Guest book
Popular Posts
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian ANALISIS KURIKULUM 2006 DAN KURIKULUM 2013 MAPEL PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Oleh: Dewi Wulandari NI...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian PERBANDINGAN KEMAMPUAN SISTEM POLITIK DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DENGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian MODEL PEMBELAJARAN PKN Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan Pancasila dan Ke...
-
Artikel Ilmiah TAMAN BALEKAMBANG SEBAGAI PEMBENTUK ESTETIKA KOTA SOLO Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidik...
-
E PISTIMOLOGI M ULTIKULTURALISME Mahfud Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : ...
-
Resensi MULTIKULTURALISME DAN KEWARGANEGARAAN DI MALAYSIA, SINGAPURA DAN INDONESIA Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Stu...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian PERENCANAAN PEMBELAJARAN PKN Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan Pancasil...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian PENDEKATAN DALAM PENDIDIKAN ILMU SOSIAL Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian KOMUNIKASI POLITIK Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarg...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian ANALISIS SISTEM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DITINJAU DARI SISI KEDAULATAN RAKYAT & DEMOKRASI Oleh...
Blogger templates
Blogger news
Blogroll
About
Diberdayakan oleh Blogger.
Site Categories
Mengenai Saya
About
Rabu, 27 April 2016
Artikel Ilmiah Non-Penelitian
RULE OF LAW
Oleh: Dewi Wulandari
NIM K6413020
Progam Studi Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
A.
PENDAHULUAN
Penjelasan UUD “yang
lama” menyatakan bahwa salah satu ciri system pemerintahan Negara adalah, “Indonesia
ialah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas
kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Sedangkan dalam UUD hasil Amandemen Pasal
1 ayat (3) Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Pada hal dalam Pasal 1 ayat
(2) dikatakan “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Atas
dasar ketentuan tersebut dapat dikatakan, bahwa Indonesia menganut kedaulatan
rakyat (pasal 1 ayat 2) dan menganut kedaulatan hukum (pasal 1 ayat 3).
B.
Pokok Masalah
1.
Dianutnya dua
kedaulatan tersebut, yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hokum itu maknanya
bagaimana? Apakah semua tergantung kepada keputusan rakyat, atau apakah semua
tergantung bagaimana bunyi atau teks
ketentuan hukumnya dalam pasal-pasalnya?
2.
Indonesia adalah
Negara hukum, tetapi rujukan konsep yang sering di adopsi adalah istilah “Rule
of Law” yang merujuk pada konsepsi Negara hukum di Inggris dan Amerika yang
menempatkan Konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (supremacy) dengan satu
kekuasaan tunggal di bidang kehakiman pada Mahkamah Agung. Apa perbedaan Negara
hukum Indonesia dengan Amerika tersebut?
3.
Atas dasar hal tersebut di atas, konstruksikan
menurut pemahaman saudara bagaimana yang dimaksud Negara hokum Indonesia itu.
C.
Pembahasan
Kedaulatan dalam bahasa Inggris disebut sovereignity. Harold J. Laski mengatakan
yang dimaksud dengan kedaulatan (sovereignity)
adalah kekuasaan yang sah (menurut hukum) yang tertinggi, kekuasaan tersebut
meliputi segenap orang maupun golongan yang ada dalam masyarakat yang
dikuasainya. Sedangkan C.F. Strong dalam bukunya Modern Political
Constitution menyatakan sovereignity adalah kekuasaan untuk membentuk hukum
serta kekuasaan untuk memaksakan pelaksanaannya.
Kedaulatan berasal dari kata “daulat” yang artinya kekuasaan atau pemerintahan. Berdaulat berarti mempunyai kekuasaan penuh
(kekuasaan tertinggi) untuk mengatur suatu pemerintahan. Dengan demikian Negara
yang berdaulat adalah suatu negara yang telah mendapatkan kekuasaan penuh untuk
mengatur pemerintahannya. Tidak ada kekuasaan lain yang dapat mendikte
dan mengontrol negara tersebut.
Dari pengertian sederhana itu
disimpulkan bahwa yang dimaksud kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang
harus dimiliki oleh negara. Memiliki kekuasaan tertinggi berarti negara
harus dapat menentukan kehendaknya sendiri serta mampu melaksanakannya.
Kehendak Negara tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk hukum. Kemampuan untuk
melaksanakan sistem hukum dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan
cara paksaan.
Mengapa Indonesia Menganut Kedua Kedaulatan Rakyat
& Kedaulatan Hukum?
Menurut UUD 1945, tepatnya di Pembukaan
UUD 1945 alinea keempat, dikatakan ‘…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia, yang terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat…”. Konstitusi kita dengan sangat jelas
mengatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah suatu negara yang
menganut teori kedaulatan rakyat. Di pasal 1 UUD 1945 ayat (2),
ditegaskan lagi bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut undang-undag dasar.” Maka dengan mudah dapat disimpulkan secara de jure, negara kita Indonesia adalah
negara berkedaulatan rakyat.
Namun, kita juga harus melihat dari sisi
lain bahwa kedaulatan rakyat yang dijalankan di Indonesia menjadi sah untuk
dijalankan dengan keberadaan hukum yang mengaturnya. Ini terlihat jelas
di UUD 1945 pasal 1 ayat (1) dan (2); beserta penerapannya di UUD 1945 pasal 4
ayat (1), pasal 9, dan juga pasal 27 ayat (1). Hal ini terlihat kontradiktif
dengan apa yang dikatakan oleh UUD 1945 pada pasal/bagian sebelumnya. Apalagi
jika kita mengetahui bahwa dalam proses pembuatan undang-undang dan amandemen
UUD 1945 di Indonesia-kendati proses musyawarah untuk mencapai mufakat
diutamakan-dilakukan pemungutan suara untuk meloloskan RUU menjadi sebuah UU.
Hal ini sejalan dengan prinsip kedaulatan hukum, yaitu yang dimaksudkan hukum
adalah norma-norma atau peraturan yang disetujui atau dupatuhi mayoritas
masyarakat negara tersebut. Jadi, mana yang benar, kedaulatan rakyat atau
kedaulatan hukum? Itulah pertanyaannya. Untuk itu saya mencoba menganalisis hal
tersebut.
Menurut pemahaman saya, kedua teori ini
memiliki hubungan timbal balik yang dapat saling melengkapi satu sama lain. Dengan
kata lain, saya yakin, bahwa teori kedaulatan yang berlaku secara de facto di
Indonesia adalah sintesis antara teori kedaulatan rakyat dan teori kedaulatan
hukum.
Kelebihan teori kedaulatan rakyat adalah adanya jiwa demokratis dalam
pelaksanaanya. Harus diakui, demokrasi yang berjalan di Indonesia
telah menghasilkan sejumlah kemajuan yang berarti dari segi prosedural. Pemilu
legislatif, pemilu presiden hingga Pilkada dapat berlangsung secara bebas,
transparan, demokratis, dan paling penting dalam suasana damai. Perubahan-perubahan
penting dan mendasar tersebut agaknya membangkitkan dan mendatangkan sejumlah
harapan. Disitu masyrarakat mengharapkan adanya peningkatan demokrasi seiring
dengan kemajuan demokrasi. Masyarakat juga mengharapkan pemerintahan yang
dihasilkan melalui prosedur demokrasi mampu menangkap dan mengartikulasi
kepentingan publik jauh lebih baik dibanding masa sebelumnya serta menjauhkan
dari kepentingan-kepentingan sempit kelompok atau golongan tertentu. Namun
demikian, dalam realitas harapan-harapan tersebut belum terwujud secara
optimal. Muncul keluhan bahwa sistem demokrasi yang sekarang berjalan belum
banyak menghasilkan kesejahteraan ekonomi dan sosial. Partisipasi rakyat dalam
proses pengambilan keputusanpun nyaris seperti masa Orde Baru, sementara
sirkulasi elit politik nasional tidak banyak mengalami perubahan perilaku
mendasar.
Pada saat bersamaan muncul rasa khawatir
terhadap berbagai masalah yang cenderung mengguncang sendi-sendi pokok
kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan separatisme sempat mencuat, beberapa
daerah mengajukan tuntutan sangat keras kepada pemerintah pusat dan Jakarta
sendiri sering kali mengabaikan kepentingan pemerintah daerah. Isi-isu sensitif
dengan mengatasnamakan negara kembali meruyak. Hal lain yang cukup
mengguncangkan adalah maraknya korupsi pada era reformasi. Semua mengakumulasi
menjadi kekecewaan. Benarkah langkah kita dalam proses demokratisasi sekarang
ini?
Guncangan-guncangan tersebut kadang
menggoda sejumlah kalangan. Sebagian mengusulkan agar kita kembali ke UUD 1945
asli, sebagian menyarankan agar amandemen UUD 1945 dibongkar ulang, dan masih
banyak gagasan lainnya. Gugatan-gugatan tersebut pasti menggalaukan pikiran.
Seolah kita harus mengulang kembali perdebatan panjang tiada henti yang
berlangsung sejak awal kemerdekaan. Bila mana itu terjadi kita tidak akan
pernah bisa beranjak maju dalam kehidupan politik kebangsaan. Ketimbang
terjebak dalam persoalan yang tak kunjung selesai, cara terbaik adalah
mempelajari secara benar pesan-pesan penting konstitusi untuk kemudian
diproyeksikan menjadi visi membangun kehidupan sosial.
Sifat demokratis ini menyebabkan rakyat
terbiasa untuk mengadakan musyawarah untuk mencapai mufakat, dan dengan
demikian kemungkinan besar gagasan dan keinginan semua lapisan masyarakat, baik
kaum mayoritas maupun minoritas, akan terakomodir dalam kesepakatan tersebut.
Sementara itu, teori kedaulatan hukum juga memiliki beberapa kelebihan. Teori
kedaulatan hukum mengakibatkan kondisi pemerintahan yang serba seragam dan
tingkat kedisiplinan di negara yang sangat tinggi. Kondisi ini menciptakan
keteraturan dalam segala sektor dan membuat negara berkembangan secara cepat
dan teratur. Kebanyakan negara penganut teori kedaulatan hukum adalah
negara-negara yang eskalasi ekonominya
cukup cepat.
Kelemahan teori kedaulatan rakyat
adalah sifat demokratis itu sendiri.
Demokrasi dapat menjadi bumerang bagi suatu negara, karena demokrasi dapat
menyebabkan ketidakstabilan kondisi pemerintahan dan sosial. Ketidakstabilan
kondisi sosial ini disebabkan oleh salah satunya kebebasan berpendapat dan
berkespresi. Kebebasan berpendapat dan berekspresi memunculkan begitu banyak
gagasan yang mungkin saling bertolak belakang, sehingga musyawarah untuk
mencapai mufakat sulit untuk menjadi solusi dalam memecahkan masalah. Di saat
musyawarah-mufakat menemukan jalan buntu, tekanan dan tuntutan dari berbagai
golongan terus menghujani pemerintah. Masyarakat terus menuntut hak-haknya
kepada pemerintah yang merupakan mandataris hak-hak mereka. Namun, karena
setiap golongan berkeras memiliki kebutuhan dan ‘perbedaan’ hak-hak untuk
dipenuhi-bahkan seringkali saling bertolak belakang satu sama lain-penyelesaian
secara demokratis semakin sulit ditempuh. Inilah yang menyebabkan kenapa
kondisi sosial, pemerintahan, kebudayaan, hingga perekonomian negara-negara
yang menganut teori kedaulatan rakyat cenderung tidak stabil. Perjalanan negara
menuju cita-cita yang diimpikan terhambat karena fokus mereka teralih untuk
menampung semua aspirasi masyarakat, padahal sebenarnya beragam aspirasi
dimunculkan masyarakat untuk mendukung perjalanan negara itu mencapai cita-cita
mereka.
Di sisi lain, teori kedauatan hukum yang
tampak menjanjikan dan cukup ideal juga memiliki kelemahan. Salah satu
kelemahan terbesar dari teori ini adalah pemerintahan yang cenderung pro-mayoritas
dan hukum menjadi represif, khususnya bagi kaum minoritas. Teori
kedaulatan hukum cenderung menyeragamkan semua pola pikir masyarakatnya pada
suatu norma tertentu, yaitu norma-norma masyarakat mayoritas negara itu.
Penyeragaman ini mematikan daya kreativitas suatu negara, dan menyebabkan ‘gap’
(perbedaan) yang signifikan antara kaum minoritas dan mayoritas.
Dimanakah posisi Indonesia di antara kemelut dua
teori ini?
Menurut pandangan saya, Indonesia tidak memiliki
garis batas yang jelas, apakah Indonesia menganut teori kedaulatan rakyat atau
teori kedaulatan hukum. Indonesia, menjadikan teori kedaulatan hukum sebagai
‘eksekutor’ (penyelesai masalah) di kala demokrasi menemui kebuntuan dan malah
menyulut masalah. Indonesia, secara tidak sadar, secara de facto menjadikan
teori kedaulatan hukum yang reprsif sebagai mekanisme untuk menyeimbangkan
demokrasi yang diciptakan oleh teori kedaulatan rakyat.
Hal ini, sintesis antara teori
kedaulatan rakyat-teori kedaulatan hukum, terlihat bahkan di UUD 1945. Pasal 1
ayat (2) mengatakan, “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
undang-undang.” Dalam kata lain, konstitusi mengatakan demokrasi adalah hal
utama di Indonesia, namun pelaksanaan demokrasi itu diatur melalui nilai-nilai
tertentu yang terdapat pada peraturan perundang-undangan. Sintesis ini terlihat
lebih jelas lagi di salah satu kalimat di alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Begini bunyi kalimantnya, “…susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat/Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta mewujudkan
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Kita dapat mengartikan kalimat
ini dengan mudah, bahwa kedaulatan rakyat memang menjiwai Republik Indonesia,
namun kedaulatan rakyat yang dianut oleh Indonesia harus sesuai dengan landasan
filosofis dan yuridis negara kita, yaitu Pancasila.
Jadi, sebenarnya, pertanyaan ‘kedaulatan
rakyat atau kedaulatan hukum’ adalah pertanyaan yang sebaiknya dibiarkan
menjadi pertanyaan saja, karena keberadaan dua teori ini tidak dapat dipisahkan
layaknya hitam dan putih. Teori kedaulatan rakyat dan teori kedaulatan hukum
merupakan dua teori yang tidak dapat dipisahkan, karena pasti negara-negara
yang menjalankan salah satu dari teori ini secara murni 100%, pasti akan
mengalami ketimpangan politik, sosial, kebudayaan, bahkan ekonomi. Kedua
teori ini harus dibiarkan hidup berdampingan untuk melengkapi satu sama lain,
agar suatu negara dapat mencapai cita-citanya dengan baik.
Menganut Kedaulatan Rakyat maka diadakan Lembaga
Perwakilan Rakyat
Presiden sebagai pemegang kekuasaan
penyelenggaraan negara Republik Indonesia seperti diamanahkan konstitusi UUD
1945 memiliki tanggung jawab penuh dalam hal kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dibantu oleh seorang
wakil presiden yang kemudian bertindak sebagai lembaga eksekutif negara.
Pembagian kekuasaan di Indonesia menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Pemerintahan Daerah (DPD)
sebagai lembaga legislatif dan menempatkan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah
Konstitusi (MK) sebagai lembaga yudikatif yang dilengkapi Komisi Yudisial (KY)
sebagai lembaga negara pengawasan. Pembagian kekuasaan negara tersebut
bertujuan memenuhi mekanisme check and balances. Mekanisme ini berwujud saling
mengawasi satu sama lain sehingga pertanggungjawaban setiap lembaga negara
kepada rakyat lebih transparan. Berlakunya mekanisme saling mengawasi antar
lembaga negara di Indonesia juga untuk mengurangi penyalahgunaan wewenang (detournement)
yang kiranya sering terjadi dewasa ini.
Ketika presiden dan wakil presiden yang
dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu pemilihan umum dinilai sudah
tidak mampu menjalankan pemerintahan negara karena sebab-sebab yang telah
ditentukan oleh UUD 1945, lembaga legislatif yang bertugas mengawasi jalannya
pemerintahan yang dipimpin presiden dapat memberi mosi tidak percaya atas nama
parlemen yang kemudian diajukan ke lembaga yudikatif dalam hal ini Mahkamah
Konstitusi untuk diputuskan presiden dan/atau wakil presiden pantas untuk
diberhentikan dari jabatannya atau tidak, kemudian sidang paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan gabungan DPR dan DPD untuk
menentukan pemberhentian Presiden dari jabatannya. Tentu saja mekanisme pemberhentian
Presiden di Indonesia yang secara tersirat ditentukan dalam UUD 1945 menyatakan
bahwa ketika Presiden diberhentikan dari jabatannya maka Wakil Presiden juga
diberhentikan karena “satu paket” dipilih dalam pemilihan umum yang demokratis.
Berdasarkan pengalaman ketatanegaraan
Indonesia sepanjang sejarahnya itu, maka dalam amandemen UUD 1945 ditentukan
pertama kalinya dikenal sebuah lembaga baru bernama Mahkamah Konstitusi (MK).
Dinyatakan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen bahwa kekuasan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, kekuasaan
yudikatif berada pada dua lembaga negara yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi secara teoritik dibentuk dengan maksud agar
berfungsi sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam menafsirkan konstitusi
sekaligus juga menyelesaikan sengketa antar lembaga negara dan memberikan
putusan mengenai pemberhentian (impeachment) Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Tujuan dibentuknya Mahkamah Konstitusi
dalam hal impeachment sebenarnya untuk menentukan “kepastian hukum” terhadap
usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden apakah benar telah
memenuhi syarat untuk diberhentikan dari jabatannya. Apabila Wakil Presiden
diberhentikan dari jabatannya, secara etika kenegaraan memiliki konsekuensi
bahwa Presiden juga harus diberhentikan dari jabatannya. Apabila benar Presiden
dan Wakil Presiden telah diberhentikan maka akan berakibat hukum yang kiranya
lebih berbahaya bagi negara yaitu “facum of power” karena untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden harus menyelanggarakan Pemilihan Umum yang
memerlukan waktu yang lama dengan biaya yang tidak sedikit pula ditanggung oleh
negara. Hal ini mengakibatkan perdebatan panjang jika hanya untuk meminta
pertanggungjawaban presiden ataupun wakil presiden serta merta harus
dilaksanakan dengan mekanisme impeachment.
Proses impeachment yang hanya terdapat
aturannya dalam konstitusi itu kiranya lebih bersifat sebagai langkah terakhir
dalam meminta tanggung jawab negara yang diemban oleh pemimpin negara khususnya
presiden dan wakil presiden. Sejarah ketatanegaraan Indonesia menyatakan bahwa
dasar dilakukannya impeachment oleh lembaga-lembaga negara yang
mengakomodasinya cenderung kepada penilaian subjektif sebagai alasan presiden
diberhentikan dari jabatannya. Namun dapat dimaklumi bahwa pada saat terjadi
impeachment itu, konstitusi negara yakni UUD 1945 sebelum amandemen sama sekali
tidak mengatur mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.
Apakah semua tergantung kepada keputusan rakyat,
atau apakah semua tergantung bagaimana bunyi atau teks ketentuan hukumnya dalam pasal-pasalnya?
Kedaulatan Rakyat yang dianut negara
Indonesia memberikan pengertian bahwa pemerintahan dijalankan dari rakyat,
untuk rakyat dan oleh rakyat. Konstitusi itu hanya menekankan kehidupan politik
yang mencerminkan semangat “kedaulatan rakyat”. Institusi-institusi politik
seperti Lembaga Perwakilan Rakyat harus menjadi wadah yang mampu menggodok
kebijakan-kebijakan demi kemaslahatan masyarakat. indikator kemaslahatan yang
dimaksud adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, hadirnya “keadilan politik
dan keadilan sosial”, dan menguatnya solidaritas sosial, kebersamaan atau
kesetiakawanan sebagai suatu bangsa serta negara yang berKetuhanan.
Perspektif yang semata-mata melihat
sistem yang dikemabngkan oleh suatu pemerintahan justru dapat mengaburkan hal
penting esensial, yaitu sejauh diterjemahkan kedalam kebijakan-kebijakan
politik ekonomi maupun sosial. Padahal, penerjemahan pesan konstitusi dalam
agenda nyata dana konkret itulah yang semestinya harus dilakukan. Penerjemahan
menjadi sebuah sistem politik atau sistem demokrasi tertentu adalah relatif. Konstitusi
sendiri tidak memerintahkan demokrasi model apa yang harus dikembangkan.
Contohnya konstitusi 1950 yang menerjemahkan pesan dasar negara menjadi sistem
demokrasi liberal. Dalam konteks jaman, penerjemahan semacam ini adalah sah,
dan amat sangat tidak arif bila kemudian dihakimi sebagai sesuatu yang salah.
Supaya tidak terjebak pada generalisasi
berlebihan, perspektif yang sebaiknya digunakan dalam menilai dan memproyeksi
masa depan politik dan demokrasi Indonesia adalah sejauh mana rezim
mengembangkan nilai-nilai fundamental yang terkandung oleh dasar negara atau
konstitusi. Dengan cara itu menurut saya akan menjadi lebih arif dan adil.
Sejauh mana pesan dasar negara dan konstitusi
diterjemahkan?
Untuk megetahui itu, cara termudah adalah dengan
melihat produk-produk kebijakan-kebijakan negara yang tercermin dalam aturan
perundang-undangan dan segala turunannya serta orientasi kebijakan pemerintah yang
tertuang dalam progam kerjanya. Dengan cara seperti itu kita dapat melakukan
evaluasi kritis sekaligus menyusun proyeksi kedepan.
B. Perbedaan Negara Hukum Indonesia
Dengan Amerika Serikat
Istilah Rule of Law atau Rechtsstaat
yang dalam bahasa Indonesia diartikan bahwa negara yang menjunjung tinggi
supremasi hukum (supremacy of law) dengan pemerintahan yang berdasarkan atas
hukum (government by law). Kekuasan negara dan politik dalam negara hukum
dengan jelas memiliki batasan-batasan untuk menghindari kesewenang-wenangan
dari pihak penguasa. Dengan kata lain, hukum memiliki peranan sangat penting
yang berada di atas kekuasaan negara dan politik. (Munir Fuady, 2009:2) Sebagaimana dalam suatu konstitusi yang merupakan
hukum dasar suatu negara, segala aturan di dalamnya harus mencakup seluruh
aspek kehidupan ketatanegaraan sesuai dengan konsep rule of law dimana asas
legalitas menjadi tolok ukur utama kekuatan hukum konstitusi.
Ketika membahas mengenai ketentuan untuk
meng-impeach presiden dan/atau wakil presiden harus berpijak terlebih dahulu
dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya supaya ditemukan
dahulu dasar atau pijakan hukum yang kuat. Disamping hal-hal yang dimuat dalam
konstitusi negara yang oleh Hans Kelsen diterjemahkan sebagai hukum dasar perlu
juga untuk menelaah Undang-Undang yang mengatur mengenai kekuasaan eksekutif
negara yang dalam pembahasan ini merupakan pemerintahan presidensiil yang
dipimpin oleh presiden dalam konteks tanggung jawab negara.
Dalam hal tanggung jawab negara yang
dalam sistem pemerintahan presidensiil baik yang dianut oleh Republik Indonesia
maupun Amerika Serikat sama-sama menempatkan Presiden sebagai kepala negara
(head of state) sekaligus kepala pemerintahan (head of government) yang diatur
dalam mekanisme checks and balances. Sesuai dengan kewenangannya sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan, presiden berhak untuk melakukan berbagai
tindakan yang menyangkut kepentingan negara baik secara langsung maupun tidak
langsung berpengaruh terhadap fungsi lembaga negara lainnya. Hal tersebut
sesuai dengan sistem hukum yang dianut oleh Indonesia yaitu sistem hukum
prismatik, yang menggabungkan keunggulan-keunggulan dari berbagai sistem hukum
baik Eropa Kontinental maupun Anglo Saxon.
Perbedaan dalam konsep konstitusional maupun praktik
impeachment di Indonesia yang pertama, UUD 1945 disusun oleh
founding fathers (pendiri bangsa) hanya dalam waktu 20 (dua puluh) hari
menjelang deklarasi kemerdekaan Indonesia. Dengan kata lain, konstitusi
Indonesia ini disusun ketika berada dalam kondisi darurat. Karenanya, UUD 1945
merupakan konstitusi terpendek dan yang paling fleksibel di antara konstitusi
negara-negara di dunia meskipun sudah mengalami amandemen hingga empat kali. Di
sisi lain, Konstitusi Amerika Serikat (The Constitution for United States of
America) dikenal sebagai konstitusi yang cukup komplit karena disusun selama
kurang lebih 14 (empat belas) tahun oleh founding fathers. Dalam proses
penyusunan Konstitusi Amerika Serikat juga melibatkan sejumlah pakar, hakim,
ahli politik, tidak hanya para politisi saja.
Perbedaan yang kedua, karena UUD 1945 sebelum amandemen disusun dalam
waktu yang singkat sebagai akibat dari situasi darurat maka terdapat banyak
lubang atau kelemahan dalam mengatur sistem politik Indonesia yang cukup rumit
setelah kemerdekaan. Salah satu kelemahannya adalah tidak diaturnya ketentuan
impeachment secara jelas dan spesifik. Sedangkan di dalam konstitusi Amerika
Serikat diatur secara relatif lebih jelas dan lebih spesifik sehingga mereduksi
perselisihan yang tidak perlu di kemudian hari. Sebagai perbandingan, dalam
proses impeachment Presiden Andrew Johnson, Presiden Richard Nixon, dan Presiden
Bill Clinton di Amerika tidak memperdebatkan lagi masalah apakah forum sidang
istimewa yang dijalankan House of Representative dan Senate itu merupakan forum
politik atau forum hukum sebagaimana terjadi dalam impeachment Presiden
Abdurrahman Wahid di Indonesia. Perdebatan dalam proses impeachment Presiden di
Amerika Serikat sudah langsung pada apakah dakwaan impeachment tersebut
memiliki bukti yang kuat atau tidak untuk memutuskan bahwa Presiden bersalah
atau tidak.
Perbedaan yang ketiga, ketidakjelasan konsep impeachment dalam UUD 1945
telah menimbulkan perdebatan penafsiran yang secara mudah dimanipulasi untuk
kepentingan politik kelompok atau individu tertentu. Sedangkan di Amerika
Serikat, dengan pengaturan yang lebih jelas dan spesifik dalam hal prosedur
impeachment dapat mereduksi kemungkinan para politisi untuk memanipulasi
ketentuan tersebut guna kepentingan mereka sendiri. Perbedaan yang keempat,
dalam praktik impeachment di kedua negara, respon para ahli hukum berbeda.
Dalam kasus impeachment Presiden Bill Clinton, lebih kurang 145 ahli hukum tata
negara seantero Amerika Serikat membuat petisi yang isinya menolak proses
impeachment terhadap Presiden Bill Clinton karena dakwaan dan pembuktiannya
dianggap tidak memenuhi syarat untuk meng-impeach Presiden Bill Clinton.
Sementara pada kasus impeachment Presiden Abdurrahman Wahid, kebanyakan ahli
Hukum Tata Negara justru mendukung impeachment terhadap Presiden Andurrahman
Wahid meskipun belum tentu tuduhan pelanggaran konstitusi telah memenuhi syarat
untuk diproses impeachment. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam konsep
dan praktik kedua negara terdapat perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh
faktor sejarah dan budaya kedua negara yang jelas berbeda. Dengan kata lain,
konstitusi bukanlah sekadar dokumen tertulis, tetapi dalam hal tertentu
merupakan refleksi dari sejarah dan budaya sebuah bangsa itu sendiri. Dan dari
pengalaman bernegara kedua negara tersebut sangat jauh berbeda, sehingga hal
ini juga menentukan baik buruknya sebuah tatanan kehidupan dalam bernegara,
terutama yang menyangkut penyelenggaraan sistem politik kenegaraannya.
C. Makna Negara Hukum Indonesia
Indonesia adalah negara kesatuan
berbentuk republik yang merupakan negara hukum. Pengertian tersebut ialah salah
satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam UUD 1945 sebagai prinsip
negara hukum. Prinsip tersebut tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, yang
menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Secara historis,
negara hukum adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana
dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara
yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum
(Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut
harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan.
Operasionalisasi
dari konsep Negara hukum Indonesia dituang dalam konstitusi Negara yaitu UUD
1945. UUD 1945 merupakan hukum dasar Negara yang menempati hukum Negara tertinggi dalam
tertib hukum. Sumber hukum Negara Indonesia terdiri atas sumber hukum tertulis
dan tidak tertulis. Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagai mana telah
tertulis dalam pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh UUD 1945.
Penuangan
di Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Menurut
Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menyatakan bahwa “ Pancasila merupakan
sumber segala sumber hukum negara”.
Pancasila
sebagai sumber dan kaidah penuntun hukum itu harus dituangkan didalam peraturan
perundang-undangan sebagai sumber hukum formal. Penglihatan diatas ini penting
karena dengan kedudukannya yang seperti itu Pancasila harus dijabarkan di dalam
peraturan perundang-undangan dengan semua kaidah penuntunnya. Hierarkis
peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini sesuai dengan UU No. 12
Tahun 2011 terdiri dari:
1. Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945 Amandemen)
2. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
3. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perppu)
4. PP
(Peraturan Pemerintah)
5. Perpres
(Peraturan Presiden)
6. Peraturan
Daerah (Perda) Provinsi
7. Peraturan
Daerah (Perda) Kab/Kota
Susunan
peraturan diatas bersifat hierarkis. Artinya peraturan yang dibawah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan diatasnya (Lex Superior Derogat Legi
Inferiori).
Dari
sudut hukum Pancasila menjadi cita hukum (rechtside)
yang harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia. oleh sebab
itu setiap hukum di Indonesia harus berdasar pada pancasila dengan memuat
konsistensi isi mulai dari yang paling atas sampai yang paling rendah
hierarkinya. Hukum-hukum di Indonesia harus ditujukan untuk mencapai
tujuan-tujuan negara sebagaimana tertuang didalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam
kedudukannya yang seperti itu dan dalam kaitannya dengan politik membangun
hukum maka Pancasila yang dimaksudkan sebagai dasar pencapaian tujuan negara
tersebut melahirkan kaidah-kaidah penuntun hukum, yaitu:
Pertama,
hukum
yang dibuat di Indonesia haruslah bertujuan membangun dan menjamin integrasi
negara dan bangsa Indonesia baik secara teritori maupun secara ideologi.
Kedua,
hukum
yang dibuat di Indonesia haruslah didasarkan pada demokrasi dan nomokrasi
sekaligus. Demokrasi yang menjadi dasar politik (kerakyatan) mengendaki
pembuatan hukum berdasarkan kesepakatan rakyat atau wakil-wakil yang dipilih
secara sah baik melalui kesepakatan aklamasi maupun berdasar suara terbanyak jika mufakat bulat
tak tercapai, sedangkan nomokrasi sebagai prinsip negara hukum menghendaki agar
hukum-hukum di Indonesia dibuat berdasar substansi hukum yang secara filosofis
sesuai dengan rechtside Pancasila
serta dengan prosedur yang benar.
Ketiga,
hukum
yang dibuat di Indonesia harus ditujukan untuk membangun keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Hukum di Indonesia harus memberi proteksi terhadap
masyarakat yang lemah agar mampu memeprsempit jurang sosial-ekonomi yang timbul
karena eksploitasi oleh yang kuat terhadap yang lemah.
Keempat,
hukum
yang dibuat di Indonesia haruslah didasarkan pada toleransi beragama yang
berkeadaban yakni hukum yang tidak mengistimewakan atau mendiskriminasi
kelompok tertentu berdasar besar kecilnya pemelukan agama.
Indonesia
sebagai negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi negara hukum menjadikan
suatu ketentuan yang berisi peraturan harus dibuat dan disahkan terlebih dahulu
sehingga mengikat ketika ada pelanggaran atas peraturan dalam ketentuan itu.
Dalam konteks republik, seluruh aspek penyelenggaraan pemerintahan negara harus
diatur mengenai tugas pokok maupun fungsi setiap lembaga negara yang terbagi
dalam tiga kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebagaimana
diungkapkan oleh Mahfud MD yang menyatakan bahwa sistem hukum yang diberlakukan
di Indonesia memiliki bentuk yang prismatik yaitu dengan menggabungkan
keunggulan-keunggulan yang terdapat dalam baik dalam sistem hukum eropa
kontinental maupun sistem hukum anglosaxon. Berbagai keunggulan dari
masing-masing sistem hukum yang dipakai oleh Indonesia yang menyatakan dirinya
sebagai negara hukum tentu saja menimbulkan konsekuensi-konsekuensi dalam
beberapa aspek kehidupan hukum dalam negara Republik Indonesia. Dalam hal ini,
Indonesia cenderung mengambil sisi positivisme hukum dimana suatu peraturan
atau Undnag-Undang meskipun dianggap tidak adil bagi masyarakat tetapi harus
ditaati dan ketika suatu peraturan perundang-undangan akan disahkan, terdapat
klausul yang berupa ”seluruh masyarakat Indonesia dianggap mengetahui peraturan
perundang-undangan ini”. Memang klausul seperti itu digunakan demi efisiensi
anggaran dan tenaga yang untuk mensosialisasikan suatu peraturan sangat sulit
dikarenakan kemajemukan bangsa Indonesia ini.
Dalam
suatu negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap
prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum
sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud
dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi
konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan
masyarakat yang mendasarkan pada aturan hukum. Dengan demikian, segala tindakan
pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan
tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih
dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan
administratif harus didasarkan atas aturan atau rules and procedures. (Moh.
Kusnardi dan Bintan Saragih, 2000:56)
Namun
demikian, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan
dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran
serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap
peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan
perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau
hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin
kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan
keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan
absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
Berdasarkan
prinsip negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia.
Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak
pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki
adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan
konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi
karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. Oleh karena itu,
aturan-aturan dasar konstitusional harus menjadi dasar dan dilaksanakan melalui
peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan
masyarakat. Dengan demikian, perubahan UUD 1945 yang bersifat mendasar tentu
saja berpengaruh terhadap sistem dan materi peraturan perundang-undangan yang
telah ada. Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap jenis peraturan
perundangan-undangan serta materi muatannya. Adanya perubahan UUD 1945 tentu
menghendaki adanya perubahan sistem peraturan perundang-undangan, serta
penyesuaian materi muatan berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada
dan berlaku. (Bagir Manan, 2003: 70-72)
Penerapan
gagasan negara hukum di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan
perkembangan kehidupan konstitusional dan politik kita yang selama lebih dari
setengah abad telah tiga kali hidup dalam konstitusi yang berbeda lan sistém
politik yang berbeda pula. Dalam dimensi tatanan (pengkaidahan dalam pasal-pasal
UUD 1945) sebagai akibat kerancuan dalam gagasan dapat dimengerti jika baik
dalam pembukaan maupun dalam batang tubuh UUD 1945, kecuali dalam penjelasan
UUD 1945 yang merumuskannya dalam kalimat bersayap yang penuh keraguan
”Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Rumusan ini dapat ditafsirkan
bahwa Indonesia itu sebenarnya “machtstaat” (yang primer), namun juga
“rechtstaat” (yang sekunder). Hal tersebut herbeda dengan Konstitusi RIS 1949
dan UUDS 1950, yang secara tegas dalam mukadimah UUD dalam Pasal 1 ayat (1)
batang tubuh UUD merumuskan bahwa Indonesia ialah negara hukum yang demokratis.
Penegasan
Indonesia adalah negara hukum yang selama ini diatur dalam Penjelasan UUD 1945,
dalam Perubahan UUD 1945 telah diangkat ke dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3):
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Konsekuensi ketentuan ini adalah bahwa
setiap sikap, kebijakan dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasar
dan sesuai dengan hukum. Sekaligus ketentuan ini untuk mencegah terjadinya
kewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara
maupun penduduk. Dalam negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi
dalam penyelenggaraan negara; dengan kata lain, yang sesungguhnya memimpin
dalam penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip the
rule of law and not of man yang sejalan dengan pengertian nomocratie yaitu
kekuasaan yang dijalankan oleh hukum. Dalam paham negara hukum yang demikian,
harus diadakan jaminan bahwa hukurn itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut
prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu
sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip
negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip
demokrasi atau kedaulatan rakyat. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan,
ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka
(machtstaat). Prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan
prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Karena itu,
perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan
menurut Undang-Undang Dasar yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische
rechstaat). Sebenarnya, ajaran kedaulatan rakyat yang mencerminkan prinsip
demokrasi dalam perkembangan sejarah pemikiran hukurn dan politik memang sering
dipertentangkan dengan ajaran kedaulatan hukum benkaitan dengan prinsip
nomokrasi. Ajaran atau teori kedaulatan hukurn itu sendiri dalam istilah yang
lebih populer dihubungkan dengan doktrin the rule of law dan prinsip rechtstaat
(negara hukum).
Perdebatan
teoritis dan filosofis mengenai mana yang lebih utama dari kedua prinsip ajaran
kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat ini dalam sejarah terus berlangsung
sejak zaman Yunani Kuno. Di zaman modern sekarang ini, orang berusaha untuk
merumuskan jalan tengahnya juga terus terjadi. Misalnya dikatakan bahwa kedua
prinsip itu tak ubahnya merupakan dua sisi dan mata uang yang sama. Keduanya
menyatu dalam konsepsi negara hukum yang demokratis ataupun negara demokrasi
yang berdasar atas hukum. Namun, dalam praktik, tidaklah mudah untuk
mengkompromikan prinsip kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum itu dalam skema
kelembagaan yang benar-benar seimbang. Dalam sistem UUD 1945 sebelum amandemen,
lembaga tertinggi negara justru diwujudkan dalam lembaga MPR yang lebih
berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Akan tetapi setelah dilakukan
perubahan terhadap ketentuan Undang-undang Dasar berkenaan dengan hal itu, maka
lembaga kekuasaan kehakiman yang mencakup dua mahkamah (MA dan MK) itu juga
harus ditempatkan dalam kedudukan yang sederajat dengan MPR yang anggotanya
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Sekarang kedua ajaran kedaulatan
rakyat dan kedaulatan hukum itu dikembangkan secara bersamaan dan berada dalam
hubungan yang sederajat sebagai perwujudan keyakinan kolektif bangsa Indonesia
akan kedaulatan Tuhan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan Indonesia yang
berdasarkan Pancasila.
Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945 telah membawa
perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dálam pelaksanaan kekuasaan
kehakiman. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini semula dimuat dalam Penjelasan
yang berbunyi “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat) tidak berdasar
atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Di samping itu, ada prinsip lain yang
erat dengan prinsip negara hukum yang juga dimuat dalam penjelasan
“Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)”. Prinsip ini mengandung makna ada
pembagian kekuasaan negara dan pembatasan kekuasaan (tidak absolut dengan
kekuasaan tidak terbatas). Dengan ketentuan baru ini, dasar sebagai negara yang
berdasarkan atas hukum mempunyai sifat normatif bukan sekedar asas belaka.
Sejalan dengan ketentuan tersebut salah satu prinsip penting negara hukum
adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari
pegaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara dan kekuasaan kehakiman dalam hal judicial review dijalankan oleh
Mahkamah Konstitusi. Cabang kekuasaan kehakirnan dikembangkan sebagai satu
kesatuan sistem yang berpucuk
pada Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan prinsip
pemisahan kekuasaan, maka fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif
dikembangkan sebagai cabang-cabang kekuasaan yang terpisah satu sama lain. Jika
kekuasaan legislatif berpuncak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
terdiri atas dua kamar, yaitu Dewan Pcrwakilan Rayat (DPR) dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), maka cabang kekuasaan yudisial berpuncak pada kekuasaan kehakiman
yang juga mempunyai dua pintu, yaitu Mahkamah Agung dan pintu Mahkanah
Konstitusi. Pada mulanya memang tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi,
bahkan keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi itu sendiri di dunia memang dapat
dikatakan relatif masih baru. Karena itu, ketika UUD 1945 dirumuskan, gagasan
Mahkamah Konstitusi ini belum muncul. Perdebatan yang muncul ketika merumuskan
UUD 1945 adalah perlu tidaknya UUD 1945 mengakomodir gagasan hak uji materiil
ke dalam kekuasaan kehakiman. Namun, di kalangan negara-negara demokrasi baru,
terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami perubahan dari otoriter
menjadi dernokrasi pada perempatan terakhir abad ke-20, ide pembentukan
Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat populer. Karena itu, setelah Indonesia
memasuki era reformasi dewasa ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi itu
diterima.
Prinsip-prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan
itu dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan negara dan kemungkinan menjadi sumber
penindasan dan tindakan sewenang-wenang para penguasa. Pengaturan dan
pembatasan kekuasaan itulah yang menjadi ciri konstitusionalisme dan sekaligus
tugas utama konstitusi, sehingga kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan
dapat dikecualikan dan diminimalkan. Pergeseran kewenangan sekaligus menjawab
ditinggalkannya teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) yang
identik prinsip supremasi MPR diganti menjadi pemisahan kekuasaan (separation of
power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga
merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem
presidensial. Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial
sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and
balances. Dengan adanya prinsip
checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan
dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat
penyelenggara negara atau pribadi-pribadi yang sedang menduduki jabatan dalam
lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan
sebaik-baiknya. Setelah lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat mengalami
reformasi struktural dengan diterapkannya sistem pemisahan kekuasaan dan
prinsip hubungan checks and balances antara lembaga-lembaga negara, dapat
dikatakan struktur ketatanegaraan kita berpuncak kepada tiga cabang kekuasaan,
yang saling mengontrol dan saling mengimbangi secara sederajat satu sama lain,
yaitu:
–
Presiden dan
Wakil Presiden sebagai satu institusi kepemimpinan eksekutif negara.
–
MPR yang terdiri
atas DPR dan DPD sebagai kekuasaan legislatif negara.
–
Kekuasaan
kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Ketiganya tunduk di bawah pengaturan
konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dengan segala perubahannya. Dengan
demikian, lembaga MPR merupakan puncak dari sistem kedaulatan rakyat, sedangkan
MA dan MK dapat dilihat sebagai puncak pencerminan sistem kedaulatan hukum. Pemisahan
kekuasaan, karena itu dapat dipahami sebagai doktrin konstitusional atau
doktrin pemerintahan yang terbatas yang membagi kekuasaan pemerintahan ke dalam
cabang kekuasaun legislatif, eksekutif dan yudisial. Tugas kekuasaan legislatif
adalah membuat hukum, kekuasaan eksekutif bertugas menjalankan hukum dan
kekuasaan yudisial bertugas menafsirkan hukurn. Terkait erat dan tidak dapat
dipisahkan dengan pengertian ini adalah checks and balances, yang mengatakan
bahwa masing-masing cabang pemerintahan membagi tindakan-tindakannya. Ini
berarti, kekuasaan dan fungsi dari masing-masing cabang adalah terpisah dan
dijalankan oleh orang yang berbeda, tidak ada agen tunggal yang dapat
menjalankan otoritas yang penuh karena masing-masing bergantung satu sama lain.
Kekuasaan yang terbagi semacam inilah yang mencegah absolutisme, sebagaimana
dalam kekuasaan monarki atau diktator ketika semua cabang terpusat pada
otoritas tunggal, atau mencegah korupsi kekuasaan yang timbul karena
kemungkinan kekuasaan tanpa pengawasan. Kontrol atau dorongan publik hampir
tidak mungkin jika kekuasaan negara berada pada satu atau sejumlah kecil orang.
Kontrol dan pengaruh yang efektif atas kekuasaan negara hanya mungkin terjadi
melalui kekuasaan negara sendiri. Jadi, masyarakat yang bebas harus membagi
kekuasan diantara otoritas yang berbeda dan berdiri sendiri. Kebebasan individu
akan terjaga jika warga negara dapat saling mengawasi satu sama lain, dan jika
konsentrasi atau monopoli kekuasaan dapat dicegah.
D.
Kesimpulan
Konstitusi kita dengan sangat jelas
mengatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah suatu negara yang
menganut teori kedaulatan rakyat. Di pasal 1 UUD 1945 ayat (2), ditegaskan lagi
bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undag
dasar.” Maka dengan mudah dapat disimpulkan
secara de jure, negara kita Indonesia adalah negara berkedaulatan
rakyat.
Namun, kita juga harus melihat dari sisi
lain bahwa kedaulatan rakyat yang dijalankan di Indonesia menjadi sah untuk
dijalankan dengan keberadaan hukum yang mengaturnya. Ini terlihat jelas di UUD
1945 pasal 1 ayat (1) dan (2); beserta penerapannya di UUD 1945 pasal 4 ayat
(1), pasal 9, dan juga pasal 27 ayat (1). Hal ini terlihat kontradiktif dengan
apa yang dikatakan oleh UUD 1945 pada pasal/bagian sebelumnya.
Menurut pemahaman saya, kedua teori ini
memiliki hubungan timbal balik yang dapat saling melengkapi satu sama lain. Dengan
kata lain, saya yakin, bahwa teori kedaulatan yang berlaku secara de facto di
Indonesia adalah sintesis antara teori kedaulatan rakyat dan teori kedaulatan
hukum.
Perspektif yang semata-mata melihat
sistem yang dikemabngkan oleh suatu pemerintahan justru dapat mengaburkan hal
penting esensial, yaitu sejauh diterjemahkan kedalam kebijakan-kebijakan
politik ekonomi maupun sosial. Padahal, penerjemahan pesan konstitusi dalam
agenda nyata dana konkret itulah yang semestinya harus dilakukan. Penerjemahan
menjadi sebuah sistem politik atau sistem demokrasi tertentu adalah relatif.
Konstitusi sendiri tidak memerintahkan demokrasi model apa yang harus
dikembangkan. Contohnya konstitusi 1950 yang menerjemahkan pesan dasar negara
menjadi sistem demokrasi liberal. Dalam konteks jaman, penerjemahan semacam ini
adalah sah, dan amat sangat tidak arif bila kemudian dihakimi sebagai sesuatu
yang salah.
Istilah Rule of Law atau Rechtsstaat
yang dalam bahasa Indonesia diartikan bahwa negara yang menjunjung tinggi
supremasi hukum (supremacy of law) dengan pemerintahan yang berdasarkan atas
hukum (government by law). Kekuasan negara dan politik dalam negara hukum
dengan jelas memiliki batasan-batasan untuk menghindari kesewenang-wenangan
dari pihak penguasa. Dengan kata lain, hukum memiliki peranan sangat penting
yang berada di atas kekuasaan negara dan politik. (Munir Fuady, 2009:2) Sebagaimana dalam suatu konstitusi yang merupakan
hukum dasar suatu negara, segala aturan di dalamnya harus mencakup seluruh
aspek kehidupan ketatanegaraan sesuai dengan konsep rule of law dimana asas
legalitas menjadi tolok ukur utama kekuatan hukum konstitusi.
Indonesia adalah negara kesatuan
berbentuk republik yang merupakan negara hukum. Pengertian tersebut ialah salah
satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam UUD 1945 sebagai prinsip
negara hukum. Prinsip tersebut tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, yang
menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Secara historis,
negara hukum adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana
dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara
yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum
(Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut
harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar