Guest book
Popular Posts
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian ANALISIS KURIKULUM 2006 DAN KURIKULUM 2013 MAPEL PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Oleh: Dewi Wulandari NI...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian PERBANDINGAN KEMAMPUAN SISTEM POLITIK DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU DENGAN DEMOKRASI PANCASILA ERA ...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian MODEL PEMBELAJARAN PKN Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan Pancasila dan Ke...
-
Artikel Ilmiah TAMAN BALEKAMBANG SEBAGAI PEMBENTUK ESTETIKA KOTA SOLO Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidik...
-
E PISTIMOLOGI M ULTIKULTURALISME Mahfud Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : ...
-
Resensi MULTIKULTURALISME DAN KEWARGANEGARAAN DI MALAYSIA, SINGAPURA DAN INDONESIA Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Stu...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian PERENCANAAN PEMBELAJARAN PKN Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan Pancasil...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian PENDEKATAN DALAM PENDIDIKAN ILMU SOSIAL Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian KOMUNIKASI POLITIK Oleh: Dewi Wulandari NIM K6413020 Progam Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarg...
-
Artikel Ilmiah Non-Penelitian ANALISIS SISTEM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DITINJAU DARI SISI KEDAULATAN RAKYAT & DEMOKRASI Oleh...
Blogger templates
Blogger news
Blogroll
About
Diberdayakan oleh Blogger.
Site Categories
Mengenai Saya
About
Rabu, 27 April 2016
Artikel Ilmiah
Non-Penelitian
ANALISIS REKOMENDASI
KOMITE HAM DALAM FORUM UNIVERSAL PERIODIC
REVIEW TERHADAP KASUS KEKERASAN DAN PEMBUNUHAN DILUAR HUKUM OLEH APARAT
KEMANAN DALAM MENGHADAPI AKSI-AKSI PROTES DAN PEMBANGKANGAN POLITIK DI PAPUA
Oleh
Dewi Wulandari
Abstrak
Sidang
forum Universal Periodic Review (UPR) Komite HAM PBB di Jenewa, Swiss pada
Juli 3013 mengeluarkan tak kurang dari 24 butir rekomendasi yang harus
diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. Salah satu sikap dan rekomendasi Komite
HAM yang penting yaitu mendesak agar pemerintah mengambil langkah konkret untuk
mencegah dan mengusut penggunaan kekerasan dan pembunuhan diluar hukum oleh
aparat keamanan. Hal ini terkait dengan meningkatnya kasus penggunaan kekerasan
dan pembunuhan diluar hukum untuk menghadapi protes dan pembangkangan politik
seperti yang terjadi di Papua. Aksi-aksi protes tersebut akibat dari konflik
atau sengketa vertikal antara masyarakat adat di Papua melawan pemerintah
Indonesia baik sebagai pelaku/penjamin hak dan atau kepentingan
perusahaan/proyek-proyek bermodal besar. Masyarakat adat di Papua biasanya
mengalami tindakan-tindakan negatif dari aparat keamanan pemerintah. Komite HAM PBB menunjukkan bahwa pelanggaran
HAM yang sedang berlangsung di Papua terus menjadi perhatian utama bagi
masyarakat internasional.
A.
PENDAHULUAN
Pada tanggal 10 dan 11 Maret 2013 lalu
di Jenewa Swiss, Komite HAM PBB meninjau pelaksanaan Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik, salah satu hak asasi manusia paling penting yang
sudah diratifikasi Indonesia dan pemerintah berkewajiban untuk menjalankan
jaminan perlindungan hak-hak itu di Indonesia.
Komite HAM menyoroti kekerasan yang
sedang berlangsung di Papua dan menyesalkan penggunaan kekuatan berlebihan oleh
pasukan keamanan Indonesia. Karena tidak ada mekanisme yang efektif yang tersedia
pertanggungjawaban hukum anggota militer, Komite melihat pengulangan kejadian
seperti kekerasan hingga Indonesia mengambil langkah-langkah untuk
mengembangkan prosedur pengaduan yang efektif.
Masyarakat adat di Papua biasanya
mengalami tindakan-tindakan negatif dari aparat keamanan pemerintah. Bentuknya
dapat berupa tindakan represif. Tindakan represif adalah tindak-tindak kekerasan
yang dilakukan seperti penganiayaan, pembunuhan, dan teror-teror mental.
Tindakan tersebut dilakukan untuk meredam aksi-aksi masyarakat adat
mempertahankan hak-hak tanurialnya. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh
oknum aparat pemerintah sipil dan militer. Dampaknya adalah trauma-trauma
psikologis dan penurunan populasi masyarakat adat yang mengarah pada pemusnahan
etnis. Komite HAM PBB menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang sedang berlangsung
di Papua terus menjadi perhatian utama bagi masyarakat internasional.
B.
Faktor Pendorong Terjadinya Kasus Kekerasan Terhadap
Masyarakat Adat Papua
Ada beberapa faktor yang berpengaruh
atau yang mendorong terjadinya kasus kekerasan terhadap masyarakat adat di
wilayah Papua, diantaranya Pertama, Faktor
sosial-budaya yakni adanya solidaritas mekanik yang kuat dan dendam mendalam
serta sterotype negatif ditengah
kelompok masyarakat; Kedua, Faktor
ekonomi seperti persaingan akses terhadap sumber daya dan ketimpangan antara
kelompok masyarakat; Ketiga, Faktor
pola penanganan dimana dibeberapa daerah seperti di Papua masih memakai pola
lama, yaitu kekerasan dan pembunuhan di luar hukum dalam menghadapi aksi-aksi
protes dan pembangkangan politik.
C.
Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Masyarakat Adat Papua
Yang Dilakukan Oleh Aparat Keamanan
Beberapa kasus yang tercatat antara
tahun 2011 sampai dengan 2013 menunjukkan tingginya tingkat kekerasan yang mana
pelakunya umumnya aparat keamanan, termasuk aparat kepolisian dan anggota
militer– terbebas dari jerat hukum, antara lain;
1.
Konggres Rakyat
Papua III di bulan Oktober 2011 dibubarkan secara paksa, beberapa warga tewas
dibunuh, bahkan aktivis politik perdamaian dipenjarakan.
2.
Pada tahun 2012,
tindak kekerasan semakin meningkat dan ditandai dengan kasus penembakan oleh
orang tidak dikenal (OTD). Kasus pembunuhan juga memakan korban pemimpin aktivis
politik, Mako Tabuni, yang tewas dibunuh oleh aparat keamanan. Selain itu,
banyak pula aktivis politik lainnya yang ditahan atau dibunuh. Hal ini,
bersamaan dengan pelarangan aksi demonstrasi di semester kedua tahun 2012,
memperburuk kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat di tanah Papua
3.
Masyarakat adat
Papua mengecam pelarangan penyelenggaraan demonstrasi memperingati 50 tahun
penyerahan administrasi West New Guinea (sekarang Papua) dari UNTEA ke
Indonesia, pada 1 Mei 2013 lalu oleh Polda Papua dan Gubernur Papua. Pelarangan
ini telah melanggar hak kebebasan berkumpul dan berekspresi seperti yang
dilindungi oleh UUD 1945 dan UU 12/2005 tentang Konvenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik, khususnya pasal 19 (hak atas kebebasan berpendapat)
dan pasal 21 (hak berkumpul). Pelarangan ini juga menunjukkan sikap reaksioner,
paranoid, sekaligus diskriminatif pemerintah RI yang membatasi hak sipil dan
politik rakyat Papua dan memonopoli intepretasi sejarah sesuai kepentingan
kekuasaan Negara, bukan kepentingan seluruh rakyat Papua.
4.
Pada tanggal 30
April, di Distrik Aimas Kabupaten Sorong, rencana kegiatan perayaan 1 Mei di
depan rumah salah seorang warga dengan berdoa dihentikan dengan tembakan, lebih
kurang dari jarak 20M, oleh kendaraan Avansa dan L200. Tindakan inilah yang memicu
kemarahan warga, hingga mendatatangi kendaraan tersebut. Di saat itu pula
tembakan memberondong warga selama 20 menit yang menyebabkan kematian 2 warga
dan 8 lainnya ditangkap. Pada 1 Mei, di Jayapura, aksi damai dan rencana doa di
Makam Theys digagalkan aparat, sempat terjadi upaya penangkapan, namun berhasil
digagalkan. Di Biak, satu orang dikabarkan ditembak karena mengibarkan bendera
bintang kejora di depan kantor Diklat Kab. Biak Numfor. Di Timika setidaknya 15
orang ditangkap karena aksi pengibaran bendera.
5.
Korban dari pelarangan aksi damai 1 Mei yang bermuara
pada tindakan represi dan teror tersebut adalah:
–
2 orang meninggal di Sorong dan 1 orang ditembak di
Biak
–
Korban luka yang dirawat di rumah sakit setidaknya
sebanyak 5 orang;
–
Tercatat 23 orang ditahan di Sorong, Jayapura dan
Timika;
–
Pembubaran paksa, represi, dan ancaman aparat melalui
tembakan senjata terhadap aksi damai terjadi di hampir seluruh tempat dimana
aksi pengibaran bendera maupun doa bersama oleh warga yang memperingati hari 1 Mei
dilakukan (di Sorong, Manokwari, Jayapura, Biak, Fakfak dan Timika). Sementara
aksi dan konvoi yang dilakukan para pendukung integrasi tidak mendapatkan
represi.
Kasus kekerasan yang dialami oleh
masyarakat adat di Papua yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia menunjukkan
masyarakat adat di Papua ini merupakan golongan
yang “rentan” dalam arti selalu kalah dan tertindas. Mereka mengalami tindakan
kekerasan dari aparat pemerintah yang menimbulkan trauma-trauma psikologis.Hal ini
menunjukkan kelemahan kendali negara terhadap aparatnya dilapangan. Terlihat
aparat keamanan belum punya kompetensi dan pemahaman yang baik terhadap HAM. Aparat
keamanan tercatat menggunakan tindak kekerasan secara semena-mena dan
berlebihan terhadap perempuan. Karena ketakutan akan aksi balas dendam dan
minimnya tindak lanjut kepolisian dalam menginvestigasi kasus tindak kekerasan
terhadap perempuan, banyak kasus yang akhirnya tidak dilaporkan ke lembaga
penegak hukum sehingga pelaku terus menikmati impunitas.
Cap yang diberikan kepada sebagai
separatis atau teroris digunakan sebagai pembenaran tindak kekerasan.
Pengadilan Militer dan mekanisme PROPAM di kepolisian dirasa kurang independen
dan tidak memiliki kebijakan untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia. Ketika
viktimisasi ini berlanjut, ketidaktersediaan bantuan hukum yang efektif untuk
masyarakat Papua memperdalam konflik sosial dan politik yang ada.
Alih-alih menerapkan pendekatan sipil
dalam sektor keadilan, pendekatan keamanan tetap dominan di Papua. Badan
Intelijen Nasional (BIN) menggunakan kebijakan pengintaian yang tidak sesuai
dan diskriminatif terhadap masyarakat Papua dan turut berperan serta dalam menciptakan
iklim ketakutan.
D.
Beberapa Rekomendasi Untuk Pemerintah Republik
Indonesia Terkait Dengan Kasus Kekerasan Oleh Aparat Keamanan Dan Kebebasan
Berkespresi.
a. Guna
mengakhiri praktik impunitas dan tindak kekerasan oleh aparat keamanan,
Pemerintah Republik Indonesia seharusnya;
–
Menjamin bahwa proses penuntutan
terhadap segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia dilaksanakan melalui
pengadilan hak asasi manusia dan pengadilan ad-hoc hak asasi manusia, termasuk
terhadap kasus Wasior di tahun 2001/2002 dan kasus Wamena di tahun 2003;
–
Mengurangi jumlah anggota militer yang
diterjunkan ke Papua dan menjamin bahwa anggota militer Indonesia mematuhi
kewajiban yang dicantumkan dalam Hukum dan Pedoman Hak Asasi Manusia
Internasional;
–
Mengambil langkah yang tepat dalam
memberantas korupsi dalam sistem peradilan dan menjamin independensi pengadilan
dari kendali politik dan campur tangan aparatur pemerintah; Menjamin pengawasan
militer oleh sipil dengan memperbarui Undang undang Pengadilan Militer kemudian
menjamin bahwa pelaku pelanggaran hak asasi manusia dari kalangan militer agar
diadili di pengadilan sipil;
–
Mengembangkan mekanisme pengaduan yang
mandiri dan efektif bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang pelakunya
adalah aparat keamanan, yang mana dapat menjamin tindak lanjut, investigasi
terhadap pelaku secara independen, dan proses hukum terhadap pelaku serta
menyediakan ganti rugi terhadap korban;
–
Mengeluarkan kebijakan yang dapat
mengakhiri stigmatisasi sewenang-wenang yang diberikan terhadap masyarakat
Papua sebagai separatis atau teroris;
–
Menghentikan kebijakan dan praktik
pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil yang dilakukan aparat
keamanan, terutama yang digunakan untuk initimidasi dan aksi balas dendam.
Kebijakan dan praktik yang ada hanya memperdalam tekanan konflik dan berujung
pada peningkatan tindak kekerasan. Aparat kemanan yang melakukan praktik
tersebut harus menghadapi sanksi yang berat, sejalan dengan standar
internasional.
–
Menjamin bahwa aparat kepolisian
melakukan investigasi yang profesional dan efektif terhadap semua kasus
kekerasan, tanpa memandang status kelembagaan dari tersangka, etnis korban,
atau mekanisme pengaduan non-peradilan seperti PROPAM yang mungkin berjalan
sejajar;
–
Menjamin bahwa Polri menerapkan
pengawasan yang efektif terhadap Polda di Papua dan menjamin bahwa warga Papua
dapat menikmati standar penegakan hukum yang tinggi. Untuk hal ini,
ketidakpatuhan dan tindak korupsi dalam kepolisian harus diselesaikan dengan
sanksi serius dan prosedur kriminal sejauh berlaku
b. Guna
menjamin keamanan kebebasan berekspresi, Pemerintah Indonesia seharusnya;
–
Membebaskan semua tahanan politik dan
semua orang yang telah ditahan atau dijatuhi hukuman karena memngekspresikan
opini politik secara damai;
–
Mencabut Keputusan Presiden No. 77 tahun
2007 yang melarang penggunaan bendera Bintang Kejora serta menghargai bendera
tersebut sebagai simbol identitas adat dan kedaerahan sebagaimana disebutkan
dalam Undang-undang Otonomi Khusus;
–
Menghentikan penerapan Pasal 106 dan 110
KUHP tentang Tindakan Makar, dan juga Pasal 160 tentang Tindakan Penghasutan,
sampai adanya tinjauan terhadap pasal-pasal tersebut;
–
Mengakui kebebasan berekspresi dan
beropini, berkumpul, serta penentuan diri orang-orang, sebagai hak fundamental
berdasarkan Deklarasi PBB atas Hak Masyarakat Adat dan Kovenan Internasional Hak-hak
Sipil dan Politik (ICCPR);
–
Menyediakan pelatihan yang memadai bagi
orangorang yang bekerja di badan-badan pemerintahan dan administrasi negara
guna menumbuhkan pemahaman, penghargaan, dan perlindungan hak-hak kebebasan
berekpresi dan berpendapat, berkumpul secara damai, dan berorganisasi, saat
menjalankan tugas mereka.
E.
Sikap Indonesia Terkait Dengan Rekomendasi Universal Periodic Review (UPR)
Universal
Periodic Review (UPR) adalah
mekanisme Dewan Hak Asasi Manusia yang meninjau penerapan kewajiban hukum HAM
internasional dan situasi hak asasi manusia di negara anggota setiap empat
setengah tahun sekali. Di akhir tinjauan, negara yang bersangkutan akan mendapat
sejumlah rekomendasi yang dapat diterima maupun ditolak, dengan harapan bahwa
negara tersebut akan mengambil langkah yang terpercaya dalam penerapannya.
Komite menanyakan langkah-langkah yang
dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dalam menjamin kebebasan berekspresi di
Papua Barat. Masyarakat sipil yang mencoba menyampaikan hak mereka dalam mengekspresikan
identitas Papua dan opini politik mereka kerap kali menghadapi stigmatisasi
sebagai separatis dan yang berujung pada hukuman pidana. Hal ini karena
tindakan makar menurut KUHP merupakan tindakan kriminal yang harus ditindak.
Walaupun KUHP berasal dari masa kolonial, pasal tersebut terus diterapkan secara
sewenang-wenang dan disalahgunakan.
Walaupun Indonesia menerima beberapa
rekomendasi Universal Periodic Review
(UPR) oleh Dewan Hak Asasi Manusia dari Persatuan Bangsa-Bangsa, Indonesia menolak
poin-poin yang terkait dengan praktik impunitas dan penggunaan pendekatan
keamanan di Papua. Permasalahan mengenai impunitas secara langsung dibantah
oleh pihak Indonesia dalam pertemuan tersebut. Walaupun rekomendasi pembahasan ini
jelas-jelas menunjukkan fakta bahwa pendekatan keamanan masih sangat dominan
dibandingkan dengan pendekatan kesejahteraan di Papua, Pemerintah Indonesia menjawab
secara defensif dan menyangkal adanya praktik pendekatan keamanan di Papua. Selain
itu, keterlambatan dalam menjadwalkan kunjungan Utusan Khusus dari PBB seperti
yang pernah dijanjikan Indonesia pada saat UPR, menandakan pemerintah enggan
memberikan akses terbuka kepada ahli-ahli HAM PBB, terutama yang mengacu pada
mandat kebebasan berekspresi.
Kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa
pemerintah menolak beberapa rekomendasi penting dan yang berkaitan dengan
situasi di Papua. Dari sejumlah rekomendasi yang ditolak, beberapa di antaranya
mengacu secara spesifik kepada situasi hak asasi manusia di Papua. Pemerintah
Indonesia seharusnya menunjukkan komitmennya dalam memperbaiki situasi di
Papua, termasuk dengan mengganti pendekatan keamanan dengan pendekatan yang
lebih komprehensif yang memfasilitasi semua permasalahan dan mencegah terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia.
F.
SIMPULAN
Dari pembahasan yang
terkait dengan meningkatnya kasus penggunaan kekerasan dan pembunuhan diluar
hukum untuk menghadapi protes dan pembangkangan politik seperti yang terjadi di
Papua menunjukkan bahwa aparat keamanan belum punya kompetensi dan pemahaman
yang baik terhadap HAM. Komite HAM PBB menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang
sedang berlangsung di Papua terus menjadi perhatian utama bagi masyarakat
internasional. Cap yang diberikan kepada
sebagai separatis atau teroris digunakan sebagai pembenaran tindak kekerasan.
Pengadilan Militer dan mekanisme PROPAM (Profesi dan Pengamanan) di kepolisian
dirasa kurang independen dan tidak memiliki kebijakan untuk mengakhiri
pelanggaran hak asasi manusia.
Walaupun Indonesia
menerima beberapa rekomendasi Universal
Periodic Review (UPR) oleh Dewan Hak Asasi Manusia dari Persatuan
Bangsa-Bangsa, Indonesia menolak poin-poin yang terkait dengan praktik
impunitas dan penggunaan pendekatan keamanan di Papua. Permasalahan mengenai
impunitas secara langsung dibantah oleh pihak Indonesia dalam pertemuan tersebut.
Dari sejumlah rekomendasi yang ditolak, beberapa di antaranya mengacu secara
spesifik kepada situasi hak asasi manusia di Papua. Pemerintah Indonesia
seharusnya menunjukkan komitmennya dalam memperbaiki situasi di Papua, termasuk
dengan mengganti pendekatan keamanan dengan pendekatan yang lebih komprehensif yang
memfasilitasi semua permasalahan dan mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia.
Artikel Ilmiah
Non-Penelitian
AKSES MEKANISME
DAN PENGADUAN KEADILAN DAN BANTUAN HUKUM YANG EFEKTIF TERHADAP KASUS PELANGGARAN
HAM YANG SEMAKIN MELUAS DI PAPUA
Oleh
Dewi Wulandari
Abstrak
Pelanggaran
hak asasi manusia yang semakin meluas di Papua terpelihara oleh tidak adanya
akses pengaduan dan keadilan yang efektif untuk masyarakat Papua. Ketika
sebagian besar pelanggaran dilakukan oleh aparatur negara dapat dijerat dengan
KUHP, proses peradilan terhadap kasus-kasus seperti ini jarang didapati.
Pengadilan militer dan mekanisme PROPAM dirasa kurang memiliki independensi dan
kebijakan untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia. Dengan ketiadaan
mekanisme pengaduan yang efektif yang dapat menjamin hak atas peradilan, oknum pelaku
kejahatan menikmati praktik impunitas dan korban semakin frustasi. Dalam
beberapa kasus, mereka terdorong untuk bersikap radikal dan menciptakan
pengadilan massa, yang mengakibatkan peningkatan tindak kekerasan di tanah
Papua.
A.
PENDAHULUAN
Tidak efektifnya mekanisme pengaduan yang ada sebagian
besar disebabkan oleh kurangnya penyidikan independen mengenai pelanggaran hak
asasi manusia yang dilakukan oleh aparatur negara. Sebagai contoh, dalam
kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat
kepolisian, korban hanya dapat mengadu ke kepolisian dan meminta pemindahan
tempat investigasi. Korban dapat mengajukan pengaduan ke dalam mekanisme
pengawasan polisi yang dikenal dengan nama PROPAM (Profesi dan Pengamanan). Akan
tetapi, mekanisme ini hanya untuk permasalahan administratif dan paling-paling
hanya berujung pada pendisiplinan oknum yang bersangkutan.
B.
MEKANISME PENGADUAN YANG MENJADI MASALAH SAAT INI
Korban yang hendak mengajukan pengaduan kriminal terhadap
pelanggaran hak asasi manusia yang mereka alami dapat melaporkan kasus tersebut
ke Unit Satuan Kriminal Kepolisian. Undang-undang di Indonesia menyatakan bahwa
kepolisian memiliki wewenang eksklusif untuk menerima pengaduan tindak kriminal
yang dilarang oleh KUHP. Mekanisme ini memiliki 2 masalah terutama ketika
aparat kepolisian menjadi pihak yang bertanggungjawab atas pengaduan tindak
kriminal tersebut, yaitu
1.
Korban menjadi
takut untuk mengajukan pengaduan. Karena hak mereka telah dilanggar oleh aparat
kepolisian. Korban menjadi tidak berminat untuk terlibat kontak lebih lanjut
dengan kepolisian. Hal ini dapat dikarenakan oleh trauma maupun hilangnya
kepercayaan.
2.
Kepolisian
sebagai sebuah institusi merasa enggan untuk melakukan investigasi terhadap
anggotanya sendiri. Ini digambarkan dengan tidak adanya investigasi tindak
kriminal oleh kepolisian terhadap aparatnya sejauh ini, terlepas dari banyaknya
laporan mengenai penangakapan sewenang-wenang, penahanan, tuntutan palsu dan
penyiksaan terhadap masyarakat adat Papua.
3.
Kurangnya
mekanisme yang independen untuk menginvestigasi pelanggaran hak asasi manusia terhadap
masyarakat adat Papua.
Di dalam kasus-kasus di mana aparat kepolisian
menggunakan kekerasan - seringkali secara berlebihan– terhadap masyarakat
Papua, kepolisian akan segera mengklaim bahwa hal tersebut merupakan bagian
dari tugas mereka dan bahwa korban merupakan ancaman yang berarti. Tidak adanya
mekanisme yang tersedia berdasarkan UU di Indonesia yang memberi ruang bagi
berbagai pihak untuk membantah maupun meninjau kepentingan dan proporsionalitas
dari penggunaan kekerasan oleh kepolisian. Contohnya, pasca insiden pembunuhan
Mako Tabuni, perwakilan dari Polri menciptakan klaim palsu yang menyatakan
bahwa Mako bersenjata, tanpa memberi ruang bagi pihak lain untuk menanyakan
keabsahan klaim tersebut.[1]
Keadilan
tetap berada di luar jangkauan masyarakat Papua, bukan hanya di saat mereka
mencari keadilan, tapi juga di saat mereka diadili. Seringkali, kepolisian menolak
memenuhi hak pendampingan hukum terhadap masyarakat Papua yang ditangkap atau ditahan,
walaupun peraturan yang tertera dalam KUHAP menjamin hak tersebut. Pasal 55
dari KUHAP mencantumkan bahwa setiap tersangka kriminal berhak didampingi oleh
pendamping hukum pilihannya. Pasal 56 merujuk lebih jauh dengan mencantumkan
bahwa Negara wajib memberikan bantuan hukum secara gratis terhadap tersangka
yang dituntut dengan tindak pidana dengan hukuman maksimum hukuman mati atau 15
tahun penjara. Akan tetapi, pasal-pasal tersebut dalam kenyataannya diacuhkan. Sebagai
contoh, pada saat Yasons Sambom dan teman-temanya ditangkap pada bulan Oktober
2012 karena tuntutan palsu atas impor dan distribusi bahan peledak,24 mereka
ditahan dan diinterogasi oleh aparat kepolisian selama 24 jam tanpa adanya
akses pendampingan hukum [2].
Kasus serupa juga dialami Frengky Uamang, di mana kepolisian tidak memberikan
kesempatan baginya untuk menghubungi keluarganya dan hanya memperbolehkan
pendamping hukum (pengacara) untuk membantunya [3]
C.
AKSES MEKANISME DAN PENGADUAN KEADILAN DAN BANTUAN
HUKUM YANG EFEKTIF TERHADAP KASUS PELANGGARAN HAM YANG SEMAKIN MELUAS DI PAPUA
Pada tahun 2011,
pemerintah Republik Indonesia dan parlemen memberlakukan UU No 16 Tahun 2011
Tentang Bantuan Hukum yang memperkuat ‘komitmen’ negara dalam memperluas akses
peradilan bagi masyarakat adat yang terlibat konflik dengan hukum [4]. Bantuan
hukum diharapkan mampu menjadi sistem yang membantu melindungi hak masyarakat
dalam proses hukum untuk memperoleh keadilan melalui sistem peradilan
transparan dengan menerapkan prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Implementasi
bantuan hukum tentunya akan menghadapi berbagai permasalahan dalam penegakan hukum
di Indonesia mulai dari kendala regulasi, profesionalisme aparat, dan pemahaman
masyarakat dalam mengakses hak-hak mereka. Implementasi bantuan hukum
berdasarkan UU Bantuan Hukum juga akan dihadapkan pada dan dipengaruhi sistem
bantuan hukum yang ada sebelum UU Bantuan Hukum diterapkan. Bantuan hukum bukan
merupakan mekanisme baru dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Bantuan
hukum secara tegas diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Kemudian, pengaturannya dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Implementasi prosedur bantuan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan telah menciptakan prosedur/sistem bantuan hukum yang telah diimplementasikan
dalam waktu lama.
Berbagai permasalahan
dalam penegakan hukum dan peradilan tersebut akan menjadi tantangan bagaimana
upaya implementasi Undang-Undang ini dapat efektif dan mencapai tujuan yang
telah dirumuskan. Oleh karena itu, efektivitas regulasi dan sistem bantuan
hukum menjadi situasi yang perlu dipantau dalam mendorong perlindungan hak
masyarakat yang sudah dijamin dalam undang-undang.
Potensi penerima
bantuan hukum jumlahnya sangat besar, namun sistem bantuan hukum yang dijalankan
saat ini belum sesuai dengan kebutuhan riil terhadap bantuan hukum. Proses yang
terjadi pada awal implementasi bantuan hukum ini terlihat sebagai pemenuhan
kewajiban pemerintah yang sudah ditentukan oleh undang-undang tanpa
mempertimbangkan efektivitas dan kualitas implementasinya. Salah satu persoalan
mendasar mengenai pengaturan kelembagaan pengelolaan bantuan hukum adalah
adanya sentralisasi peran dan kewenangan ke dalam satu lembaga dalam mengatur,
mengelola dan mengawasi implementasi bantuan hukum berpotensi menimbulkan kelemahan
sistem bantuan hukum dan penyalahgunaan atau penyimpangan kewenangan.
Keberadaan progam
bantuan hukum yang merupakan implementasi UU Bantuan Hukum belum sepenuhnya
dipahami oleh aparat penegak hukum. Sistem bantuan hukum yang dijalankan oleh aparat
penegak hukum masih mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lama. Minimnya pemahaman terhadap aturan bantuan hukum yang baru ini juga
berimplikasi pada persoalan koordinasi dalam pelayanan bantuan hukum selama
proses hukum dijalankan. Kondisi ini, di satu sisi,menunjukkan bahwa respon
terhadap sistem bantuan hukum lebih banyak berasal dari organisasi pemberi
bantuan hukum dibandingkan dengan aparat penegak hukum. Di sisi lain, beberapa
lembaga juga belum menyesuaikan program bantuan hukumnya dengan ketentuan UU
Bantuan Hukum.
Akses terhadap program
bantuan hukum bagi masyarakat masih terbatas terutama karena minimnya
keberadaan organisasi pemberi bantuan hukum atau akses wilayah yang sulit
dicapai secara geografis. Di sisi lain, fasilitasi dalam bentuk dukungan dana
bagi organisasi bantuan hukum ini juga menyimpan persoalan bagi efektivitas
pelaksanaan bantuan hukum mengingat perbandingan dukungan dana dengan kebutuhan
dalam pemberian bantuan hukum yang tidak sebanding. Selain ketidakcukupannya
dalam memenuhi kebutuhan pemberian bantuan hukum, pendanaan ini juga tidak
dapat memberikan kontribusi bagi keberlanjutan organisasi pemberi bantuan
hukum, terutama bagi organisasi yang mandiri atau tidak terafiliasi dengan
organisasi lainnya.
D.
SIMPULAN
Pelanggaran hak asasi manusia yang
semakin meluas di Papua terpelihara oleh tidak adanya akses pengaduan dan
keadilan yang efektif untuk masyarakat Papua. Ketika sebagian besar pelanggaran
dilakukan oleh aparatur negara dapat dijerat dengan KUHP, proses peradilan
terhadap kasus-kasus seperti ini jarang didapati. Pengadilan militer dan
mekanisme PROPAM dirasa kurang memiliki independensi dan kebijakan untuk
mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia.
Undang-undang di Indonesia menyatakan bahwa kepolisian
memiliki wewenang eksklusif untuk menerima pengaduan tindak kriminal yang dilarang
oleh KUHP. Mekanisme ini memiliki 2 masalah terutama ketika aparat kepolisian
menjadi pihak yang bertanggungjawab atas pengaduan tindak kriminal tersebut,
yaitu
1.
Korban menjadi
takut untuk mengajukan pengaduan. Karena hak mereka telah dilanggar oleh aparat
kepolisian. Korban menjadi tidak berminat untuk terlibat kontak lebih lanjut
dengan kepolisian. Hal ini dapat dikarenakan oleh trauma maupun hilangnya
kepercayaan.
2.
Kepolisian
sebagai sebuah institusi merasa enggan untuk melakukan investigasi terhadap
anggotanya sendiri. Ini digambarkan dengan tidak adanya investigasi tindak
kriminal oleh kepolisian terhadap aparatnya sejauh ini, terlepas dari banyaknya
laporan mengenai penangakapan sewenang-wenang, penahanan, tuntutan palsu dan
penyiksaan terhadap masyarakat adat Papua.
3.
Kurangnya
mekanisme yang independen untuk menginvestigasi pelanggaran hak asasi manusia
terhadap masyarakat adat Papua.
Pada tahun 2011, pemerintah Republik
Indonesia dan parlemen memberlakukan UU No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
yang memperkuat ‘komitmen’ negara dalam memperluas akses peradilan bagi
masyarakat adat yang terlibat konflik dengan hukum [5]. Bantuan
hukum diharapkan mampu menjadi sistem yang membantu melindungi hak masyarakat dalam
proses hukum untuk memperoleh keadilan melalui sistem peradilan transparan
dengan menerapkan prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Implementasi
bantuan hukum tentunya akan menghadapi berbagai permasalahan dalam penegakan hukum
di Indonesia mulai dari kendala regulasi, profesionalisme aparat, dan pemahaman
masyarakat dalam mengakses hak-hak mereka.
[1] Polisi sebut Mako Tabuni mau
rebut senjata petugas’, diakses pada 5 Juni 2015 di http://www.merdeka.com/peristiwa/polisi-sebut-makotabuni-
mau-rebut-senjata-petugas.html.
[2] ‘INDONESIA: Aparat kepolisian
secara sewenang-wenang menangkap lima aktivis Papua dan memperbanyak dokumen
mengenai aktivitas politik mereka’, AHRC Urgent Appeal yang diterbitkan
pada tanggal 18 Oktober 2012, dapat diakses di http://www.humanrights.asia/news/ urgent-appeals/AHRC-UAC-185-2012
[3] ‘INDONESIA: Seorang warga Papua
disiksa atas tuduhan yang tidak masuk akal berupa keterlibatan dengan kelompok
separatis’, supra note 4.
[4] UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum.
[5] UU No. 16 tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar