Guest book

script cbox kamu
Mau buat buku tamu ini ?
Klik di sini
Sumber : http://ramadhanlmzero.blogspot.com/2012/12/cara-membuat-buku-tamu-keren-di-blog.html#ixzz47H4OJJnc

Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Site Categories

About

Rabu, 27 April 2016


Artikel
PROSES PERUBAHAN KELEMBAGAAN NEGARA
(GAGASAN PERUBAHAN AMANDEMEN KE V)
DITINJAU DARI PERSPEKTIF KEDAULATAN RAKYAT & DEMOKRASI, DAN NEGARA KESEJAHTERAAN
Oleh: Dewi Wulandari
NIM K6413020
Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada hakikatnya sebuah konstitusi di dalam  suatu negara memuat mengenai segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Udang-Undang Dasar, dan sebagainya), dengan kata lain segala praktik penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara (perilaku seseorang maupun penguasa) tidak boleh menyimpang dari konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi tertulis negara Indonesia mempunyai fungsi dan peranan, sejarah membuktikan pergantian UUD selama empat kurun waktu berlakunya UUD dengan ketiga macam UUD (UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950) setidak-tidaknya telah membawa perubahan struktural dan mekanisme penyelenggaraan pemerintah negara, dan kemungkinan yang lain adalah perubahan dasar filsafat dan tujuan negara. Tetapi dalam praktik penyelenggaraan ketatanegaraan kita, pergantian UUD hanya terbatas pada perubahan struktur, mekanisme dan kebijakannya saja. Jadi dasar filsafat negara kita tetap Pancasila dan tujuan pokoknya juga tetap sesuai yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
UUD 1945 menjamin perlindungan atas hak-hak asasi manusia, menjamin peradilan yang bebas dan menganut asas kedaulatan rakyat. Namun dalam kenyataannya, prinsip-prinsip tersebut belum dielaborasikan secara proporsional dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia. Contoh mengenai peradilan yang bebas di Indonesia, penerapan asas equality before the law tidak berlaku merata bagi semua rakyat Indonesia sehingga peradilan di Indonesia masih sangat rentan terjadi kasus penyuapan terhadap para penegak hukum sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya merupakan angan-angan bagi rakyat miskin yang ingin mendapatkan keadilan.
            Atas dasar argumentasi saya diatas, maka saya sangat setuju terhadap gagasan tentang dilakukannya perubahan amandemen ke V karena dalam pelaksanaan konstitusinya jauh dari paham konstitusi itu sendiri. Alasan yang lain, menurut sejarah terbentuknya UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri negara sebagai konstitusi yang bersifat sementara dan juga secara yuridis, UUD 1945 telah mengatur sendiri prinsip dan mekanisme perubahan konstitusi (Pasal 37).  
            Gagasan untuk melakukan Perubahan Kelima UUD 1945 dimotori oleh 128 anggota DPD dan didukung oleh Anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR, anggota Fraksi PKS, dan Fraksi PBR. Kelompok ini mengusulkan perubahan Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3). Alasan yang diajukan, yaitu untuk mengefektifkan posisi DPD dalam memperjuangkan kepentingan daerah, serta dalam rangka meningkatkan peran DPD dalam sistem ketatanegaraan RI, khususnya dalam mengembangkan sistem checks and balances antarlembaga negara.
            Tetapi gagasan tersebut ditolak oleh kekuatan politik mayoritas di DPR, Partai Golkar, PDIP, PPP dan PAN. Menurut Waketum PPP, perubahan konstitusi hanya untuk meningkatkan peran DPD yang dirasa terlalu tergesa-gesa dan juga waktunya tidak tepat. Demikian pula Sekjen PDIP, perubahan konstitusi hanya menjadi keinginan sekelompok elite politik.
            Diluar kedua gagasan tersebut, ada yang mengusulkan restorasi perubahan UUD 1945 untuk dikembalikan lagi pada naskah asli, sementara hasil perubahannya ditempatkan pada bagian tambahan (adendum). Gagasan ini dimunculkan oleh ahli hukum Prof. Dimyati Hartono dalam bukunya Restorasi Amandemen UUD 1945 dengan tahapan pertama yaitu mengembalikan dulu ke naskan asli UUD 1945 kemudian menganalisis hasil perubahan konstitusi mengenai apa yang salah dan mana yang bisa diteruskan, kemudian menyusun hasilnya dalam tata naskah restorasi perubahan UUD 1945 yang lengkap. Dalam naskah itu dimuat naskah Proklamasi 17 Agustus 1945, Pembukaan UUD 1945,  Batang Tubuh, Penjelasan, dan hasil analisis terhadap hasil perubahan yang diformat dalam tambahan. [1]
            Pihak lain boleh disebut Komite Nasional Penyelamat Pancasila dan UUD 1945. Didalam komisi tersebut terdapat nama KH. Abdurrahman (alm), Soetarjdo Soerjogoeritno (alm), Amin Aryoso, Ridwan Saidi, dan Tyasno Sudarto yang memimpin Gerakan Revolusi Nurani. Mereka menilai diubahnya UUD 1945 menjadi UUD 2002 adalah bentuk intervensi asing yang menyebabkan kehidupan kenegaraan mengarahkan pada individualisme, materialisme, liberalisme sehingga menjauh dari masyarakat yang adil dan makmur. Mereka menuntut supaya kembali saja ke naskah UUD 1945 asli (sebelum perubahan bahkan kalau perlu dengan Dekrit. Menurut Buyung Nasution sikap yang menuntut kembali ke UUD 1945 yang asli atau yang murni dan konsekuen, ibarat memutar jarum jam sejarah kebelakang, ke Zaman Demokrasi Terpimpin (Orde Lama) atau Demokrasi Pancasila (Orde Baru) yang anti demokrasi (Kompas, 10 Juli 2006). Pendapat senada dikemukakan Koalisi Konstitusi Baru. Keinginan warga yang secara sistematis berkampanye untuk kembali ke UUD 1945 sebelum perubahan harus dilawan. Keinginan kembali ke UUD 1945 sebelum perubahan hanya akan membawa ke zaman dengan sistem pemerintahan otoritarian-birokratik lagi. [2]
            Usulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR mendukung gagasan untuk membentuk panitia/komisi nasional yang mempersiapkan Perubahan V UUD 1945. Secara normatif, kewenangan untuk melakukan perubahan UUD 1945 berada di tangan MPR, tetapi tidak menutup kemungkinan setiap warga negara yang memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masa depan bangsa ini juga mempunyai hak untuk mengusulkan perubahan konstitusi dan selanjutnya bisa dikaji lebih mendalam lagi oleh MPR semua usulan-usulan tersebut.
            Hasil perubahan yang dilakukan oleh MPR tahun 1999-2002 merupakan kontribusi yang positif terhadap upaya pembentukan dan perbaikan sistem ketatanegaraan Indonesia yang lebih baik lagi kedepan. Dengan perubahan pasal-pasal, MPR telah berhasil meletakkan sendi-sendi checks and balances termasuk membatasi kekuasaan eksekutif, serta MPR juga telah berhasil mengubah dengan tegas tentang darimana kedaulatan diperoleh. Realisasi demokrasi perwakilan ditunjukkan oleh MPR yang terdiri dari DPR dan DPD. Inovasi politik dan hukum melalui perubahan UUD 1945 oleh MPR era reformasi juga berkaitan erat dengan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden (Kedaulatan berada ditangan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat).
            Dalam peta politik menurut Denny Indrayana, reformasi konstitusi yang tidak dilepaskan dari konflik politik, dengan menyerahkan semata-mata kepada lembaga perwakilan seperti MPR, akan cenderung terkontaminasi dengan virus kompromi politik jangka pendek yang biasanya menjadi solusi pragmatis dari konflik politik transisi. Oleh karena itu, lebih baik bila proses reformasi konstitusi diserahkan kepada lembaga yang profesional yang independen dan nonpartisan sebagaimana Komisi Konstitusi. [3]
            Kritik tajam juga dilontarkan oleh Mukhtie Fadjar [4] dalam melakukan perubahan-perubahan terhadap UUD 1945 tersebut sejak semula MPR memang tidak memiliki visi dan misi yang jelas disepakati dan dirumuskan secara tegas, atau dengan kata lain tidak memiliki paradigma perubahan yang diinginkan dengan perubahan konstitusi, sehingga menuai banyak kritik baik dalam proses maupun dalam substansi dan bahkan secara ekstrim ada dua kubu pendapat yang berhadapan secara diametral yaitu yang menilai MPR telah “kebablasan dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945 sehingga harus dihentikan, dan ada yang lain yang menganggap MPR tidak mampu atau kacau balau dalam melakukan perubahan sehingga diharapkan menyerahkan tugas perubahan atau bahkan penyusunan konstitusi baru kepada sebuah Komisi Konstitusi yang independen, sedangkan MPR hanya menetapkannya saja.
            Komisi Konstitusi yang mengkaji secara komprehensif Perubahan UUD 1945 ke V lebih mengarah pada bagaimana mengimplementasikan Perubahan UUD 1945 antara lain bentuk gagasan-gagasan ilmiah mengenai agenda pembentukan UU sebagai perangkat hukum pelaksana agar dapat operasional dan memberi manfaat dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan negara.
            Partisipasi aktif warga negara Indonesia dalam menentukan masa depan bangsa yaitu setiap warga negara mempunyai hak untuk memilih dan dipilih wakil rakyat sesuai dengan Ketentuan UUD 1945 Amandemen menimbulkan permasalahan baru yang muncul. Dalam memilih wakil rakyat untuk duduk di kursi jabatan DPR serta DPD, yang keduanya merupakan anggota dari MPR yang kewenangannya menetapkan dan mengubah UUD sebagai konstitusi di negara Indonesia tidak lagi ditentukan oleh jenjang pendidikan wakil rakyat yang terpilih dalam pemilihan umum yang sudah berlangsung waktu lalu. Bagaimana tidak, pada kenyataannya wakil rakyat yang terpilih dalam pemilu legislatif bulan April 2014 lalu ada sosok yang terpilih bukan dari kalangan dengan tingkat pendidikan yang tinggi tetapi kalangan dari pendidikan yang rendah seperti tukang ojek, pembantu rumah tangga sampai tukang badut menang dalam pemilu legislatif kemarin dan berhasil meraih kursi di Senayan. Potret demokrasi di Indonesia sekarang ini sudah kebablasen. Sehingga, nantinya pada saat digelar rapat paripurna di gedung MPR pemandangan kursi yang kosong karena absennya para wakil rakyat untuk memperjuangkan nasib rakyat akan menjadi hal yang akan sering terjadi. Hal tersebut dapat dengan mudah diprediksi karena wakil rakyat yang terpilih tidak mempunyai kemampuan dan kapasitas yang cukup sebagai wakil rakyat. Dengan kata lain apabila pemerintah tidak dapat mengemban amanat kedaulatan rakyat maka otomatis maupun jika dipandang dalam perspektif tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung pemerintah telah mengesampingkan dan/atau mengabaikan hak-hak asasi manusia dari masyarakat yang dipimpinnya dan dilain pihak masyarakat sebagai pemberi mandat. Untuk itu, gagasan melakukan perubahan amandemen ke V thd UUD 1945 merupakan langkah yang sangat efektif untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan negara Indonesia. Karena pada dasarnya konstitusi yang benar-benar mampu membawa negara ini menjadi lebih baik lagi adalah konstitusi yang menjadi barometer kehidupan berbangsa dan bernegara yang sarat dengan bukti sejarah, perjuangan para pendahulu sekaligus ide-ide dasar yang digariskan oleh the founding fathers serta dapat memberikan arahan kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan suatu negara yang mereka pimpin. Sehingga faktor utama yang membuat sebuah konstitusi itu bermakna adalah orang atau lembaga yang tidak sembarangan dalam membuatnya.
            Sesuai dengan UUD 1945 Amandemen Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “ Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang” setiap orang warga negara Indonesia berhak ikut dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah. Gagasan perubahan Amandemen ke V dapat didasarkan oleh gagasan rakyat Indonesia yang tidak puas atas hasil amandemen UUD 1945. Refleksi ketidakpuasan masyarakat ini tercermin dari beberapa kelemahan hasil amandemen. Alasan kedua, karena terjadi kemandekan konstitusi sebagai akibat dari banyaknya persoalan ketatanegaraan yang belum ada aturannya dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Misalnya tentang hak angket DPR yang belum diatur dalam UUD 1945. Alasan ketiga, benturan kewenangan antarlembaga negara tidak terelakkan, sebagai contoh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian dan Kejaksaan karena belum jelas desain konstitusi di negara kita dalam mengatur ketatatanegaraan kita.
Semua ide dan gagasan diatas pada prinsipnya baik, yang paling penting proses pembentukan kelembagaan dan rekruitmen anggotanya dilakukan secara demokratis, transparan, dicari anggota nonpartisan dan profesional sesuai yang dibutuhkan bagi sebuah kerja perubahan konstitusi. Proses kerja dan hasil kerjanya harus disosialisasikan kepada rakyat, sehingga rakyat turut berpartisipasi.
Munculnya Konsep Negara Kesejahteraan tidak dapat dipiahkan dengan gagasan modern mengenai kedaulatan rakyat. Sejak awal abad ke-20 berkembang pemikiran bahwa rakyat tidak hanya berkedaulatan di bidang politik tetapi juga di  bidang ekonomi. Secara konseptual pembahasan mengenai cakupan pengertian gagasan kedaulatan rakyat dalam bidang politik dan ekonomi, memang telah berkembang di kalangan ahli hukum tata negara. Secara sederhana negara kesejahteraan (welfare state) adalah negara yang menganut sistem ketatanegaraan yang menitik beratkan pada mementingkan kesejahteraan warganegaranya. Tujuan dari negara kesejahteraan bukan untuk menghilangkan perbedaan dalam ekonomi masyarakat, tetapi memperkecil kesenjangan ekonomi dan semaksimal mungkin menghilangkan kemiskinan dalam masyarakat. Ini artinya, negara kesejahteraan menganut sistem demokrasi didalam pengelolaan negaranya. dalam konsep negara kesejahteraan mengutamakan untuk mengurusi secara langsung kesejahteraan rakyatnya, maka akibatnya, negara kesejahteraan menjadi negara yang memasuki sangat banyak segi kehidupan rakyat, mulai dari soal pendidikan, jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan sebagainya serta timbul masalah pengendalian dan kontrol oleh rakyat.
Bagi lndonesia, gagasan kedaulatan yang kemudian menjadi muatan UUD 1945 memang diliputi oleh pemikiran khas lndonesia. Berbagai pemikiran maupun pengalaman praktik yang pernah tumbuh dalam praktik di berbagai masyarakat Nusantara dikembangkan menjadi pilihan konseptual dalam rangka kebutuhan akan konstitusi lndonesia modern yang berbentuk negara kesejahteraan. Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social policy) yang di banyak negara mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan sosial (social protection) yang mencakup jaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets). konsep negara kesejahteraan, yaitu suatu konsep yang mendudukan peran pemerintah secara terukur dan berkomitmen terhadap persamaan sosial dan keadilan dengan mengacu pada tiga prinsip berikut ini:
1.      Perbaikan dan pencegahan terhadap efek-efek yang merugikan fungsi ekonomi pasar, khususnya yang merugikan bagi kesejahteraan pihak yang secara ekonomi dan sosial dianggap kurang mampu;
2.      Distribusi kekayaan dan kesempatan bagi semuanya secara adil dan merata; dan
3.      Promosi terhadap kesejahteraan sosial dan sistem jaminan bagi yang kurang agar mampu memperoleh manfaat yang lebih besar.
Dengan beroperasi didasarkan pada prinsip-prinsip tersebut di atas,  konsep negara kesejahteraan memiliki enam tujuan dasar, yakni: pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja yang cukup, stabilitas harga, pembangunan dan ekspansi sistem jaminan sosial serta peningkatan kondisi kerja, distribusi modal dan kesejahteraan yang seluas mungkin, dan promosi terhadap kepentingan dan kelompok sosial dan ekonomi yang berbeda-beda.
Tetapi dalam praktek penyelenggaraan kehidupan yang menjadikan UUD 1945 Amandemen sebagai konstitusi tertulis belum sepenuhnya memberikan kehidupan yang layak kepada rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, tingkah laku para pejabat politik, penguasa dan para penegak hukum yang masih banyak tersangkut kasus pidana yang sangat kontras sekali pada saat mereka mengobralkan janjinya didepan rakyat banyak. UUD 1945 dianggap kurang mumpuni dalam mensejahterakan negara Indonesia, kesenjangan sosial yang semakin nampak dengan jelas di negeri ini. Sudah selayaknya jika gagasan terhadap perubahan amandemen ke V segera dilakukan demi tercipta negara Indonesia yang benar-benar menjiwai Pancasila.

           


[1] Kompas, 6 Maret 2007
[2][2] Lihat “Upaya Kembali ke Konstitusi Lama harus Dilawan. Kompas, 6 Februari 2007 dalam Teori dan Hukum Konstitusi. Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda. Rajawali Pers.2013. hlm, 147.
[3] Bambang Widjojanto, “Komisi Konstitusi, Instrumen untuk Mengatasi Krisis Konstitusional”, dalam Bambang Widjojanto dkk. (Editor), Konstitusi Baru Melalui Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan, 2002, hlm. 178.
[4] A. Mukhtie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-TRANS, Malang. 2003, hlm.59-60.

0 komentar: