Guest book

script cbox kamu
Mau buat buku tamu ini ?
Klik di sini
Sumber : http://ramadhanlmzero.blogspot.com/2012/12/cara-membuat-buku-tamu-keren-di-blog.html#ixzz47H4OJJnc

Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Site Categories

About

Rabu, 27 April 2016



Artikel Ilmiah Non-Penelitian
ANALISIS REKOMENDASI KOMITE HAM DALAM FORUM UNIVERSAL PERIODIC REVIEW TERHADAP KASUS KEKERASAN DAN PEMBUNUHAN DILUAR HUKUM OLEH APARAT KEMANAN DALAM MENGHADAPI AKSI-AKSI PROTES DAN PEMBANGKANGAN POLITIK DI PAPUA
Oleh
Dewi Wulandari
Abstrak
Sidang forum Universal Periodic Review (UPR) Komite HAM PBB di Jenewa, Swiss pada Juli 3013 mengeluarkan tak kurang dari 24 butir rekomendasi yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. Salah satu sikap dan rekomendasi Komite HAM yang penting yaitu mendesak agar pemerintah mengambil langkah konkret untuk mencegah dan mengusut penggunaan kekerasan dan pembunuhan diluar hukum oleh aparat keamanan. Hal ini terkait dengan meningkatnya kasus penggunaan kekerasan dan pembunuhan diluar hukum untuk menghadapi protes dan pembangkangan politik seperti yang terjadi di Papua. Aksi-aksi protes tersebut akibat dari konflik atau sengketa vertikal antara masyarakat adat di Papua melawan pemerintah Indonesia baik sebagai pelaku/penjamin hak dan atau kepentingan perusahaan/proyek-proyek bermodal besar. Masyarakat adat di Papua biasanya mengalami tindakan-tindakan negatif dari aparat keamanan pemerintah.  Komite HAM PBB menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang sedang berlangsung di Papua terus menjadi perhatian utama bagi masyarakat internasional.
A.    PENDAHULUAN
Pada tanggal 10 dan 11 Maret 2013 lalu di Jenewa Swiss, Komite HAM PBB meninjau pelaksanaan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, salah satu hak asasi manusia paling penting yang sudah diratifikasi Indonesia dan pemerintah berkewajiban untuk menjalankan jaminan perlindungan hak-hak itu di Indonesia. 
Komite HAM menyoroti kekerasan yang sedang berlangsung di Papua dan menyesalkan penggunaan kekuatan berlebihan oleh pasukan keamanan Indonesia. Karena tidak ada mekanisme yang efektif yang tersedia pertanggungjawaban hukum anggota militer, Komite melihat pengulangan kejadian seperti kekerasan hingga Indonesia mengambil langkah-langkah untuk mengembangkan prosedur pengaduan yang efektif.
Masyarakat adat di Papua biasanya mengalami tindakan-tindakan negatif dari aparat keamanan pemerintah. Bentuknya dapat berupa tindakan represif. Tindakan represif adalah tindak-tindak kekerasan yang dilakukan seperti penganiayaan, pembunuhan, dan teror-teror mental. Tindakan tersebut dilakukan untuk meredam aksi-aksi masyarakat adat mempertahankan hak-hak tanurialnya. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh oknum aparat pemerintah sipil dan militer. Dampaknya adalah trauma-trauma psikologis dan penurunan populasi masyarakat adat yang mengarah pada pemusnahan etnis. Komite HAM PBB menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang sedang berlangsung di Papua terus menjadi perhatian utama bagi masyarakat internasional.
B.     Faktor Pendorong Terjadinya Kasus Kekerasan Terhadap Masyarakat Adat Papua
Ada beberapa faktor yang berpengaruh atau yang mendorong terjadinya kasus kekerasan terhadap masyarakat adat di wilayah Papua, diantaranya Pertama, Faktor sosial-budaya yakni adanya solidaritas mekanik yang kuat dan dendam mendalam serta sterotype negatif ditengah kelompok masyarakat; Kedua, Faktor ekonomi seperti persaingan akses terhadap sumber daya dan ketimpangan antara kelompok masyarakat; Ketiga, Faktor pola penanganan dimana dibeberapa daerah seperti di Papua masih memakai pola lama, yaitu kekerasan dan pembunuhan di luar hukum dalam menghadapi aksi-aksi protes dan pembangkangan politik.
C.    Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Masyarakat Adat Papua Yang Dilakukan Oleh Aparat Keamanan
Beberapa kasus yang tercatat antara tahun 2011 sampai dengan 2013 menunjukkan tingginya tingkat kekerasan yang mana pelakunya umumnya aparat keamanan, termasuk aparat kepolisian dan anggota militer– terbebas dari jerat hukum, antara lain;
1.      Konggres Rakyat Papua III di bulan Oktober 2011 dibubarkan secara paksa, beberapa warga tewas dibunuh, bahkan aktivis politik perdamaian dipenjarakan.
2.      Pada tahun 2012, tindak kekerasan semakin meningkat dan ditandai dengan kasus penembakan oleh orang tidak dikenal (OTD). Kasus pembunuhan juga memakan korban pemimpin aktivis politik, Mako Tabuni, yang tewas dibunuh oleh aparat keamanan. Selain itu, banyak pula aktivis politik lainnya yang ditahan atau dibunuh. Hal ini, bersamaan dengan pelarangan aksi demonstrasi di semester kedua tahun 2012, memperburuk kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat di tanah Papua
3.      Masyarakat adat Papua mengecam pelarangan penyelenggaraan demonstrasi memperingati 50 tahun penyerahan administrasi West New Guinea (sekarang Papua) dari UNTEA ke Indonesia, pada 1 Mei 2013 lalu oleh Polda Papua dan Gubernur Papua. Pelarangan ini telah melanggar hak kebebasan berkumpul dan berekspresi seperti yang dilindungi oleh UUD 1945 dan UU 12/2005 tentang Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, khususnya pasal 19 (hak atas kebebasan berpendapat) dan pasal 21 (hak berkumpul). Pelarangan ini juga menunjukkan sikap reaksioner, paranoid, sekaligus diskriminatif pemerintah RI yang membatasi hak sipil dan politik rakyat Papua dan memonopoli intepretasi sejarah sesuai kepentingan kekuasaan Negara, bukan kepentingan seluruh rakyat Papua.
4.      Pada tanggal 30 April, di Distrik Aimas Kabupaten Sorong, rencana kegiatan perayaan 1 Mei di depan rumah salah seorang warga dengan berdoa dihentikan dengan tembakan, lebih kurang dari jarak 20M, oleh kendaraan Avansa dan L200. Tindakan inilah yang memicu kemarahan warga, hingga mendatatangi kendaraan tersebut. Di saat itu pula tembakan memberondong warga selama 20 menit yang menyebabkan kematian 2 warga dan 8 lainnya ditangkap. Pada 1 Mei, di Jayapura, aksi damai dan rencana doa di Makam Theys digagalkan aparat, sempat terjadi upaya penangkapan, namun berhasil digagalkan. Di Biak, satu orang dikabarkan ditembak karena mengibarkan bendera bintang kejora di depan kantor Diklat Kab. Biak Numfor. Di Timika setidaknya 15 orang ditangkap karena aksi pengibaran bendera.
5.      Korban dari pelarangan aksi damai 1 Mei yang bermuara pada tindakan represi dan teror tersebut adalah:
          2 orang meninggal di Sorong dan 1 orang ditembak di Biak
          Korban luka yang dirawat di rumah sakit setidaknya sebanyak 5 orang;
          Tercatat 23 orang ditahan di Sorong, Jayapura dan Timika;
          Pembubaran paksa, represi, dan ancaman aparat melalui tembakan senjata terhadap aksi damai terjadi di hampir seluruh tempat dimana aksi pengibaran bendera maupun doa bersama oleh warga yang memperingati hari 1 Mei dilakukan (di Sorong, Manokwari, Jayapura, Biak, Fakfak dan Timika). Sementara aksi dan konvoi yang dilakukan para pendukung integrasi tidak mendapatkan represi.
Kasus kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat di Papua yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia menunjukkan masyarakat adat di Papua ini merupakan  golongan yang “rentan” dalam arti selalu kalah dan tertindas. Mereka mengalami tindakan kekerasan dari aparat pemerintah yang menimbulkan trauma-trauma psikologis.Hal ini menunjukkan kelemahan kendali negara terhadap aparatnya dilapangan. Terlihat aparat keamanan belum punya kompetensi dan pemahaman yang baik terhadap HAM. Aparat keamanan tercatat menggunakan tindak kekerasan secara semena-mena dan berlebihan terhadap perempuan. Karena ketakutan akan aksi balas dendam dan minimnya tindak lanjut kepolisian dalam menginvestigasi kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, banyak kasus yang akhirnya tidak dilaporkan ke lembaga penegak hukum sehingga pelaku terus menikmati impunitas.
Cap yang diberikan kepada sebagai separatis atau teroris digunakan sebagai pembenaran tindak kekerasan. Pengadilan Militer dan mekanisme PROPAM di kepolisian dirasa kurang independen dan tidak memiliki kebijakan untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia. Ketika viktimisasi ini berlanjut, ketidaktersediaan bantuan hukum yang efektif untuk masyarakat Papua memperdalam konflik sosial dan politik yang ada.
Alih-alih menerapkan pendekatan sipil dalam sektor keadilan, pendekatan keamanan tetap dominan di Papua. Badan Intelijen Nasional (BIN) menggunakan kebijakan pengintaian yang tidak sesuai dan diskriminatif terhadap masyarakat Papua dan turut berperan serta dalam menciptakan iklim ketakutan.
D.    Beberapa Rekomendasi Untuk Pemerintah Republik Indonesia Terkait Dengan Kasus Kekerasan Oleh Aparat Keamanan Dan Kebebasan Berkespresi.
a.       Guna mengakhiri praktik impunitas dan tindak kekerasan oleh aparat keamanan, Pemerintah Republik Indonesia seharusnya;
          Menjamin bahwa proses penuntutan terhadap segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia dilaksanakan melalui pengadilan hak asasi manusia dan pengadilan ad-hoc hak asasi manusia, termasuk terhadap kasus Wasior di tahun 2001/2002 dan kasus Wamena di tahun 2003;
          Mengurangi jumlah anggota militer yang diterjunkan ke Papua dan menjamin bahwa anggota militer Indonesia mematuhi kewajiban yang dicantumkan dalam Hukum dan Pedoman Hak Asasi Manusia Internasional;
          Mengambil langkah yang tepat dalam memberantas korupsi dalam sistem peradilan dan menjamin independensi pengadilan dari kendali politik dan campur tangan aparatur pemerintah; Menjamin pengawasan militer oleh sipil dengan memperbarui Undang undang Pengadilan Militer kemudian menjamin bahwa pelaku pelanggaran hak asasi manusia dari kalangan militer agar diadili di pengadilan sipil;
          Mengembangkan mekanisme pengaduan yang mandiri dan efektif bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang pelakunya adalah aparat keamanan, yang mana dapat menjamin tindak lanjut, investigasi terhadap pelaku secara independen, dan proses hukum terhadap pelaku serta menyediakan ganti rugi terhadap korban;
          Mengeluarkan kebijakan yang dapat mengakhiri stigmatisasi sewenang-wenang yang diberikan terhadap masyarakat Papua sebagai separatis atau teroris;    
          Menghentikan kebijakan dan praktik pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil yang dilakukan aparat keamanan, terutama yang digunakan untuk initimidasi dan aksi balas dendam. Kebijakan dan praktik yang ada hanya memperdalam tekanan konflik dan berujung pada peningkatan tindak kekerasan. Aparat kemanan yang melakukan praktik tersebut harus menghadapi sanksi yang berat, sejalan dengan standar internasional.
          Menjamin bahwa aparat kepolisian melakukan investigasi yang profesional dan efektif terhadap semua kasus kekerasan, tanpa memandang status kelembagaan dari tersangka, etnis korban, atau mekanisme pengaduan non-peradilan seperti PROPAM yang mungkin berjalan sejajar;
          Menjamin bahwa Polri menerapkan pengawasan yang efektif terhadap Polda di Papua dan menjamin bahwa warga Papua dapat menikmati standar penegakan hukum yang tinggi. Untuk hal ini, ketidakpatuhan dan tindak korupsi dalam kepolisian harus diselesaikan dengan sanksi serius dan prosedur kriminal sejauh berlaku
b.      Guna menjamin keamanan kebebasan berekspresi, Pemerintah Indonesia seharusnya;
          Membebaskan semua tahanan politik dan semua orang yang telah ditahan atau dijatuhi hukuman karena memngekspresikan opini politik secara damai;
          Mencabut Keputusan Presiden No. 77 tahun 2007 yang melarang penggunaan bendera Bintang Kejora serta menghargai bendera tersebut sebagai simbol identitas adat dan kedaerahan sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Otonomi Khusus;
          Menghentikan penerapan Pasal 106 dan 110 KUHP tentang Tindakan Makar, dan juga Pasal 160 tentang Tindakan Penghasutan, sampai adanya tinjauan terhadap pasal-pasal tersebut;
          Mengakui kebebasan berekspresi dan beropini, berkumpul, serta penentuan diri orang-orang, sebagai hak fundamental berdasarkan Deklarasi PBB atas Hak Masyarakat Adat dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR);
          Menyediakan pelatihan yang memadai bagi orangorang yang bekerja di badan-badan pemerintahan dan administrasi negara guna menumbuhkan pemahaman, penghargaan, dan perlindungan hak-hak kebebasan berekpresi dan berpendapat, berkumpul secara damai, dan berorganisasi, saat menjalankan tugas mereka.
E.     Sikap Indonesia Terkait Dengan Rekomendasi Universal Periodic Review (UPR)
Universal Periodic Review (UPR) adalah mekanisme Dewan Hak Asasi Manusia yang meninjau penerapan kewajiban hukum HAM internasional dan situasi hak asasi manusia di negara anggota setiap empat setengah tahun sekali. Di akhir tinjauan, negara yang bersangkutan akan mendapat sejumlah rekomendasi yang dapat diterima maupun ditolak, dengan harapan bahwa negara tersebut akan mengambil langkah yang terpercaya dalam penerapannya.
Komite menanyakan langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dalam menjamin kebebasan berekspresi di Papua Barat. Masyarakat sipil yang mencoba menyampaikan hak mereka dalam mengekspresikan identitas Papua dan opini politik mereka kerap kali menghadapi stigmatisasi sebagai separatis dan yang berujung pada hukuman pidana. Hal ini karena tindakan makar menurut KUHP merupakan tindakan kriminal yang harus ditindak. Walaupun KUHP berasal dari masa kolonial, pasal tersebut terus diterapkan secara sewenang-wenang dan disalahgunakan.
Walaupun Indonesia menerima beberapa rekomendasi Universal Periodic Review (UPR) oleh Dewan Hak Asasi Manusia dari Persatuan Bangsa-Bangsa, Indonesia menolak poin-poin yang terkait dengan praktik impunitas dan penggunaan pendekatan keamanan di Papua. Permasalahan mengenai impunitas secara langsung dibantah oleh pihak Indonesia dalam pertemuan tersebut. Walaupun rekomendasi pembahasan ini jelas-jelas menunjukkan fakta bahwa pendekatan keamanan masih sangat dominan dibandingkan dengan pendekatan kesejahteraan di Papua, Pemerintah Indonesia menjawab secara defensif dan menyangkal adanya praktik pendekatan keamanan di Papua. Selain itu, keterlambatan dalam menjadwalkan kunjungan Utusan Khusus dari PBB seperti yang pernah dijanjikan Indonesia pada saat UPR, menandakan pemerintah enggan memberikan akses terbuka kepada ahli-ahli HAM PBB, terutama yang mengacu pada mandat kebebasan berekspresi.
Kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa pemerintah menolak beberapa rekomendasi penting dan yang berkaitan dengan situasi di Papua. Dari sejumlah rekomendasi yang ditolak, beberapa di antaranya mengacu secara spesifik kepada situasi hak asasi manusia di Papua. Pemerintah Indonesia seharusnya menunjukkan komitmennya dalam memperbaiki situasi di Papua, termasuk dengan mengganti pendekatan keamanan dengan pendekatan yang lebih komprehensif yang memfasilitasi semua permasalahan dan mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.


F.     SIMPULAN
Dari pembahasan yang terkait dengan meningkatnya kasus penggunaan kekerasan dan pembunuhan diluar hukum untuk menghadapi protes dan pembangkangan politik seperti yang terjadi di Papua menunjukkan bahwa aparat keamanan belum punya kompetensi dan pemahaman yang baik terhadap HAM. Komite HAM PBB menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang sedang berlangsung di Papua terus menjadi perhatian utama bagi masyarakat internasional.  Cap yang diberikan kepada sebagai separatis atau teroris digunakan sebagai pembenaran tindak kekerasan. Pengadilan Militer dan mekanisme PROPAM (Profesi dan Pengamanan) di kepolisian dirasa kurang independen dan tidak memiliki kebijakan untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia.
Walaupun Indonesia menerima beberapa rekomendasi Universal Periodic Review (UPR) oleh Dewan Hak Asasi Manusia dari Persatuan Bangsa-Bangsa, Indonesia menolak poin-poin yang terkait dengan praktik impunitas dan penggunaan pendekatan keamanan di Papua. Permasalahan mengenai impunitas secara langsung dibantah oleh pihak Indonesia dalam pertemuan tersebut. Dari sejumlah rekomendasi yang ditolak, beberapa di antaranya mengacu secara spesifik kepada situasi hak asasi manusia di Papua. Pemerintah Indonesia seharusnya menunjukkan komitmennya dalam memperbaiki situasi di Papua, termasuk dengan mengganti pendekatan keamanan dengan pendekatan yang lebih komprehensif yang memfasilitasi semua permasalahan dan mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.




Artikel Ilmiah Non-Penelitian
AKSES MEKANISME DAN PENGADUAN KEADILAN DAN BANTUAN HUKUM YANG EFEKTIF TERHADAP KASUS PELANGGARAN HAM YANG SEMAKIN MELUAS DI PAPUA
Oleh
Dewi Wulandari
Abstrak
Pelanggaran hak asasi manusia yang semakin meluas di Papua terpelihara oleh tidak adanya akses pengaduan dan keadilan yang efektif untuk masyarakat Papua. Ketika sebagian besar pelanggaran dilakukan oleh aparatur negara dapat dijerat dengan KUHP, proses peradilan terhadap kasus-kasus seperti ini jarang didapati. Pengadilan militer dan mekanisme PROPAM dirasa kurang memiliki independensi dan kebijakan untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia. Dengan ketiadaan mekanisme pengaduan yang efektif yang dapat menjamin hak atas peradilan, oknum pelaku kejahatan menikmati praktik impunitas dan korban semakin frustasi. Dalam beberapa kasus, mereka terdorong untuk bersikap radikal dan menciptakan pengadilan massa, yang mengakibatkan peningkatan tindak kekerasan di tanah Papua.
A.    PENDAHULUAN
Tidak efektifnya mekanisme pengaduan yang ada sebagian besar disebabkan oleh kurangnya penyidikan independen mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparatur negara. Sebagai contoh, dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat kepolisian, korban hanya dapat mengadu ke kepolisian dan meminta pemindahan tempat investigasi. Korban dapat mengajukan pengaduan ke dalam mekanisme pengawasan polisi yang dikenal dengan nama PROPAM (Profesi dan Pengamanan). Akan tetapi, mekanisme ini hanya untuk permasalahan administratif dan paling-paling hanya berujung pada pendisiplinan oknum yang bersangkutan.

B.     MEKANISME PENGADUAN YANG MENJADI MASALAH SAAT INI
Korban yang hendak mengajukan pengaduan kriminal terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang mereka alami dapat melaporkan kasus tersebut ke Unit Satuan Kriminal Kepolisian. Undang-undang di Indonesia menyatakan bahwa kepolisian memiliki wewenang eksklusif untuk menerima pengaduan tindak kriminal yang dilarang oleh KUHP. Mekanisme ini memiliki 2 masalah terutama ketika aparat kepolisian menjadi pihak yang bertanggungjawab atas pengaduan tindak kriminal tersebut, yaitu
1.      Korban menjadi takut untuk mengajukan pengaduan. Karena hak mereka telah dilanggar oleh aparat kepolisian. Korban menjadi tidak berminat untuk terlibat kontak lebih lanjut dengan kepolisian. Hal ini dapat dikarenakan oleh trauma maupun hilangnya kepercayaan.
2.      Kepolisian sebagai sebuah institusi merasa enggan untuk melakukan investigasi terhadap anggotanya sendiri. Ini digambarkan dengan tidak adanya investigasi tindak kriminal oleh kepolisian terhadap aparatnya sejauh ini, terlepas dari banyaknya laporan mengenai penangakapan sewenang-wenang, penahanan, tuntutan palsu dan penyiksaan terhadap masyarakat adat Papua.
3.      Kurangnya mekanisme yang independen untuk menginvestigasi pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat Papua.
Di dalam kasus-kasus di mana aparat kepolisian menggunakan kekerasan - seringkali secara berlebihan– terhadap masyarakat Papua, kepolisian akan segera mengklaim bahwa hal tersebut merupakan bagian dari tugas mereka dan bahwa korban merupakan ancaman yang berarti. Tidak adanya mekanisme yang tersedia berdasarkan UU di Indonesia yang memberi ruang bagi berbagai pihak untuk membantah maupun meninjau kepentingan dan proporsionalitas dari penggunaan kekerasan oleh kepolisian. Contohnya, pasca insiden pembunuhan Mako Tabuni, perwakilan dari Polri menciptakan klaim palsu yang menyatakan bahwa Mako bersenjata, tanpa memberi ruang bagi pihak lain untuk menanyakan keabsahan klaim tersebut.[1]
Keadilan tetap berada di luar jangkauan masyarakat Papua, bukan hanya di saat mereka mencari keadilan, tapi juga di saat mereka diadili. Seringkali, kepolisian menolak memenuhi hak pendampingan hukum terhadap masyarakat Papua yang ditangkap atau ditahan, walaupun peraturan yang tertera dalam KUHAP menjamin hak tersebut. Pasal 55 dari KUHAP mencantumkan bahwa setiap tersangka kriminal berhak didampingi oleh pendamping hukum pilihannya. Pasal 56 merujuk lebih jauh dengan mencantumkan bahwa Negara wajib memberikan bantuan hukum secara gratis terhadap tersangka yang dituntut dengan tindak pidana dengan hukuman maksimum hukuman mati atau 15 tahun penjara. Akan tetapi, pasal-pasal tersebut dalam kenyataannya diacuhkan. Sebagai contoh, pada saat Yasons Sambom dan teman-temanya ditangkap pada bulan Oktober 2012 karena tuntutan palsu atas impor dan distribusi bahan peledak,24 mereka ditahan dan diinterogasi oleh aparat kepolisian selama 24 jam tanpa adanya akses pendampingan hukum [2]. Kasus serupa juga dialami Frengky Uamang, di mana kepolisian tidak memberikan kesempatan baginya untuk menghubungi keluarganya dan hanya memperbolehkan pendamping hukum (pengacara) untuk membantunya [3]
C.    AKSES MEKANISME DAN PENGADUAN KEADILAN DAN BANTUAN HUKUM YANG EFEKTIF TERHADAP KASUS PELANGGARAN HAM YANG SEMAKIN MELUAS DI PAPUA
Pada tahun 2011, pemerintah Republik Indonesia dan parlemen memberlakukan UU No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum yang memperkuat ‘komitmen’ negara dalam memperluas akses peradilan bagi masyarakat adat yang terlibat konflik dengan hukum [4]. Bantuan hukum diharapkan mampu menjadi sistem yang membantu melindungi hak masyarakat dalam proses hukum untuk memperoleh keadilan melalui sistem peradilan transparan dengan menerapkan prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Implementasi bantuan hukum tentunya akan menghadapi berbagai permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia mulai dari kendala regulasi, profesionalisme aparat, dan pemahaman masyarakat dalam mengakses hak-hak mereka. Implementasi bantuan hukum berdasarkan UU Bantuan Hukum juga akan dihadapkan pada dan dipengaruhi sistem bantuan hukum yang ada sebelum UU Bantuan Hukum diterapkan. Bantuan hukum bukan merupakan mekanisme baru dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Bantuan hukum secara tegas diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian, pengaturannya dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Implementasi prosedur bantuan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan telah menciptakan prosedur/sistem bantuan hukum yang telah diimplementasikan dalam waktu lama.
Berbagai permasalahan dalam penegakan hukum dan peradilan tersebut akan menjadi tantangan bagaimana upaya implementasi Undang-Undang ini dapat efektif dan mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Oleh karena itu, efektivitas regulasi dan sistem bantuan hukum menjadi situasi yang perlu dipantau dalam mendorong perlindungan hak masyarakat yang sudah dijamin dalam undang-undang.
Potensi penerima bantuan hukum jumlahnya sangat besar, namun sistem bantuan hukum yang dijalankan saat ini belum sesuai dengan kebutuhan riil terhadap bantuan hukum. Proses yang terjadi pada awal implementasi bantuan hukum ini terlihat sebagai pemenuhan kewajiban pemerintah yang sudah ditentukan oleh undang-undang tanpa mempertimbangkan efektivitas dan kualitas implementasinya. Salah satu persoalan mendasar mengenai pengaturan kelembagaan pengelolaan bantuan hukum adalah adanya sentralisasi peran dan kewenangan ke dalam satu lembaga dalam mengatur, mengelola dan mengawasi implementasi bantuan hukum berpotensi menimbulkan kelemahan sistem bantuan hukum dan penyalahgunaan atau penyimpangan kewenangan.
Keberadaan progam bantuan hukum yang merupakan implementasi UU Bantuan Hukum belum sepenuhnya dipahami oleh aparat penegak hukum. Sistem bantuan hukum yang dijalankan oleh aparat penegak hukum masih mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama. Minimnya pemahaman terhadap aturan bantuan hukum yang baru ini juga berimplikasi pada persoalan koordinasi dalam pelayanan bantuan hukum selama proses hukum dijalankan. Kondisi ini, di satu sisi,menunjukkan bahwa respon terhadap sistem bantuan hukum lebih banyak berasal dari organisasi pemberi bantuan hukum dibandingkan dengan aparat penegak hukum. Di sisi lain, beberapa lembaga juga belum menyesuaikan program bantuan hukumnya dengan ketentuan UU Bantuan Hukum.
Akses terhadap program bantuan hukum bagi masyarakat masih terbatas terutama karena minimnya keberadaan organisasi pemberi bantuan hukum atau akses wilayah yang sulit dicapai secara geografis. Di sisi lain, fasilitasi dalam bentuk dukungan dana bagi organisasi bantuan hukum ini juga menyimpan persoalan bagi efektivitas pelaksanaan bantuan hukum mengingat perbandingan dukungan dana dengan kebutuhan dalam pemberian bantuan hukum yang tidak sebanding. Selain ketidakcukupannya dalam memenuhi kebutuhan pemberian bantuan hukum, pendanaan ini juga tidak dapat memberikan kontribusi bagi keberlanjutan organisasi pemberi bantuan hukum, terutama bagi organisasi yang mandiri atau tidak terafiliasi dengan organisasi lainnya.
D.    SIMPULAN
Pelanggaran hak asasi manusia yang semakin meluas di Papua terpelihara oleh tidak adanya akses pengaduan dan keadilan yang efektif untuk masyarakat Papua. Ketika sebagian besar pelanggaran dilakukan oleh aparatur negara dapat dijerat dengan KUHP, proses peradilan terhadap kasus-kasus seperti ini jarang didapati. Pengadilan militer dan mekanisme PROPAM dirasa kurang memiliki independensi dan kebijakan untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia.

Undang-undang di Indonesia menyatakan bahwa kepolisian memiliki wewenang eksklusif untuk menerima pengaduan tindak kriminal yang dilarang oleh KUHP. Mekanisme ini memiliki 2 masalah terutama ketika aparat kepolisian menjadi pihak yang bertanggungjawab atas pengaduan tindak kriminal tersebut, yaitu
1.      Korban menjadi takut untuk mengajukan pengaduan. Karena hak mereka telah dilanggar oleh aparat kepolisian. Korban menjadi tidak berminat untuk terlibat kontak lebih lanjut dengan kepolisian. Hal ini dapat dikarenakan oleh trauma maupun hilangnya kepercayaan.
2.      Kepolisian sebagai sebuah institusi merasa enggan untuk melakukan investigasi terhadap anggotanya sendiri. Ini digambarkan dengan tidak adanya investigasi tindak kriminal oleh kepolisian terhadap aparatnya sejauh ini, terlepas dari banyaknya laporan mengenai penangakapan sewenang-wenang, penahanan, tuntutan palsu dan penyiksaan terhadap masyarakat adat Papua.
3.      Kurangnya mekanisme yang independen untuk menginvestigasi pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat Papua.
Pada tahun 2011, pemerintah Republik Indonesia dan parlemen memberlakukan UU No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum yang memperkuat ‘komitmen’ negara dalam memperluas akses peradilan bagi masyarakat adat yang terlibat konflik dengan hukum [5]. Bantuan hukum diharapkan mampu menjadi sistem yang membantu melindungi hak masyarakat dalam proses hukum untuk memperoleh keadilan melalui sistem peradilan transparan dengan menerapkan prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Implementasi bantuan hukum tentunya akan menghadapi berbagai permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia mulai dari kendala regulasi, profesionalisme aparat, dan pemahaman masyarakat dalam mengakses hak-hak mereka.


[1] Polisi sebut Mako Tabuni mau rebut senjata petugas’, diakses pada 5 Juni 2015 di http://www.merdeka.com/peristiwa/polisi-sebut-makotabuni- mau-rebut-senjata-petugas.html.
[2] ‘INDONESIA: Aparat kepolisian secara sewenang-wenang menangkap lima aktivis Papua dan memperbanyak dokumen mengenai aktivitas politik mereka’, AHRC Urgent Appeal yang diterbitkan pada tanggal 18 Oktober 2012, dapat diakses di http://www.humanrights.asia/news/ urgent-appeals/AHRC-UAC-185-2012
[3] ‘INDONESIA: Seorang warga Papua disiksa atas tuduhan yang tidak masuk akal berupa keterlibatan dengan kelompok separatis’, supra note 4.

[4] UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
[5] UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

0 komentar: