak sadar, secara de facto menjadikan teori kedaulatan hukum yang reprsif sebagai mekanisme untuk menyeimbangkan demokrasi yang diciptakan oleh teori kedaulatan rakyat.
Hal ini, sintesis antara teori kedaulatan rakyat-teori kedaulatan hukum, terlihat bahkan di UUD 1945. Pasal 1 ayat (2) mengatakan, “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang.” Dalam kata lain, konstitusi mengatakan demokrasi adalah hal utama di Indonesia, namun pelaksanaan demokrasi itu diatur melalui nilai-nilai tertentu yang terdapat pada peraturan perundang-undangan. Sintesis ini terlihat lebih jelas lagi di salah satu kalimat di alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Begini bunyi kalimantnya, “…susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat/Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Kita dapat mengartikan kalimat ini dengan mudah, bahwa kedaulatan rakyat memang menjiwai Republik Indonesia, namun kedaulatan rakyat yang dianut oleh Indonesia harus sesuai dengan landasan filosofis dan yuridis negara kita, yaitu Pancasila.
Jadi, sebenarnya, pertanyaan ‘kedaulatan rakyat atau kedaulatan hukum’ adalah pertanyaan yang sebaiknya dibiarkan menjadi pertanyaan saja, karena keberadaan dua teori ini tidak dapat dipisahkan layaknya hitam dan putih. Teori kedaulatan rakyat dan teori kedaulatan hukum merupakan dua teori yang tidak dapat dipisahkan, karena pasti negara-negara yang menjalankan salah satu dari teori ini secara murni 100%, pasti akan mengalami ketimpangan politik, sosial, kebudayaan, bahkan ekonomi. Kedua teori ini harus dibiarkan hidup berdampingan untuk melengkapi satu sama lain, agar suatu negara dapat mencapai cita-citanya dengan baik.
Menganut Kedaulatan Rakyat maka diadakan Lembaga Perwakilan Rakyat
Presiden sebagai pemegang kekuasaan penyelenggaraan negara Republik Indonesia seperti diamanahkan konstitusi UUD 1945 memiliki tanggung jawab penuh dalam hal kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dibantu oleh seorang wakil presiden yang kemudian bertindak sebagai lembaga eksekutif negara. Pembagian kekuasaan di Indonesia menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif dan menempatkan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yudikatif yang dilengkapi Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga negara pengawasan. Pembagian kekuasaan negara tersebut bertujuan memenuhi mekanisme check and balances. Mekanisme ini berwujud saling mengawasi satu sama lain sehingga pertanggungjawaban setiap lembaga negara kepada rakyat lebih transparan. Berlakunya mekanisme saling mengawasi antar lembaga negara di Indonesia juga untuk mengurangi penyalahgunaan wewenang (detournement) yang kiranya sering terjadi dewasa ini.
Ketika presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu pemilihan umum dinilai sudah tidak mampu menjalankan pemerintahan negara karena sebab-sebab yang telah ditentukan oleh UUD 1945, lembaga legislatif yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan yang dipimpin presiden dapat memberi mosi tidak percaya atas nama parlemen yang kemudian diajukan ke lembaga yudikatif dalam hal ini Mahkamah Konstitusi untuk diputuskan presiden dan/atau wakil presiden pantas untuk diberhentikan dari jabatannya atau tidak, kemudian sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan gabungan DPR dan DPD untuk menentukan pemberhentian Presiden dari jabatannya. Tentu saja mekanisme pemberhentian Presiden di Indonesia yang secara tersirat ditentukan dalam UUD 1945 menyatakan bahwa ketika Presiden diberhentikan dari jabatannya maka Wakil Presiden juga diberhentikan karena “satu paket” dipilih dalam pemilihan umum yang demokratis.
Berdasarkan pengalaman ketatanegaraan Indonesia sepanjang sejarahnya itu, maka dalam amandemen UUD 1945 ditentukan pertama kalinya dikenal sebuah lembaga baru bernama Mahkamah Konstitusi (MK). Dinyatakan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen bahwa kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, kekuasaan yudikatif berada pada dua lembaga negara yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi secara teoritik dibentuk dengan maksud agar berfungsi sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam menafsirkan konstitusi sekaligus juga menyelesaikan sengketa antar lembaga negara dan memberikan putusan mengenai pemberhentian (impeachment) Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Tujuan dibentuknya Mahkamah Konstitusi dalam hal impeachment sebenarnya untuk menentukan “kepastian hukum” terhadap usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden apakah benar telah memenuhi syarat untuk diberhentikan dari jabatannya. Apabila Wakil Presiden diberhentikan dari jabatannya, secara etika kenegaraan memiliki konsekuensi bahwa Presiden juga harus diberhentikan dari jabatannya. Apabila benar Presiden dan Wakil Presiden telah diberhentikan maka akan berakibat hukum yang kiranya lebih berbahaya bagi negara yaitu “facum of power” karena untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden harus menyelanggarakan Pemilihan Umum yang memerlukan waktu yang lama dengan biaya yang tidak sedikit pula ditanggung oleh negara. Hal ini mengakibatkan perdebatan panjang jika hanya untuk meminta pertanggungjawaban presiden ataupun wakil presiden serta merta harus dilaksanakan dengan mekanisme impeachment.
Proses impeachment yang hanya terdapat aturannya dalam konstitusi itu kiranya lebih bersifat sebagai langkah terakhir dalam meminta tanggung jawab negara yang diemban oleh pemimpin negara khususnya presiden dan wakil presiden. Sejarah ketatanegaraan Indonesia menyatakan bahwa dasar dilakukannya impeachment oleh lembaga-lembaga negara yang mengakomodasinya cenderung kepada penilaian subjektif sebagai alasan presiden diberhentikan dari jabatannya. Namun dapat dimaklumi bahwa pada saat terjadi impeachment itu, konstitusi negara yakni UUD 1945 sebelum amandemen sama sekali tidak mengatur mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.
Apakah semua tergantung kepada keputusan rakyat, atau apakah semua tergantung bagaimana bunyi atau teks  ketentuan hukumnya dalam pasal-pasalnya?
Kedaulatan Rakyat yang dianut negara Indonesia memberikan pengertian bahwa pemerintahan dijalankan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Konstitusi itu hanya menekankan kehidupan politik yang mencerminkan semangat “kedaulatan rakyat”. Institusi-institusi politik seperti Lembaga Perwakilan Rakyat harus menjadi wadah yang mampu menggodok kebijakan-kebijakan demi kemaslahatan masyarakat. indikator kemaslahatan yang dimaksud adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, hadirnya “keadilan politik dan keadilan sosial”, dan menguatnya solidaritas sosial, kebersamaan atau kesetiakawanan sebagai suatu bangsa serta negara yang berKetuhanan.
Perspektif yang semata-mata melihat sistem yang dikemabngkan oleh suatu pemerintahan justru dapat mengaburkan hal penting esensial, yaitu sejauh diterjemahkan kedalam kebijakan-kebijakan politik ekonomi maupun sosial. Padahal, penerjemahan pesan konstitusi dalam agenda nyata dana konkret itulah yang semestinya harus dilakukan. Penerjemahan menjadi sebuah sistem politik atau sistem demokrasi tertentu adalah relatif. Konstitusi sendiri tidak memerintahkan demokrasi model apa yang harus dikembangkan. Contohnya konstitusi 1950 yang menerjemahkan pesan dasar negara menjadi sistem demokrasi liberal. Dalam konteks jaman, penerjemahan semacam ini adalah sah, dan amat sangat tidak arif bila kemudian dihakimi sebagai sesuatu yang salah.
Supaya tidak terjebak pada generalisasi berlebihan, perspektif yang sebaiknya digunakan dalam menilai dan memproyeksi masa depan politik dan demokrasi Indonesia adalah sejauh mana rezim mengembangkan nilai-nilai fundamental yang terkandung oleh dasar negara atau konstitusi. Dengan cara itu menurut saya akan menjadi lebih arif dan adil.
Sejauh mana pesan dasar negara dan konstitusi diterjemahkan?
Untuk megetahui itu, cara termudah adalah dengan melihat produk-produk kebijakan-kebijakan negara yang tercermin dalam aturan perundang-undangan dan segala turunannya serta orientasi kebijakan pemerintah yang tertuang dalam progam kerjanya. Dengan cara seperti itu kita dapat melakukan evaluasi kritis sekaligus menyusun proyeksi kedepan.
B. Perbedaan Negara Hukum Indonesia Dengan Amerika Serikat
Istilah Rule of Law atau Rechtsstaat yang dalam bahasa Indonesia diartikan bahwa negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum (supremacy of law) dengan pemerintahan yang berdasarkan atas hukum (government by law). Kekuasan negara dan politik dalam negara hukum dengan jelas memiliki batasan-batasan untuk menghindari kesewenang-wenangan dari pihak penguasa. Dengan kata lain, hukum memiliki peranan sangat penting yang berada di atas kekuasaan negara dan politik. (Munir Fuady, 2009:2) Sebagaimana dalam suatu konstitusi yang merupakan hukum dasar suatu negara, segala aturan di dalamnya harus mencakup seluruh aspek kehidupan ketatanegaraan sesuai dengan konsep rule of law dimana asas legalitas menjadi tolok ukur utama kekuatan hukum konstitusi.
Ketika membahas mengenai ketentuan untuk meng-impeach presiden dan/atau wakil presiden harus berpijak terlebih dahulu dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya supaya ditemukan dahulu dasar atau pijakan hukum yang kuat. Disamping hal-hal yang dimuat dalam konstitusi negara yang oleh Hans Kelsen diterjemahkan sebagai hukum dasar perlu juga untuk menelaah Undang-Undang yang mengatur mengenai kekuasaan eksekutif negara yang dalam pembahasan ini merupakan pemerintahan presidensiil yang dipimpin oleh presiden dalam konteks tanggung jawab negara.
Dalam hal tanggung jawab negara yang dalam sistem pemerintahan presidensiil baik yang dianut oleh Republik Indonesia maupun Amerika Serikat sama-sama menempatkan Presiden sebagai kepala negara (head of state) sekaligus kepala pemerintahan (head of government) yang diatur dalam mekanisme checks and balances. Sesuai dengan kewenangannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden berhak untuk melakukan berbagai tindakan yang menyangkut kepentingan negara baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap fungsi lembaga negara lainnya. Hal tersebut sesuai dengan sistem hukum yang dianut oleh Indonesia yaitu sistem hukum prismatik, yang menggabungkan keunggulan-keunggulan dari berbagai sistem hukum baik Eropa Kontinental maupun Anglo Saxon.
Perbedaan dalam konsep konstitusional maupun praktik impeachment di Indonesia yang pertama, UUD 1945 disusun oleh founding fathers (pendiri bangsa) hanya dalam waktu 20 (dua puluh) hari menjelang deklarasi kemerdekaan Indonesia. Dengan kata lain, konstitusi Indonesia ini disusun ketika berada dalam kondisi darurat. Karenanya, UUD 1945 merupakan konstitusi terpendek dan yang paling fleksibel di antara konstitusi negara-negara di dunia meskipun sudah mengalami amandemen hingga empat kali. Di sisi lain, Konstitusi Amerika Serikat (The Constitution for United States of America) dikenal sebagai konstitusi yang cukup komplit karena disusun selama kurang lebih 14 (empat belas) tahun oleh founding fathers. Dalam proses penyusunan Konstitusi Amerika Serikat juga melibatkan sejumlah pakar, hakim, ahli politik, tidak hanya para politisi saja.
Perbedaan yang kedua, karena UUD 1945 sebelum amandemen disusun dalam waktu yang singkat sebagai akibat dari situasi darurat maka terdapat banyak lubang atau kelemahan dalam mengatur sistem politik Indonesia yang cukup rumit setelah kemerdekaan. Salah satu kelemahannya adalah tidak diaturnya ketentuan impeachment secara jelas dan spesifik. Sedangkan di dalam konstitusi Amerika Serikat diatur secara relatif lebih jelas dan lebih spesifik sehingga mereduksi perselisihan yang tidak perlu di kemudian hari. Sebagai perbandingan, dalam proses impeachment Presiden Andrew Johnson, Presiden Richard Nixon, dan Presiden Bill Clinton di Amerika tidak memperdebatkan lagi masalah apakah forum sidang istimewa yang dijalankan House of Representative dan Senate itu merupakan forum politik atau forum hukum sebagaimana terjadi dalam impeachment Presiden Abdurrahman Wahid di Indonesia. Perdebatan dalam proses impeachment Presiden di Amerika Serikat sudah langsung pada apakah dakwaan impeachment tersebut memiliki bukti yang kuat atau tidak untuk memutuskan bahwa Presiden bersalah atau tidak.
Perbedaan yang ketiga, ketidakjelasan konsep impeachment dalam UUD 1945 telah menimbulkan perdebatan penafsiran yang secara mudah dimanipulasi untuk kepentingan politik kelompok atau individu tertentu. Sedangkan di Amerika Serikat, dengan pengaturan yang lebih jelas dan spesifik dalam hal prosedur impeachment dapat mereduksi kemungkinan para politisi untuk memanipulasi ketentuan tersebut guna kepentingan mereka sendiri. Perbedaan yang keempat, dalam praktik impeachment di kedua negara, respon para ahli hukum berbeda. Dalam kasus impeachment Presiden Bill Clinton, lebih kurang 145 ahli hukum tata negara seantero Amerika Serikat membuat petisi yang isinya menolak proses impeachment terhadap Presiden Bill Clinton karena dakwaan dan pembuktiannya dianggap tidak memenuhi syarat untuk meng-impeach Presiden Bill Clinton. Sementara pada kasus impeachment Presiden Abdurrahman Wahid, kebanyakan ahli Hukum Tata Negara justru mendukung impeachment terhadap Presiden Andurrahman Wahid meskipun belum tentu tuduhan pelanggaran konstitusi telah memenuhi syarat untuk diproses impeachment. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam konsep dan praktik kedua negara terdapat perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh faktor sejarah dan budaya kedua negara yang jelas berbeda. Dengan kata lain, konstitusi bukanlah sekadar dokumen tertulis, tetapi dalam hal tertentu merupakan refleksi dari sejarah dan budaya sebuah bangsa itu sendiri. Dan dari pengalaman bernegara kedua negara tersebut sangat jauh berbeda, sehingga hal ini juga menentukan baik buruknya sebuah tatanan kehidupan dalam bernegara, terutama yang menyangkut penyelenggaraan sistem politik kenegaraannya.

C. Makna Negara Hukum Indonesia
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik yang merupakan negara hukum. Pengertian tersebut ialah salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam UUD 1945 sebagai prinsip negara hukum. Prinsip tersebut tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Secara historis, negara hukum adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan.
Operasionalisasi dari konsep Negara hukum Indonesia dituang dalam konstitusi Negara yaitu UUD 1945. UUD 1945 merupakan hukum dasar Negara  yang menempati hukum Negara tertinggi dalam tertib hukum. Sumber hukum Negara Indonesia terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagai mana telah tertulis dalam pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh UUD 1945.
Penuangan di Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Menurut Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa “ Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara”.
Pancasila sebagai sumber dan kaidah penuntun hukum itu harus dituangkan didalam peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum formal. Penglihatan diatas ini penting karena dengan kedudukannya yang seperti itu Pancasila harus dijabarkan di dalam peraturan perundang-undangan dengan semua kaidah penuntunnya. Hierarkis peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 terdiri dari:
1.      Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945 Amandemen)
2.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
3.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perppu)
4.      PP (Peraturan Pemerintah)
5.      Perpres (Peraturan Presiden)
6.      Peraturan Daerah (Perda) Provinsi
7.      Peraturan Daerah (Perda) Kab/Kota
Susunan peraturan diatas bersifat hierarkis. Artinya peraturan yang dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya (Lex Superior Derogat Legi Inferiori).
Dari sudut hukum Pancasila menjadi cita hukum (rechtside) yang harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia. oleh sebab itu setiap hukum di Indonesia harus berdasar pada pancasila dengan memuat konsistensi isi mulai dari yang paling atas sampai yang paling rendah hierarkinya. Hukum-hukum di Indonesia harus ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan negara sebagaimana tertuang didalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam kedudukannya yang seperti itu dan dalam kaitannya dengan politik membangun hukum maka Pancasila yang dimaksudkan sebagai dasar pencapaian tujuan negara tersebut melahirkan kaidah-kaidah penuntun hukum, yaitu:
Pertama, hukum yang dibuat di Indonesia haruslah bertujuan membangun dan menjamin integrasi negara dan bangsa Indonesia baik secara teritori maupun secara ideologi.
Kedua, hukum yang dibuat di Indonesia haruslah didasarkan pada demokrasi dan nomokrasi sekaligus. Demokrasi yang menjadi dasar politik (kerakyatan) mengendaki pembuatan hukum berdasarkan kesepakatan rakyat atau wakil-wakil yang dipilih secara sah baik melalui kesepakatan aklamasi maupun  berdasar suara terbanyak jika mufakat bulat tak tercapai, sedangkan nomokrasi sebagai prinsip negara hukum menghendaki agar hukum-hukum di Indonesia dibuat berdasar substansi hukum yang secara filosofis sesuai dengan rechtside Pancasila serta dengan prosedur yang benar.
Ketiga, hukum yang dibuat di Indonesia harus ditujukan untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum di Indonesia harus memberi proteksi terhadap masyarakat yang lemah agar mampu memeprsempit jurang sosial-ekonomi yang timbul karena eksploitasi oleh yang kuat terhadap yang lemah.
Keempat, hukum yang dibuat di Indonesia haruslah didasarkan pada toleransi beragama yang berkeadaban yakni hukum yang tidak mengistimewakan atau mendiskriminasi kelompok tertentu berdasar besar kecilnya pemelukan agama.
Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi negara hukum menjadikan suatu ketentuan yang berisi peraturan harus dibuat dan disahkan terlebih dahulu sehingga mengikat ketika ada pelanggaran atas peraturan dalam ketentuan itu. Dalam konteks republik, seluruh aspek penyelenggaraan pemerintahan negara harus diatur mengenai tugas pokok maupun fungsi setiap lembaga negara yang terbagi dalam tiga kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebagaimana diungkapkan oleh Mahfud MD yang menyatakan bahwa sistem hukum yang diberlakukan di Indonesia memiliki bentuk yang prismatik yaitu dengan menggabungkan keunggulan-keunggulan yang terdapat dalam baik dalam sistem hukum eropa kontinental maupun sistem hukum anglosaxon. Berbagai keunggulan dari masing-masing sistem hukum yang dipakai oleh Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum tentu saja menimbulkan konsekuensi-konsekuensi dalam beberapa aspek kehidupan hukum dalam negara Republik Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia cenderung mengambil sisi positivisme hukum dimana suatu peraturan atau Undnag-Undang meskipun dianggap tidak adil bagi masyarakat tetapi harus ditaati dan ketika suatu peraturan perundang-undangan akan disahkan, terdapat klausul yang berupa ”seluruh masyarakat Indonesia dianggap mengetahui peraturan perundang-undangan ini”. Memang klausul seperti itu digunakan demi efisiensi anggaran dan tenaga yang untuk mensosialisasikan suatu peraturan sangat sulit dikarenakan kemajemukan bangsa Indonesia ini.
Dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan pada aturan hukum. Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan administratif harus didasarkan atas aturan atau rules and procedures. (Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, 2000:56)
Namun demikian, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
Berdasarkan prinsip negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. Oleh karena itu, aturan-aturan dasar konstitusional harus menjadi dasar dan dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, perubahan UUD 1945 yang bersifat mendasar tentu saja berpengaruh terhadap sistem dan materi peraturan perundang-undangan yang telah ada. Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap jenis peraturan perundangan-undangan serta materi muatannya. Adanya perubahan UUD 1945 tentu menghendaki adanya perubahan sistem peraturan perundang-undangan, serta penyesuaian materi muatan berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada dan berlaku. (Bagir Manan, 2003: 70-72)
Penerapan gagasan negara hukum di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan kehidupan konstitusional dan politik kita yang selama lebih dari setengah abad telah tiga kali hidup dalam konstitusi yang berbeda lan sistém politik yang berbeda pula. Dalam dimensi tatanan (pengkaidahan dalam pasal-pasal UUD 1945) sebagai akibat kerancuan dalam gagasan dapat dimengerti jika baik dalam pembukaan maupun dalam batang tubuh UUD 1945, kecuali dalam penjelasan UUD 1945 yang merumuskannya dalam kalimat bersayap yang penuh keraguan ”Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Rumusan ini dapat ditafsirkan bahwa Indonesia itu sebenarnya “machtstaat” (yang primer), namun juga “rechtstaat” (yang sekunder). Hal tersebut herbeda dengan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, yang secara tegas dalam mukadimah UUD dalam Pasal 1 ayat (1) batang tubuh UUD merumuskan bahwa Indonesia ialah negara hukum yang demokratis.
Penegasan Indonesia adalah negara hukum yang selama ini diatur dalam Penjelasan UUD 1945, dalam Perubahan UUD 1945 telah diangkat ke dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Konsekuensi ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, kebijakan dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan hukum. Sekaligus ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun penduduk. Dalam negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara; dengan kata lain, yang sesungguhnya memimpin dalam penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip the rule of law and not of man yang sejalan dengan pengertian nomocratie yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum. Dalam paham negara hukum yang demikian, harus diadakan jaminan bahwa hukurn itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Karena itu, perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan menurut Undang-Undang Dasar yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische rechstaat). Sebenarnya, ajaran kedaulatan rakyat yang mencerminkan prinsip demokrasi dalam perkembangan sejarah pemikiran hukurn dan politik memang sering dipertentangkan dengan ajaran kedaulatan hukum benkaitan dengan prinsip nomokrasi. Ajaran atau teori kedaulatan hukurn itu sendiri dalam istilah yang lebih populer dihubungkan dengan doktrin the rule of law dan prinsip rechtstaat (negara hukum).
Perdebatan teoritis dan filosofis mengenai mana yang lebih utama dari kedua prinsip ajaran kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat ini dalam sejarah terus berlangsung sejak zaman Yunani Kuno. Di zaman modern sekarang ini, orang berusaha untuk merumuskan jalan tengahnya juga terus terjadi. Misalnya dikatakan bahwa kedua prinsip itu tak ubahnya merupakan dua sisi dan mata uang yang sama. Keduanya menyatu dalam konsepsi negara hukum yang demokratis ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum. Namun, dalam praktik, tidaklah mudah untuk mengkompromikan prinsip kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum itu dalam skema kelembagaan yang benar-benar seimbang. Dalam sistem UUD 1945 sebelum amandemen, lembaga tertinggi negara justru diwujudkan dalam lembaga MPR yang lebih berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Akan tetapi setelah dilakukan perubahan terhadap ketentuan Undang-undang Dasar berkenaan dengan hal itu, maka lembaga kekuasaan kehakiman yang mencakup dua mahkamah (MA dan MK) itu juga harus ditempatkan dalam kedudukan yang sederajat dengan MPR yang anggotanya terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Sekarang kedua ajaran kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum itu dikembangkan secara bersamaan dan berada dalam hubungan yang sederajat sebagai perwujudan keyakinan kolektif bangsa Indonesia akan kedaulatan Tuhan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dálam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini semula dimuat dalam Penjelasan yang berbunyi “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Di samping itu, ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara hukum yang juga dimuat dalam penjelasan “Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)”. Prinsip ini mengandung makna ada pembagian kekuasaan negara dan pembatasan kekuasaan (tidak absolut dengan kekuasaan tidak terbatas). Dengan ketentuan baru ini, dasar sebagai negara yang berdasarkan atas hukum mempunyai sifat normatif bukan sekedar asas belaka. Sejalan dengan ketentuan tersebut salah satu prinsip penting negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pegaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan kekuasaan kehakiman dalam hal judicial review dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi. Cabang kekuasaan kehakirnan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang berpucuk pada Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan, maka fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif dikembangkan sebagai cabang-cabang kekuasaan yang terpisah satu sama lain. Jika kekuasaan legislatif berpuncak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri atas dua kamar, yaitu Dewan Pcrwakilan Rayat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maka cabang kekuasaan yudisial berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang juga mempunyai dua pintu, yaitu Mahkamah Agung dan pintu Mahkanah Konstitusi. Pada mulanya memang tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi, bahkan keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi itu sendiri di dunia memang dapat dikatakan relatif masih baru. Karena itu, ketika UUD 1945 dirumuskan, gagasan Mahkamah Konstitusi ini belum muncul. Perdebatan yang muncul ketika merumuskan UUD 1945 adalah perlu tidaknya UUD 1945 mengakomodir gagasan hak uji materiil ke dalam kekuasaan kehakiman. Namun, di kalangan negara-negara demokrasi baru, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami perubahan dari otoriter menjadi dernokrasi pada perempatan terakhir abad ke-20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat populer. Karena itu, setelah Indonesia memasuki era reformasi dewasa ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi itu diterima.
Prinsip-prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan negara dan kemungkinan menjadi sumber penindasan dan tindakan sewenang-wenang para penguasa. Pengaturan dan pembatasan kekuasaan itulah yang menjadi ciri konstitusionalisme dan sekaligus tugas utama konstitusi, sehingga kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan dapat dikecualikan dan diminimalkan. Pergeseran kewenangan sekaligus menjawab ditinggalkannya teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) yang identik prinsip supremasi MPR diganti menjadi pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial. Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara atau pribadi-pribadi yang sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya. Setelah lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat mengalami reformasi struktural dengan diterapkannya sistem pemisahan kekuasaan dan prinsip hubungan checks and balances antara lembaga-lembaga negara, dapat dikatakan struktur ketatanegaraan kita berpuncak kepada tiga cabang kekuasaan, yang saling mengontrol dan saling mengimbangi secara sederajat satu sama lain, yaitu:
          Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu institusi kepemimpinan eksekutif negara.
          MPR yang terdiri atas DPR dan DPD sebagai kekuasaan legislatif negara.
          Kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Ketiganya tunduk di bawah pengaturan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dengan segala perubahannya. Dengan demikian, lembaga MPR merupakan puncak dari sistem kedaulatan rakyat, sedangkan MA dan MK dapat dilihat sebagai puncak pencerminan sistem kedaulatan hukum. Pemisahan kekuasaan, karena itu dapat dipahami sebagai doktrin konstitusional atau doktrin pemerintahan yang terbatas yang membagi kekuasaan pemerintahan ke dalam cabang kekuasaun legislatif, eksekutif dan yudisial. Tugas kekuasaan legislatif adalah membuat hukum, kekuasaan eksekutif bertugas menjalankan hukum dan kekuasaan yudisial bertugas menafsirkan hukurn. Terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan pengertian ini adalah checks and balances, yang mengatakan bahwa masing-masing cabang pemerintahan membagi tindakan-tindakannya. Ini berarti, kekuasaan dan fungsi dari masing-masing cabang adalah terpisah dan dijalankan oleh orang yang berbeda, tidak ada agen tunggal yang dapat menjalankan otoritas yang penuh karena masing-masing bergantung satu sama lain. Kekuasaan yang terbagi semacam inilah yang mencegah absolutisme, sebagaimana dalam kekuasaan monarki atau diktator ketika semua cabang terpusat pada otoritas tunggal, atau mencegah korupsi kekuasaan yang timbul karena kemungkinan kekuasaan tanpa pengawasan. Kontrol atau dorongan publik hampir tidak mungkin jika kekuasaan negara berada pada satu atau sejumlah kecil orang. Kontrol dan pengaruh yang efektif atas kekuasaan negara hanya mungkin terjadi melalui kekuasaan negara sendiri. Jadi, masyarakat yang bebas harus membagi kekuasan diantara otoritas yang berbeda dan berdiri sendiri. Kebebasan individu akan terjaga jika warga negara dapat saling mengawasi satu sama lain, dan jika konsentrasi atau monopoli kekuasaan dapat dicegah.
D.    Kesimpulan
Konstitusi kita dengan sangat jelas mengatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah suatu negara yang menganut teori kedaulatan rakyat. Di pasal 1 UUD 1945 ayat (2), ditegaskan lagi bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undag dasar.” Maka dengan mudah dapat disimpulkan  secara de jure, negara kita Indonesia adalah negara berkedaulatan rakyat.
Namun, kita juga harus melihat dari sisi lain bahwa kedaulatan rakyat yang dijalankan di Indonesia menjadi sah untuk dijalankan dengan keberadaan hukum yang mengaturnya. Ini terlihat jelas di UUD 1945 pasal 1 ayat (1) dan (2); beserta penerapannya di UUD 1945 pasal 4 ayat (1), pasal 9, dan juga pasal 27 ayat (1). Hal ini terlihat kontradiktif dengan apa yang dikatakan oleh UUD 1945 pada pasal/bagian sebelumnya.
Menurut pemahaman saya, kedua teori ini memiliki hubungan timbal balik yang dapat saling melengkapi satu sama lain. Dengan kata lain, saya yakin, bahwa teori kedaulatan yang berlaku secara de facto di Indonesia adalah sintesis antara teori kedaulatan rakyat dan teori kedaulatan hukum.
Perspektif yang semata-mata melihat sistem yang dikemabngkan oleh suatu pemerintahan justru dapat mengaburkan hal penting esensial, yaitu sejauh diterjemahkan kedalam kebijakan-kebijakan politik ekonomi maupun sosial. Padahal, penerjemahan pesan konstitusi dalam agenda nyata dana konkret itulah yang semestinya harus dilakukan. Penerjemahan menjadi sebuah sistem politik atau sistem demokrasi tertentu adalah relatif. Konstitusi sendiri tidak memerintahkan demokrasi model apa yang harus dikembangkan. Contohnya konstitusi 1950 yang menerjemahkan pesan dasar negara menjadi sistem demokrasi liberal. Dalam konteks jaman, penerjemahan semacam ini adalah sah, dan amat sangat tidak arif bila kemudian dihakimi sebagai sesuatu yang salah.
Istilah Rule of Law atau Rechtsstaat yang dalam bahasa Indonesia diartikan bahwa negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum (supremacy of law) dengan pemerintahan yang berdasarkan atas hukum (government by law). Kekuasan negara dan politik dalam negara hukum dengan jelas memiliki batasan-batasan untuk menghindari kesewenang-wenangan dari pihak penguasa. Dengan kata lain, hukum memiliki peranan sangat penting yang berada di atas kekuasaan negara dan politik. (Munir Fuady, 2009:2) Sebagaimana dalam suatu konstitusi yang merupakan hukum dasar suatu negara, segala aturan di dalamnya harus mencakup seluruh aspek kehidupan ketatanegaraan sesuai dengan konsep rule of law dimana asas legalitas menjadi tolok ukur utama kekuatan hukum konstitusi.
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik yang merupakan negara hukum. Pengertian tersebut ialah salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam UUD 1945 sebagai prinsip negara hukum. Prinsip tersebut tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Secara historis, negara hukum adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan.

0 komentar: